Kamis, Juni 30, 2011

MENOLAK NAIK GAJI

  Budiarto Eko Kusumo       Kamis, Juni 30, 2011
Fenomena kegilaan kerap menjadi lahan perbincangan yang cukup menarik, karena ia hadir sebagai refleksi psiko-psiko yang beragam. Begitu pula, realistis ini telah melahirkan sejumlah besar cerdik cendekia, dengan latar belakang sejarah, sosial budaya, disiplin ilmu, bahkan politik yang serba beragam pula. Realita ini silih berganti, keluar masuk nalar kita, mewujud sebagai ayat-ayat Allah yang “sengaja” dipertontonkan Allah kepada kita.
Beberapa bulan yang lalu, headline sejumlah media cetak maupun visual menyoroti usulan kenaikan gaji dari kalangan DPR. Alasan kenaikan gaji adalah dikarenakan efek dari inflasi. Artinya, pas harga-harga barang melonjak naik, mereka menginginkan kenaikan gaji. Atas usulan ini, Presiden juga malah melakukan curhat ke publik bahwa selama menjabat presiden belum ada kenaikan gaji untuk presiden. Kontan saja, headline tersebut mengundang reaksi. Ada yang pro dan tentunya juga ada yang kontra. Yang pro memiliki sejumlah alasan yang didasarkan dalil-dalil ekonomi yang condong ke arah teori maupun wacana Barat, sedangkan yang kontra juga mempunyai sejumlah asumsi teoritis tak kalah kuatnya berupa dalil ekonomi yang dikedepankan, biasanya dibumbui dengan alasan kenaikan gaji itu tidaklah tepat di tengah-tengah masih banyaknya masyarakat yang miskin di republik ini.
Kalau seandainya saya didudukkan sebagai pengamat, tentunya akan memegang kepala erat-erat karena bingung sekaligus pening. Semua mempunyai wacana teoritis yang sama-sama kuat. Namun demikian, daripada kita bingung terus, akan saya perlihatkan sebuah kisah kegilaan yang pernah terjadi di bumi ini. Kisah ini saya ambil dari Tabloid Nuraini edisi 79 Tahun II tertanggal 10 -16 Juni 2002 halaman 12 perihal Khalifah Umar bin Khattab.
Sesudah menjadi khalifah, Umar bin Khattab tidak punya waktu lagi untuk berniaga. Hari-harinya habis untuk mengurus pemerintahan dan umat. Pada suatu hari ia berbicara di depan umatnya: “Wahai saudara-saudaraku. Aku telah kalian percaya menjadi khalifah, yang membuatku tak bisa mencari nafkah untuk keluargaku. Jadi bagaimana nasib anak dan istriku, apakah akan dibiarkan telantar?”
Para sahabat merespon khalifah. Akhirnya disetujui untuk memberikan imbalan dan tunjangan yang diambilkan dari Baitul Mal. Besarnya ada yang mengusulkan setara dengan gaji raja tetangga. Namun sobat kentalnya, Ali bin Abi Thalib kurang setuju. Ketika masalah itu dirapatkan, Ali hanya diam sebagai tanda kurang setuju.
“Bagaimana pendapatmu Ali? Dari tadi hanya engkau yang tidak buka suara,” tanya Umar.
“Saya tidak suka seorang khalifah hidup berlebihan seperti para kaisar dan raja,” ujar Ali.
“Bagus, engkau telah mewakili pendapatku. Aku minta tunjangan bagiku hanya cukup untuk hidup sederhana,” jawab Umar.
Keputusan yang diambil secara musyawarah bahwa tunjangan khalifah hanya pas-pasan untuk hidup sederhana. Dampaknya, hidup khalifah Umar compang-camping bila diukur dengan kehidupan dan tunjangan kepala negara tetangga, para raja, dan kaisar.

