Minggu, Oktober 02, 2011

NULUNG … KEPENTHUNG

  Budiarto Eko Kusumo       Minggu, Oktober 02, 2011
Bagaimana rasanya Anda dituduh berbuat sesuatu oleh seseorang, sementara Anda sendiri tidak melakukannya? Pasti Anda akan marah, emosional atau bahkan kecewa berat. Itu manusiawi!
Kaidah psikologi banyak yang mengiyakan. Karena setiap orang yang mengalaminya, kemungkinan besar akan bereaksi serupa. Hal yang sama juga dialami oleh seorang teman yang menjadi petugas lapangan. Bermula dari niat seorang teman untuk menolong pemuda pengangguran di salah satu wilayah pencacahan (wilcah) dalam mencarikan pekerjaan, akhirnya menuai kecaman dan tuduhan sebagai makelar kerja.
Ketidakpuasan pemuda tersebut setelah sebulan berada di lingkungan kerja di perantauan, melahirkan “Sidang Rakyat”. Sidang yang dihadiri oleh Bapak Lurah, Ibu Mantan Lurah, Bapak Ketua RT.04 RW.02, Ibu kandung Bapak Lurah yang sudah sepuh serta kerumunan orang di luar rumah kediaman Bapak Lurah, yang kebetulan bersebelahan dengan base camp di wilcah.
Kendati sidang tersebut membuahkan “sikap damai” antara keduanya, namun paling tidak memberikan pengalaman yang sangat berharga saat berada di wilcah tersebut.
Fenomena ini merupakan bagian dari dinamika masyarakat yang lazim. Bahkan dalam komunitas masyarakat Jawa, acapkali mendengar istilah: nulung menthung dan nulung kepenthung.
Nulung menthung merupakan sikap menolong seseorang yang disertai dengan niatan untuk memperdaya orang yang ditolong. Sedangkan, nulung kepenthung merupakan sikap menolong seseorang terhadap sesamanya dengan niatan untuk memperingan kesulitan yang sedang dihadapi oleh sesamanya, namun akhirnya yang menolong malah mendapat petaka.
Kedua istilah ini bila diparalelkan dengan logika, malah memusingkan kita semua. Karena nulung (menolong) yang esensinya untuk meringankan beban kesulitan sesama, menimbulkan antagonis public opinion. Yakni malahan berdampak buruk terhadap yang ditolong maupun yang menolong: menthung atau kepenthung!
Saya yang kebetulan turut menyaksikan “Sidang Rakyat” tersebut jadi teringat akan perkataan filsuf Yunani. “Credo Quia Absurdum,” katanya. “Aku percaya karena justru tidak masuk akal.”
Kredo ini kiranya yang mengilhami cara pandang kita dalam menangkap substansi sidang yang digelar pada tanggal 28 Juni 2002 malam hari: nulung di Surabaya, kepenthung di bumi Bagelen.***
logoblog

Thanks for reading NULUNG … KEPENTHUNG

Previous
« Prev Post

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sahabat Blog