Sabtu, Desember 05, 2009

Manusia Tumbuh Karena Cinta Dari Sekitarnya

  Budiarto Eko Kusumo       Sabtu, Desember 05, 2009
Adalah William Sidis, seorang anak Eropa yang telah mengejutkan dunia lantaran kepintarannya. Ketika masih berumur 4 tahun ia sudah lancar dengan penggunaan kata dan angka. Kemudian pada umur 12 tahun ia telah mendapat anugerah gelar profesor. Meski Sidis tidak mengenyam formalitas dunia pendidikan berjenjang, namun berkat didikan spartan ayahnya, Boris Sidis – yang juga ilmuwan – kejeniusan William Sidis mencuat terutama dalam bidang ilmu pasti. Akan tetapi selang beberapa tahun setelah menerima gelar profesor yang begitu prestisius, Sidis meninggal dunia.
Bisa dibayangkan betapa hancur hati sang ayah tatkala menyaksikan kematian anaknya yang telah membanggakannya. Akhirnya diketahui bahwa yang menyebabkan Sidis meninggal dunia adalah hatinya yang kesepian. Ia kesepian karena masa kanak-kanaknya telah direnggut oleh ayahnya ke dalam laboratorium eksperimen IQ, sehingga ia terasing dari interaksi sosial secara intensif. Sampai akhirnya Sidis akrab dengan sebutan ‘Si jenius yang merana’.
Kisah ini memberi gambaran kepada kita perihal arti pentingnya kodrat sosial insani dalam liku-liku hidupnya. Naluri gregariousness mengajak manusia untuk senantiasa bergaul dengan manusia lainnya. Seperti dikatakan Aristoteles yang terkenal dengan zoon politiconnya bahwa setiap orang senantiasa memerlukan bantuan dari orang lain dalam hidupnya. Bantuan ini tidak mesti identik dengan persoalan yang berbau materi, melainkan juga bisa menyangkut masalah kepuasan batin. Persoalan inilah kiranya yang diabaikan oleh Boris Sidis dalam ‘merekayasa’ William Sidis sedemikian rupa sehingga menjadi anak yang jenius. Maka ketika William Sidis (sebelum meninggal) sempat menyaksikan anak-anak sebayanya bermain di suatu tanah lapang dengan penuh kegirangan, ia berguman sendiri, “Kenapa hidupku tidak seriang mereka?’
Pada konteks ini peranan cinta kasih sangat diperlukan. Orang tua merasa perlu membesarkan anaknya dengan didikan dan sosialisasi yang bernuansa kasih sayang. Tidak hanya mengharmoniskan hubungan orang tua dengan anak atau sebaliknya hubungan anak dengan orang tua, melainkan kasih sayang itu berkorelasi signifikan bagi pengembangan kepribadian anak. Hal ini dipertegas oleh William Ellery Channing melalui petuah mutiaranya, “Manusia tumbuh karena cinta dari sekitarnya”. Pengertian tumbuh di sini bukan berarti menunjuk kepada geraknya organ-organ tubuh kita saja (robot), akan tetapi lebih mengarah kepada makna yang sifatnya emosional-psikologis. Karena bagaimanapun juga jiwa merupakan motor penggerak manusia mencapai perjalanan hidupnya dalam semesta sosial. Maka akan tampak ganjil bila kita menyimak cara hidup seorang pertapa yang bertahun-tahun bermenung diri di keheningan alam. Juga kisah Robinson Crusoe, bangsawan Skotlandia yang terdampar di pulau terpencil di kawasan Pasifik. Novel klasik karya Daniel Dafoe (1660-1731) menonjolkan perjuangan Crusoe dalam mempertahankan hidupnya secara ragawi, sedangkan suasana sentimen seolah-olah sebagai pelengkap penderita. Dalam Kamus Sosiologi dikatakan bahwa keganjilan dalam romantika hidup seperti pertapa atau Crusoe dikategorikan sebagai perilaku yang menyimpang (deviate behaviour) tapi sifatnya tidak destruktif.
Cinta secara simple merupakan dinamika perasaan yang bercorak menyayangi. Lepas dari to be (menjadi) dan to have (memiliki), kata Eric Fromm dalam The Art of Loving (Seni Bercinta), cinta mengejawantah dalam makna kasih sayang, bukan berpangkal pada ketertarikan lawan jenis semata yang kebanyakan bersifat lahiriah tetapi yang lebih hakiki adalah menyayangi sesama manusia yang bermartabat sama dihadapan Allah kecuali taqwanya.
Sifatnya agak permanen ketimbang cinta amor yang beroman picisan. Bila sedang dimabuk cinta, dunia tampak indah bahkan diklaim milik berdua. Tapi bila suasana berubah atau putus cinta, kedua insan berbeda kelamin itu akan berubah menjadi saling membenci atau perseteruan. Jadi substansial cinta yang tulen dan boleh dikata berlaku umum adalah cinta itu kasih dan kasih itu sayang. Logikanya, cinta itu berarti menyayangi yang dilandasi kasih. Penerapan dalam kesehariannya jauh lebih luas daripada kisah muda-mudi yang dilanda asmara.
Seorang ibu kendatipun sangat capek dalam membesarkan anak-anaknya selalu bernuansa kasih sayang, demikian pula halnya dengan aspek-aspek lainnya seperti: ekonomi dan politik bisa bercitra kasih manakala di dalam nurani para pelakunya bersemayam kedamaian hati yang dibungkus dengan cinta. Tepat kiranya ucapan Jalaluddin al-Rumi (1207-1273), penyair sufi dari Balakh yang pernah menjadi guru spiritual Iqbal, “Tanpa cinta, dunia akan membeku”. Ungkapan sufistik ini dirasakan kebenarannya sepanjang abad, terutama pada saat gelombang materialisme mendominasi perjalanan sejarah umat manusia, seperti yang kita alami di abad kegalauan sistem nilai ini.***
logoblog

Thanks for reading Manusia Tumbuh Karena Cinta Dari Sekitarnya

Previous
« Prev Post

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sahabat Blog