Umar Menolak
Ali sebagai sahabat kemudian merasa bersalah karena sebagai pencetus ide hidup sederhana. Apalagi bila ada tamu atau pejabat mancanegara mengadakan kunjungan ke Madinah.
Melihat kondisi tidak sepadan itu, Ali mengusulkan kepada dewan sahabat untuk meninjau kembali tunjangan khalifah. Kalau bisa dinaikkan dua kali lipat. Usul disetujui bahkan didukung Usman bin Affan. Namun kelemahannya, ketika usul itu dibahas khalifah Umar tidak hadir.
Apakah yang bersangkutan menerima atau menolak, belum lagi ada pihak-pihak yang pro dan kontra. Para sahabat untuk menyampaikan sendiri ke khalifah, tidak ada yang sanggup.
Dewan sahabat akhirnya mengambil langkah untuk mendekati Khafsah, putri Umar, janda Rasulullah SAW. Barangkali melalui Khafsah niat itu bisa disampaikan tanpa menimbulkan dampak negatif. Kenaikan tunjangan agar disampaikan kepada khalifah yang juga ayahanda Khafsah, dengan syarat tidak menyebutkan nama-nama pencetus ide tersebut.
Ternyata trik politik itu gagal total. Di luar dugaan para sahabat, Umar marah-marah waktu Khafsah menyampaikan usul kenaikan tunjangan itu kepadanya. Umar berkata: “Kalau aku tahu nama orang-orang yang mempunyai pikiran beracun itu, akan kudatangi satu per satu dan kugampar dengan tanganku,” ujarnya mengancam.
Demikian kisah khalifah Umar di atas. Kisah ini saya katakan gila karena ternyata setelah membacanya, orang akan jadi semakin bingung bahkan sekelas pengamat pun akan mengernyitkan dahinya. Bila dianalisa dengan memakai wacana yang pro, jelas akan terbantahkan oleh sikap Khalifah Umar sendiri yang menolak dinaikkan gajinya, sedangkan bila dianalisa dengan yang kontra, Khalifah Umar telah mencanangkan hidup yang sederhana atau zuhud di tengah-tengah kemakmuran Baitul Mal kala itu.
Kalau dikomparasi dengan gaji anggota DPR saat ini sebesar Rp 46 juta per bulan, saya yakin Khalifah Umar bisa mengalokasikan dengan cermat dan baik serta saving, seperti misalnya jumlah gaji pokok anggota DPR sebesar Rp 15.510.000,- tentunya tidak akan dihabiskan oleh Umar sebesar itu, tunjangan listrik sebesar Rp 5.496.000,- tentunya tidak akan dihabiskan. Bahkan tatkala ada anggota keluarga atau sahabatnya ingin menemui beliau untuk urusan selain kenegaraan atau mengurusi umatnya, listrik dipadamkan. Terus untuk tunjangan aspirasi sebesar Rp 7.200.000,- tidak akan habis dalam sebulan, karena saya yakin Umar akan menyiasatinya dengan menjadi mubhalig di mushola atau pun masjid. Dengan demikian, Umar bisa mengeliminir tunjangan aspirasinya kepada umat dan malahan mendapatkan pahala. Lalu, soal tunjangan kehormatan sebesar Rp 3.150.000,- jelas akan utuh per bulannya karena bagi Umar, kehormatan itu hanya adanya dihadapan Allah. Beliau bisa mengemban amanah umat, baginya adalah suatu kehormatan tersendiri dan diridhoi Allah. Tunjangan komunikasi sebesar Rp 12.000.000,- tentunya tidak akan habis selama sebulan. Umar akan memanfatkan teknologi informasi yang semakin canggih seefisien mungkin, seperti memanfaatkan TM atau Obrol Siang kalau ke luar negeri bisa pakai YM atau Skype atau e-mail atau apa saja lah, yang penting bisa menyiasati tunjangan. Sedangkan, tunjangan pengawasan sebesar Rp 2.100.000,- tentunya juga akan dialokasikan oleh Umar secermat dan seefisien mungkin. ***

Referensi:
• Tabloid Nuraini edisi 79 Tahun II tanggal 10 – 16 Juni 2002 halaman 12.
• http://nasional.inilah.com/read/detail/1189552/dpr-tak-perlu-latah-minta-kenaikan-gaji
logoblog

Thanks for reading MENOLAK NAIK GAJI

Previous
« Prev Post

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sahabat Blog