Senin, Agustus 09, 2010

Panggung Sandiwara

  Budiarto Eko Kusumo       Senin, Agustus 09, 2010
Dalam Drama Turgi, Erving Goffman menjelaskan bahwa dalam sejarah kehidupan umat manusia, dunia ini laksana pentas di mana di dalamnya aneka peran sosial (social roles) bermunculan. Ada yang memerankan di atas panggung, ada pula yang berperan di belakang panggung (playback role). Kesemuanya saling mendukung dan memiliki peran masing-masing. Sutradara tanpa ada pemeran pentas (aktor) tidak akan membentuk cerita dalam sebuah pentas, begitu pula sebaliknya aktor tanpa adanya setting cerita juga akan mengalami kegelisahan peran.
Teori Goffman ini mengajak kita untuk melihat realitas sosial yang ada di sekeliling kita. Betapa majemuknya peran sosial yang dikedepankan setiap insan manusia. Ada yang melakonkan peran direktur, karyawan tetap, karyawan tidak tetap, penjaga malam, peneliti, ibu rumah tangga, pedagang sayur, orang yang suka mengumbar janji sampai peran ‘si cebol merindukan bulan’. Teori Goffman ini tidak mengajak kita untuk menilai peran yang dimainkan oleh masing-masing orang, melainkan untuk membentuk konstruksi sosial secara das Sein (apa adanya). Makanya Goffman tidak pernah mengatakan bahwa seorang pembohong adalah buruk. Menurut Goffman, barangkali seorang itu menjadi pembohong lantaran ada kondisi sosial yang memicunya. Begitu pula, teori ini bukan menganjurkan kita untuk pintar bersandiwara di muka umum. Teori ini hanyalah menyerupai ‘cermin kehidupan’ yang ada.
Menyikapi teori ini, mengajak kita untuk semakin memahami kehidupan yang terus berjalan. Puspa-ragam peran yang muncul menghiasi kehidupan ini menjadi dinamis. Bahkan dalam contoh yang sederhana, sebuah keluarga yang memiliki pertalian darah telah mencerminkan realitas sosial secara mini akan pentas peran yang ada. Seperti yang diilustrasikan oleh sastrawan Libanon, Kahlil Gibran, bahwa “the son is like arrow”. Anak laksana panah. Begitu lepas dari busur (personifikasi orangtua) akan melesat jauh meninggalkan busur tersebut. Artinya, sang anak kelak akan memainkan perannya sendiri yang mungkin berbeda atau berlawanan dengan orangtuanya.

Keterbatasan Sejarah
Setiap social roles yang dipunyai masing-masing orang senantiasa akan dibatasi oleh sang waktu. Pentas atau katakanlah panggung sandiwara akan merampungkan babak cerita. Seorang guru akan berhenti mengajar manakala umurnya telah mengantarkan ke purna kerja (pensiun), seorang pembohong akan mengaku bohong bila sudah ketahuan sandiwara bohongnya atau mengalami susah hidupnya di kemudian hari lantaran suka membohongi orang lain. Peran sosial akan berakhir seiring dengan hukum keterbatasan sejarah. Sejarah selalu berputar jalannya, bukan linear. Kadang mujur, kadang duka. Yang lagi mujur bisa happy-happy. Yang lagi apes bisa instropeksi.
Budayawan Inggris, William Shakespeare (1564-1626), pernah mengatakan dalam salah satu karyanya:

“All the world is a stage,
And all the men and women merely players,
They have their exits and entrances,
And one men in his time plays many parts ...”

(Seluruh dunia adalah ibarat panggung sandiwara,
Semua laki-laki dan perempuan adalah sekadar pemain belaka,
Ada waktunya mereka turun dari panggung, ada waktunya mereka naik,
Dan setiap pemain dalam masanya memainkan berbagai peran ...) 

***


logoblog

Thanks for reading Panggung Sandiwara

Previous
« Prev Post

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sahabat Blog