Jumat, Oktober 23, 2009

PETUGAS MEDIS: ANTARA STATUS SOSIAL DAN HATI NURANI

  Budiarto Eko Kusumo       Jumat, Oktober 23, 2009
Seperti diberitakan di koran lokal, di RSUD Abdya banyak muncul kasus pungutan liar (pungli) dalam pelayanan di RSUD tersebut. Berita muncul saat ada kunjungan anggota DPRK Aceh Barat Daya (Abdya), di mana ada pasien Jamkesmas yang mengeluh kepada para wakil rakyat perihal pungutan dari sejumlah dokter bedah (Analisa, 21 /10). Bukan kali ini berita miring mengenai pelayanan kesehatan di bumi Aceh mencuat. Jauh sebelum itu, pernah muncul berita bayi perempuan 3,8 kilogram, anak dari Yuli Masri dan Mardhiana, warga Desa Paron, Kecamatan Seunagan, Kabupaten Nagan Raya, Sabtu (8/11) sekitar pukul 13.30 WIB menghembuskan nafas terakhir di RSUD Cut Nyak Dhien Meulaboh, Aceh Barat.
Kematian itu disinyalir oleh berbagai pihak sebagai akibat kelalaian petugas medis di Ruang Kebidanan RSUD tersebut. Musibah kematian bayi itu terjadi karena petugas medis yang bertugas di bagian kebidanan RSUD setempat terlambat datang untuk bertugas, sedangkan petugas medis yang bekerja di shift sebelumnya keburu pulang, tidak menunggu petugas penggantinya hadir. Ujung-ujungnya, kasus itu sendiri sekarang telah ditangani oleh pihak yang berwajib setelah orangtua korban melaporkan kejadian ini. Sungguh ironis memang!
Tulisan ini bukan hendak membahas masalah musibah lebih lanjut, namun ingin melihat sejauh mana keberadaan institusi kesehatan selama ini ditengah-tengah masyarakat?

Eksistensi Institusi Layanan Kesehatan
Tujuan dasar dari dibangunnya sebuah rumah sakit atau sejenisnya, awalnya dilandasi oleh kebutuhan akan pelayanan ke masyarakat yang menyangkut masalah kesehatan dalam arti luas. Sehingga idealnya, menurut Talcott Parsons, rumah sakit diharapkan bersikap idealis, artinya mengupayakan mencapai kondisi sebaik mungkin bagi masyarakat yang memerlukan pelayanannya. Namun, pada kenyataannya tidak semua kriteria Parsons dapat dipenuhi oleh rumah sakit dalam menjalankan fungsinya, seperti mengobati pasiennya.
Apabila ditinjau dari kenyataannya yang ada maka kebanyakan petugas medis yang merupakan bagian dari komunitas institusi kesehatan, menunjukkan tindakan yang berlainan dengan apa yang disarankan oleh Parsons (Schepers & Nievaard, 1990 dalam Solita Sarwono, 2004).
Dalam tugasnya di lapangan, seorang petugas medis tidak saja harus menghadapi masalah yang dipelajarinya di bangku kuliah, melainkan harus pula memecahkan segala masalah sosial dan kemanusiaan. Masyarakat tidak membedakan apakah keluhan yang dideritanya merupakan masalah medis/fisik ataukah karena masalah sosial. Seorang petugas medis diharapkan dapat menyembuhkan segala “penyakit” masyarakat. Tugas-tugas petugas medis pun kadang-kadang memaksa mereka memperlakukan pasiennya secara berbeda, tergantung dari tingkat sosial si pasien. Misalnya, bila seandainya yang melahirkan adalah istri Bupati atau pejabat lainnya, sikap bidan atau dokter akan berbeda jauh saat harus menangani orang awam yang mau melahirkan. Mungkin sekali, bidan atau dokter akan mendatangi istri pejabat tersebut, sedangkan rakyat kecil diminta menunggu dan sabar menunggu gilirannya untuk diperiksa/diobati. Ini menunjukkan bahwa petugas medis tidak lagi bersikap netral melainkan menggunakan afeksinya. Padahal sukses petugas medis dalam menangani keluhan pasien-pasiennya tidak saja terletak pada hasil pendidikan dan kemahirannya dalam kedokteran, melainkan ditentukan oleh unsur-unsur pribadi petugas medis itu sendiri dan harapan/pandangan pasien atau masyarakat yang dilayaninya. Hal seperti ini sering terjadi dalam masyarakat Timur.

Struktur Sosial Masyarakat Kita
Di dalam setiap masyarakat selalu terdapat perbedaan status antar golongan. Mereka yang memiliki sumber-sumber yang dibutuhkan oleh masyarakat (keuangan, ketrampilan, kepemimpinan, bahkan keturunan) biasanya diberi status lebih tinggi oleh anggota masyarakat umum. Sebaliknya, mereka yang dalam keadaan powerless akan diberi status yang rendah.
Dalam kaitan permasalahan ini, bagi masyarakat awam seorang dokter, bidan atau petugas medis lainnya dianggap mempunyai pengetahuan dan ketrampilan untuk mendiagnosa dan menyembuhkan penyakit sehingga mereka berwenang melakukan tindakan terhadap diri si sakit demi pencapaian kesembuhannya. Berdasarkan pandangan dan harapan si sakit ini terhadap fungsi dan peran petugas medis terjadilah interaksi petugas medis-pasien yang bersifat profesional dan terkadang seringkali tidak seimbang.
Pola hubungan yang asimetris ini sering memicu munculnya ”keangkuhan individual” dalam tataran struktrur sosial di masyarakat kita. Dalam bahasa yang sederhana, mereka yang dibutuhkan akan sedikit ”angkuh atau sombong”. Sikap mereka inilah yang acapkali melahirkan keteledoran dalam bertugas. Celakanya, kelalain ini masuk dalam ranah institusi kesehatan, akibatnya tidak tanggung-tanggung. Nyawa melayang.
Kasus semacam ini sebenarnya tidak hanya terjadi di RSUD Cut Nyak Dhien Meulaboh saja. Beberapa waktu yang lalu (10/11), Walikota Lhokseumawe, Munir Usman yang melakukan inspeksi mendadak ke Rumah Sakit Kasih Ibu (RSKI) mencabut tiga pasien luka bakar yang sedang dirawat di rumah sakit tersebut. Beliau sangat kecewa dan berang atas buruknya pelayanan terhadap pasien Jamkesmas.
Kasus-kasus ini hendaknya dijadikan pelajaran bagi siapa saja yang bergulat dalam dunia kesehatan dan tentunya kita juga harus mengambil hikmah dari kejadian ini.***
logoblog

Thanks for reading PETUGAS MEDIS: ANTARA STATUS SOSIAL DAN HATI NURANI

Previous
« Prev Post

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sahabat Blog