Rabu, Mei 30, 2012

HAJI SAMANHOEDI

  Budiarto Eko Kusumo       Rabu, Mei 30, 2012
Kyai Haji Samanhoedi nama kecilnya adalah Sudarno Nadi. Lahir di Sondakan, Laweyan, Solo pada tahun 1868. Ayahnya bernama Haji Achmad Zein. Pendidikannya, belajar mengaji di Laweyan. Belajar ilmu agama pada Kyai Djodjermo di Surabaya. Belajar di sekolah dasar bumiputra (inlandsche school). Setelah tidak bersekolah, Samanhoedi menjadi pengusaha. Usaha batiknya sukses. Memiliki cabang usaha di beberapa kota di Nusantara. Begitulah yang ditulis oleh Mulyono dan Sutrisno Kutoyo dalam bukunya, “Haji Samanhoedi” yang terbit tahun 1980.
Menikah dengan Suginah, anaknya Kyai Badjuri. Beberapa tahun kemudian menikah lagi dengan Marbingah (masih trah Mangkunegaran). Perusahaan Samanhoedi sangat besar. Pegawainya ratusan. Untungnya F. 800 per hari. Penghasilannya begitu tinggi bila dibandingkan dengan gaji Bupati kala itu yang hanya F. 1000 per bulan.
Pada tahun 1904, Samanhoedi menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci. Di Mekkah, Samanhoedi bertemu dan berdiskusi dengan kaum pergerakan Islam. Diskusi itu merangsangnya untuk membuat pergerakan di Tanah Air. Sebagai rintisan, Samanhoedi mendirikan perkumpulan untuk mengurusi sanak saudara yang meninggal. Perkumpulan itu diberi nama Mardhi Budhi. Lalu selanjutnya, Samanhoedi berusaha mendirikan Sarekat Dagang Islam dan Partai Sarekat Islam Indonesia.
Sosok Samanhoedi ini, kalau berpidato tidak muluk-muluk. Pidatonya biasanya singkat dan bicara yang realitas. Sehingga, para wartawan sering menjadikan Samanhoedi sebagai nara sumber.
Dari dua kali perkawinannya, Samanhoedi mempunyai 9 anak, yaitu: Sawab Tjokrowiguno, Waginah Atmohartono, Sajid Atmosukanto, Sofjan, Sahlan Sastromartono, Slamet Samsulaman, Wagiyah Tjitrohartono, Warsinah Puspoatmodjo dan Samsu Zein.
Terhadap pesaingnya para pedagang Cina, Samanhoedi tidak membenci secara rasial. Tetapi para pedagang Cina yang serakah, dia tidak senang. Dengan Cina yang jujur dan baik hati, dia bersahabat.
Oleh sebab itu Samanhoedi merasa pedagang pribumi harus mempunyai organisasi sendiri untuk membela kepentingan mereka. Pada tahun 1911, ia mendirikan Sarekat Dagang Islam (SDI) untuk mewujudkan cita-citanya. Dibantu oleh R.M. Tirtosudiro, Sumowardoyo, Harjosumarto, Martodikoro, Wiryotirto, Sukir, Suwandi, Suropranoto dan Jerman. Samanhoedi langsung memimpin SDI, tokoh pendiri yang lainnya menjadi anggota pengurus.
Tujuan SDI? Bisa kita maknai dari pidato pembukaan atau pengarahan dari Samanhoedi, bahwa saat itu penduduk dibuat bertingkat, yang paling tinggi bangsa Belanda, di bawahnya Cina sedangkan bumiputera adalah bangsa yang dipandang sebagai bangsa yang paling rendah derajadnya. Padahal mereka hidup di tanah airnya sendiri. Pidato itu menyadarkan para saudagar untuk menggapai rasa harga diri, mempunyai kepercayaan untuk menjadi bangsa dan saudagar yang setara dengan bangsa lain. SDI disambut oleh para saudagar, tak hanya saudagar di Solo namun juga di kota-kota lainnya.
Dalam perkembangannya selanjutnya, SDI berubah menjadi Sarekat Islam (SI). Samanhoedi menugaskan H.O.S Tjokroaminoto untuk menyusun anggaran dasarnya. Pada tanggal 10 September 1912, dengan akta Notaris B. Kuile, ditetapkan anggaran dasar SI. Samanhoedi memang memberi kepercayaan pada Tjokroaminoto untuk melanjutkan perjuangan yang telah dirintisnya. Tjokroaminoto mengusulkan agar kata “dagang” dihilangkan, hingga namanya menjadi SI. Alasannya supaya anggota tak terbatas pada kaum pedagang saja, namun lebih luas dan beragam pekerjaan para anggotanya.
Tujuan SI adalah ingin memajukan perdagangan, memajukan kepentingan anggota dari segi jasmani dan rohani serta memajukan kehidupan agama Islam. SI akhirnya tumbuh menjadi organisasi yang besar. Cabang-cabangnya terdapat di Semarang, Kudus, Malang, Madiun, Sidoarjo, Surabaya dan Solo. Jumlah anggotanya sekitar 80.000 orang.
Tahun 1920, kekuatan baru menghembus dari luar. Ada kekuatan yang membelokkan SI dari semula berajaran Islam, ingin dijadikan Sarekat Internasional. Keinginan itu mengemuka dalam SI Merah menjadi PKI (Partai Komunis Indonesia).
Saking aktifnya dalam mengurusi organisasi SI, pada tahun 1922 perusahaan batiknya mengalami kerugian. Yang pada akhirnya mengalami kebangkrutan dan jatuh miskin. Dia melanjutkan sisa hidupnya, dibantu oleh anak-anaknya. Dalam kondisi krisis, Samanhoedi banyak menjual gedung kantor dan rumah. Malahan Parada Harahap, menulis di Koran Tjahaja Timur (1940) tentang nasib Samanhoedi yang hidup melarat dan menderita. Tinggal di sebuah gubug tua. Kawan-kawannya tak seorang pun yang mengindahkan. Tahun 1995, pemerintah RI memberi bantuan pensiun setiap bulan karena jasa-jasanya sebagai Perintis Kemerdekaan.
Samanhoedi meninggal pada 28 Desember 1956 di Klaten namun beliau dimakamkan di Banaran, Grogol, Sukoharjo. Tepatnya di selatan Kampoeng Batik Laweyan, Solo. ***
logoblog

Thanks for reading HAJI SAMANHOEDI

Previous
« Prev Post

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sahabat Blog