Rabu, September 28, 2011

BALADA SEORANG BURUH

  Budiarto Eko Kusumo       Rabu, September 28, 2011
Bila bos tetap pada pendapatnya,
itu berarti beliau konsisten.
Bila staf tetap pada pendapatnya,
itu berarti dia keras kepala !


Bila bos berubah-ubah pendapat,
itu berarti beliau fleksibel.
Bila staf berubah-ubah pendapat,
itu berarti dia plin-plan !


Bila bos bekerja lambat,
itu berarti beliau teliti.
Bila staf bekerja lambat
itu berarti dia tidak 'perform' !


Bila bos bekerja cepat,
itu berarti beliau 'smart'.
Bila staf bekerja cepat,
itu berarti dia terburu-buru !


Bila bos lambat memutuskan,
itu berarti beliau hati-hati.
Bila staf lambat memutuskan,
itu berarti dia 'telmi' !


Bila bos mengambil keputusan cepat,
itu berarti beliau berani mengambil keputusan.
Bila staf mengambil keputusan cepat,
itu berarti dia gegabah !


Bila bos terlalu berani ambil resiko,
itu berarti beliau risk-taking.
Bila staf terlalu berani ambil resiko,
itu berarti dia sembrono !


Bila bos tidak berani ambil resiko,
itu berarti beliau 'prudent'.
Bila staf tidak berani ambil resiko,
itu berarti dia tidak berjiwa bisnis !


Bila bos mem-by-pass prosedur,
itu berarti beliau proaktif-inovatif.
Bila staf mem-by-pass prosedur,
itu berarti dia melanggar aturan !


Bila bos curiga terhadap mitra bisnis,
itu berarti beliau waspada.
Bila staf curiga terhadap mitra bisnis,
itu berarti dia negative thinking !


Bila bos menyatakan : " Sulit "
itu berarti beliau prediktif-antisipatif.
Bila staf menyatakan : " Sulit "
itu berarti dia pesimistik !


Bila bos menyatakan : " Mudah "
itu berarti beliau optimis.
Bila staf menyatakan : " Mudah "
itu berarti dia meremehkan masalah !


Bila bos sering keluar kantor,
itu berarti beliau rajin ke customer
Bila staf sering keluar kantor,
itu berarti dia sering kelayapan !


Bila bos sering entertainment,
itu berarti beliau rajin me-lobby customer.
Bila staf sering entertainment,
itu berarti dia menghamburkan anggaran !


Bila bos tidak pernah entertainment,
itu berarti beliau berhemat.
Bila staf tidak pernah entertainment,
itu berarti dia tidak bisa me-lobby customer !


Bila bos men-service atasan,
itu berarti beliau me-lobby.
Bila staf men-service atasan,
itu berarti dia menjilat !


Bila bos sering tidak masuk,
itu berarti beliau kecapaian karena kerja keras.
Bila staf sering tidak masuk,
itu berarti dia pemalas !


Bila bos minta fasilitas mewah,
itu berarti beliau menjaga citra perusahaan.
Bila staf minta fasilitas standar,
itu berarti dia banyak menuntut !


Bila bos membuat tulisan seperti ini,
itu berarti beliau humoris
Tapi bila staf yang nulis berarti sableng kurang kerjaan...hihihi


E-mail dari teman yang berprofesi sebagai engineer perminyakan di atas yang dikirim pada 8 Mei 2010 sekitar pukul 3.21 PM, sebenarnya bukanlah hal baru. Karl Marx telah memprediksikan hal tersebut. Ide kontroversialnya mengenai sistem dua-kelas yang digunakan Marx dalam analisanya, khususnya dalam ramalannya mengenai pertumbuhan yang semakin melebar antara kelas borjuis dan proletar. Meskipun Marx sudah meramalkan bahwa kesulitan ekonomi yang semakin besar dan kesengsaraan kaum buruh akan merangsang keinginan mereka untuk memberontak, para ahli teori kritis menganggap bahwa sebagian besar dari populasi (termasuk kelas buruh) sudah menjadi pasif dan lesu, lebih suka mendukung status quo dan menjamin keselamatan mereka serta meneruskan usaha mempertahankan kesejahteraan daripada mengambil resiko masuk dalam perjuangan revolusioner untuk menghasilkan perubahan sosial yang diinginkan.
Sebagai tokoh peletak dasar teori konflik, Marx memberikan tekanannya pada konflik-konflik sosial yang bersumber pada struktur sosial, termasuk yang terjadi secara tatap-muka. Misalnya, konflik yang mungkin terjadi antara seorang buruh kelas pekerja dan seorang foreman dalam suatu perusahaan yang diorganisasi secara birokratis mungkin bukanlah terutama cerminan ketidaksesuaian atau oposisi antara kepentingan-kepentingan mereka seperti yang ditentukan oleh posisi mereka masing-masing dalam usaha itu.
Jadi boleh dikata, sepanjang perjalanan sejarah (kapitalisme?) yang diawali sejak munculnya Revolusi Industri di Inggris hingga kini, perjuangan kaum buruh terhadap pemilik modal (para kapitalis) senantiasa eksis.

