Minggu, Juni 03, 2012

SUKU SEKAK YANG TERANCAM PUNAH

  Budiarto Eko Kusumo       Minggu, Juni 03, 2012
Jika menyebut suku laut di Indonesia, sebagian besar orang akan merujuk pada suku Bajo. Tidak banyak orang tahu bahwa di Asia Tenggara ada tiga kelompok besar suku laut, dengan dua di antaranya hidup di Indonesia.
Bajo terutama hidup di Sulawesi sampai ke Filipina. Moken hidup di pesisir barat Myanmar sampai Malaysia. Di sekitar perairan Riau sampai Kepulauan Bangka Belitung (Babel), hidup juga orang Laut. Di Bangka Belitung, orang laut itu adalah suku Sekak.
Suku Sekak lebih dekat dengan orang Moken dibandingkan dengan Bajo. Antropolog maritime Universitas Tokyo, Akifumi Iwabuchi, menyebutkan, Moken dan Sekak sama-sama punya ritual Buang Jung. Ritual itu biasanya dihelat saat laut mulai tenang selepas musim barat. “Sama-sama membuat perahu kecil berisi aneka sesaji. Perahu itu dibuang ke laut,” kata pria yang tengah meneliti kehidupan suku Sekak itu.
Secara geografis, lebih masuk akal bila Moken dan Sekak dekat. Pesisir barat Myanmar sampai Belitung adalah jalur pelayaran internasional sejak masa silam. Jalur pelayaran itu memudahkan mereka bermigrasi. Laporan Komisaris Belanda untuk Belitung tahun 1803, JL Van Sevenhoven, menyebutkan, orang Sekak hidup di antara Pulau Bangka dan Pulau Belitung. Dalam laporan terbitan 1867 itu disebutkan, orang Sekak adalah pemandu, penyelam, dan nelayan andal.
Jasa mereka dimanfaatkan kapal-kapal dagang yang harus melewati Selat Bangka, jalur pelayaran internasional hingga awal abad ke-19. Di masa lalu, Selat Bangka masih dipenuhi lumpur di berbagai lokasi. Dibutuhkan pelaut yang mengerti kondisi perairan setempat agar pelayaran lancar.

Asal-usul
Pengetahuan atas kondisi perairan didapat dari pengalaman panjang orang Sekak melayari Selat Bangka. Namun, tidak ada catatan pasti kapan mereka mulai mempelajari Selat Bangka dan hidup di Babel.
EP Wieringa dalam “Carita Bangka” (Rijksuniversiteir Leiden, 1990) disinggung asal-usul orang Sekak. Wieringa antara lain mengalihbahasakan catatan Legenda Bangka yang disusun Haji Idris tahun 1861 dalam buku itu. Dalam Legenda Bangka versi Haji Idris, di Pasal 26 disebutkan, orang Sekak adalah keturunan prajurit Tuan Sarah. Tuan Sarah adalah pedagang yang ditunjuk Sultan Johor memimpin pasukan penyerbu bajak laut di Bangka pada awal abad ke-17. Setelah bajak laut diusir, sebagian besar pasukan itu kembali ke Johor. Sebagian lagi tinggal di Bangka, dan menjadi cikal bakal orang Sekak.
Namun, Batman, tokoh adat Sekak, menyebut nenek moyang mereka berasal dari Lingga. Daerah yang kini menjadi salah satu kabupaten di Provinsi Kepulauan Riau itu disebut Batman sebagai tanah kelahiran nenek buyutnya. “Nenek buyut merantau ke Belitung,” ujarnya.
Pendapat itu juga didasari ada lagu tradisi Sekak berjudul “Campak Daik”. Sejak berabad lampau, Daik adalah ibu kota Kesultanan Lingga. Sekarang, Daik menjadi ibu kota Kabupaten Lingga yang wilayah lautnya berbatasan dengan Bangka Belitung. “Nenek moyang kami orang laut dari Kepulauan Riau,” ujar Batman.
Lioba Lenhart dalam Konstruktion, Oszilation und Wandel Etnicher Der Orang Suku Laut (Shaker, 2002), memasukkan orang Sekak sebagai subsuku orang laut. Lenhart menyebut suku Laut di Natuna, Anambas, Tanjung Pinang, dan Lingga, disebut orang laut. Sementara suku Laut di sekitar Bengkalis, Riau, disebut orang kuala. Bahkan, suku Laut paling timur adalah orang Sekak tersebar di Bangka dan Belitung.
Di Bangka, orang Sekak tercatat tinggal di Kuto Panji, Jebu Laut, Kudinpar, Lepar, dan Pongok. Di Belitung, orang Sekak tinggal di Juru Seberang, Kampung Baru, dan Gantung.