Posisi Buruh
Randall Collins dalam bukunya, Conflict Sociology: Toward an Explanatory Science (1975), membahas kehidupan buruh dalam lingkup pekerjaan dan hubungan otoritas. Menurutnya, pekerjaan (occupation) sebagai faktor penentu utama terhadap posisi kelas seseorang. “Pasti perbedaan yang paling penting di antara situasi-situasi kerja adalah hubungan kekuasaan yang terdapat di dalamnya (cara orang memberikan atau menerima perintah). Kelas-kelas berdasarkan pekerjaan pada intinya merupakan kelas-kelas berkuasa dalam dunia pekerjaan.”
Kelompok okupasional dalam anlisa Collins memiliki kategori distingtif. Buruh, yang keterlibatannya dalam struktur otoritas terbatas pada menerima perintah saja, membentuk kelas okupasional yang paling rendah. Situasi inilah yang menyebabkan mengapa buruh sering disebut sebagai pekerja marjinal. Artinya, pekerja yang selalu terpinggirkan!
Dalam suatu jaringan komunikasi, buruh yang berada pada lapisan hirarki kekuasaan yang paling bawah cenderung untuk lebih terbatas jangkauan kontak sosialnya dan berada pada pinggiran jaringan komunikasi. Kata teman-teman, tidak bisa bisik-bisik apalagi menjadi pembisik! Hal ini sering menyebabkan orientasi mereka yang lebih lokal sifatnya, kurang kosmopolit.
Dalam jumlah kekayaan yang mereka miliki atau kuasai, serta sifat fisik tugas-tugas pekerjaan yang mereka laksanakan, pekerja yang berada pada tingkat yang lebih rendah, secara khas kurang memperoleh uang dan terpaksa melaksanakan pekerjaan yang paling kotor, paling tidak menyenangkan atau paling riskan.
Dalam pandangan hidup subyektif, gaya hidup dan sifat interaksi pada umumnya, mereka yang berada pada lapisan yang paling bawah menghasilkan suatu kebudayaan kelas pekerja tersendiri. Collins menggambarkan kebudayaan ini sebagai yang bersifat “lokalistik”, sinis, dan berorientasi pada masa kini.” Kebutuhan sosioemosional dari mereka yang berada pada tingkat yang paling bawah dipenuhi bersama-sama dengan teman-teman dekatnya yang biasanya berada pada tingkat pekerjaan yang sama. Tambahan pula, karena pekerjaan kelas buruh itu lebih banyak menggunakan tenaga fisik dan lebih riskan daripada pekerjaan mereka yang lebih tinggi tingkatannya, maka gaya hidup buruh itu cenderung menekankan kekerasan dan keberanian fisik.
Pada tingkat organisasi, kita dapat melihat beberapa contoh berikut ini: “Semakin seseorang itu memberikan perintah atas nama suatu organisasi, semakin orang itu memihak pada organisasi itu”, dan “Semakin dekat seorang atasan itu mengawasi perilaku bawahannya, semakin besar bawahannya itu tunduk pada bentuk-bentuk perilaku yang dapat diamati yang dituntut daripadanya.” Hukum besi oligarkhi Michels dapat dirumuskan dalam proposisi sebagai berikut: “Semakin besar suatu assosiasi keanggotaan” dan “semakin terpencar para anggotanya, semakin besar pula kecenderungan untuk oligarkhi.”
Kecenderungan untuk oligarkhi membawa implikasi yang variatif dalam implementasinya karena hal ini disebabkan oleh beberapa orang yang berkuasa dari golongan atau kelompok tertentu. Manakala diferensiasi golongan atau kelompok tersebut menangani para pekerja tidak seia sekata, acap menimbulkan “gosip” bagi para bawahannya, utamanya pekerja pada struktur lapisan terbawah dalam sebuah organisasi pekerjaan. Mungkin bisa saja bos utama memiliki mainstream dalam mengelola organisasi pekerjaan yang baik namun setelah dijabarkan oleh kepala bagiannya malah berantakan. Sedangkan buruh, akan menerima dampak yang kurang menguntungkan. Di pingpong ke sana kemari oleh pengejawantahan yang tidak jelas.Misalnya saat buruh A melakukan pekerjaan yang sama, aturan seperti itu. Namun giliran buruh B menempati posisi seperti A, aturan jadi seperti ini. Hal ini bisa dilihat dalam organisasi pekerjaan yang tidak memiliki aturan standard dalam human resources development (HRD) yang jelas.
Sehingga, saya yakin e-mail di atas itu sedikit banyak menggambarkan manajemen organisasi pekerjaan yang tidak punya aturan standard HRD yang jelas atau bahkan tidak punya staff yang menekuni dalam HRD. Sebaliknya, organisasi kerja yang memiliki pengejawantahan HRD yang profesional akan berbeda tampilannya dalam persepsi dari para pekerjanya. Kendati perusahaan tersebut memiliki karyawan atau buruh yang jumlahnya ribuan, asalkan manajemen yang diterapkan fair play biasanya akan menampilkan performance yang baik di mata buruhnya. Sehingga meski upah yang diterima relatif kecil asalkan manajemen yang diberlakukan berlaku untuk umum dan berkeadilan, biasanya para buruhnya akan enjoy saja dalam dunia kerjanya. Kita ambil contoh misalnya yang ada di lingkungan Pertamina, kendati ada karyawannya yang pekerjaannya offshore tidak akan menemui kendala dalam perjalanan kerjanya, karena HRD akan memanggil mereka manakala jatahnya mereka untuk workshop atau peningkatan skill mereka. Jadi, tidak musti yang di depan direkturnya saja yang kursus melulu tapi semuanya berhak juga untuk meningkatkan diri.
Itulah kenapa meski dalam bahasan di atas, situasi buruh seringkali dihadapkan pada posisi yang serba konflik namun bila hal itu dieliminir oleh suasana lingkungan kerja yang berkeadilan, umumnya akan mengecil dengan sendirinya. Seperti kata Napoleon Hill, “Your big opportunity may be right where you are now.” ***
logoblog

Thanks for reading BALADA SEORANG BURUH

Previous
« Prev Post

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sahabat Blog