Korban kebijakan
Sesepuh orang Sekak, Wak Jem (74), menyebutkan, tidak banyak yang bisa disebut orang Sekak asli. Orang Sekak asli adalah mereka yang lahir dari ayah dan ibu Sekak. Sejak kebijakan tinggal di darat diberlakukan pemerintah pada pertengahan decade 1980-an, orang Sekak menikah dengan orang dari suku-suku lain.
Batman, misalnya, menikah dengan orang Melayu Bangka. Sumardi, keponakan Batman, menikah dengan orang Melayu Belitung. “Hasil penelitian saya menunjukkan hanya ada 120 keluarga Sekak di seluruh Babel. Saya juga menemukan hanya 50 orang yang sudah berusia di atas 50 tahun dapat berbicara bahasa Sekak. Sisanya berbicara dengan bahasa Melayu Bangka atau Belitung,” ujar Iwabuchi.
Hasil penelitiannya juga menemukan jumlah orang Sekak terus merosot. Orang-orang Sekak banyak tak punya anak. Tidak diketahui pasti mengapa hal itu terjadi. “Harus ada riset lebih jauh setidaknya oleh antropolog biologi,” ujarnya.
Diduga hal itu dipicu pernikahan dengan kerabat dekat. Karena jumlahnya semakin merosot dan ada tuntutan harus membentuk keluarga asli, orang Sekak menikah dengan kerabat-kerabat dekat. Dalam banyak studi disebutkan pernikahan seperti ini bisa menghasilkan keturunan yang tidak sempurna. “Ini hanya dugaan, dan tidak didukung bukti ilmiah,” ujarnya.
Hal yang jelas, Akifumi menemukan fakta jumlah orang Sekak terus merosot. Ia tidak yakin akan bisa meriset kehidupan orang Sekak jika melakukannya 10 tahun mendatang. “Tidak banyak lagi orang tahu soal adat istiadat orang Sekak. Pemuda-pemuda Sekak bahkan tidak bisa berbicara bahasa Sekak,” tuturnya.
Saat ini, hanya Wak Jem yang benar-benar paham adat istiadat Sekak. Ia tahu detail rincian ritual orang Sekak, mantra-mantra yang dibutuhkan, serta masih fasih berbahasa Sekak. Sementara, Batman hanya tahu lagu-lagu tradisional Sekak. Ia memang berusaha mempertahankan kebudayaan Sekak dengan membuat lagu-lagu baru dalam bahasa Sekak. “Saya membuat 28 lagu baru,” tuturnya.

Kerancuan identitas
Persoalan orang Sekak bukan hanya penurunan tajam populasi. Mereka juga menghadapi kerancuan identitas. Sebagian menyebut dirinya sebagai orang Sawang. Sebagian lagi bertahan dengan sebutan orang Sekak. Sebutan Sekak diakui berkonotasi negatif. Ada yang berpendapat sebutan itu pelesetan dari kata Pekak atau tunarungu. Karena terlalu banyak menyelam, pendengaran orang Sekak terganggu.
Lalu pada dekade 1960-an, Sobron Aidit membuat catatan soal orang Sekak. Adik DN Aidit itu menyebut mereka sebagai orang Sawang. Sebutan itu bertahan sampai beberapa puluh tahun kemudian. Batman termasuk salah seorang yang lebih suka disebut Sawang dibandingkan Sekak. Sementara, Wak Jem yang terhitung sebagai paman Batman lebih suka menyebut diri sebagai orang Sekak. Demikian pula Menan, kepala suku Sekak di kampung Juru Seberang. Sementara anaknya, Naskah, lebih sering memperkenalkan diri sebagai orang Sawang.
“Saya tidak menemukan rujukan ilmiah yang menyebut orang Sawang. Kalau buku tentang orang Sekak, ada walau tidak banyak. Kata Sawang tidak bermakna lebih baik dari Sekak. Sebab, Sawang lazim berarti kotoran hitam di dinding rumah,” tutur Iwabuchi.
Orang Sekak juga makin kehilangan identitas sebagai orang laut. Kehilangan itu menjadi kian meningkat sejak adanya kebijakan pemerintah yang mewajibkan masyarakat tinggal di darat. Sebelum kebijakan itu dikeluarkan pemerintah, orang Sekak tinggal di perahu yang disebut kolek. Perahu yang rata-rata selebar 2 meter dan panjang 10 meter itu adalah rumah bagi keluarga orang Sekak. “Sebelum tinggal di parak (rumah panggung) seperti sekarang, saya tinggal di kolek. Rasanya sudah lebih dari 20 tahun saya tidak pernah melihat kolek,” ujar Wak Jem.
Dengan kolek, mereka hanya sesekali ke darat. Biasanya untuk mencari air tawar jika lama tidak hujan. Untuk makanan, mereka bisa menyantap apa saja yang didapat dari laut.
Setelah kebijakan tinggal di darat, orang Sekak perlahan mengganti kolek dengan perahu bermesin. Dengan perahu mesin, waktu berada di laut lebih singkat. Tak ada lagi orang Sekak yang melaut selama berbulan-bulan. “Ayah melaut sepekan sampai 10 hari, lalu pulang,” ujar Naskah.
Mereka tidak lagi melaut secara subsisten atau hanya mencari kebutuhan satu hari. Orang Sekak sudah hidup seperti orang darat yang menginginkan sepeda motor baru, televisi baru, dan rumah lebih besar.
Saat hasil melaut tidak lagi cukup untuk memenuhi kebutuhan itu, mereka pun gampang banting setir untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Kini, sebagian orang Sekak juga telah bekerja di tambang timah ilegal. Pekerjaan yang bertentangan dengan falsafah hidup masyarakat Sekak yang bersahabat dengan alam. Padahal, falsafah itu yang dipegang teguh orang Sekak selama ratusan tahun, sejak nenek moyang mereka. (KRIS RAZIANTO MADA) ***

*) KOMPAS edisi Sabtu, 2 Juni 2012 hal. 24
logoblog

Thanks for reading SUKU SEKAK YANG TERANCAM PUNAH

Previous
« Prev Post

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sahabat Blog