Kamis, Agustus 22, 2013

Tiga Hari di Desa Tanjung Beringin

  Budiarto Eko Kusumo       Kamis, Agustus 22, 2013
Dalam sebuah proyek bertitel Survey Konstruksi Pendidikan (SKP) 2013, saya pada hari Rabu, 17 Juli 2013 berkesempatan untuk melakukan perjalanan panjang menuju ke Kabupaten Melawi. Perjalanan ke sana dalam rangka monitoring tim yang ada di sana.
Salah satu kunjungan itu adalah saya harus menuju ke Desa Tanjung Beringin, Kecamatan Menukung, Kabupaten Melawi, Provinsi Kalimantan Barat.
Dari Nanga Pinoh, ibukota Kabupaten Melawi, diperlukan sekitar tiga jam untuk sampai ke desa tersebut melalui jalan air atau sungai yang berjarak sekitar 60 Km. Pertama, melalui Sungai Melawi dengan menggunakan speedboat, dan selanjutnya, melintasi Sungai Keruap dengan memakai perahu tempel, atau masyarakat setempat menyebutnya kelotok.


Sepanjang perjalanan, Anda akan disuguhi panorama yang indah. Sepanjang kiri-kanan sungai, mata kita masih dimanjakan dengan deretan pepohonan menjulang tinggi, yang disertai deburan ombak sungai yang menggeliat ke atas manakala speedboad yang ditumpangi bertemu dengan speedboat lain yang berlawanan arah.
Dalam perjalanan di Sungai Melawi, speedboat berhenti dua kali di rumah terapung. Pertama, berhenti untuk mengisi bensin di warung apung usai sejam perjalanan. Lalu, speedboat akan berhenti di Nanga Keruap. Nanga dalam bahasa setempat berarti pertemuan sungai. Memang, dalam pemberhentian kedua kita berada di sebuah pertemuan Sungai Melawi dengan Sungai Keruap.
Lalu, perjalanan dilanjutkan dengan kelotok dari Nanga Keruap menuju ke Desa Tanjung Beringin. Kurang lebih 45 menit, waktu tempuh dari Nanga Keruap menuju Desa Tanjung Beringin memakai kelotok. Kendati, lebar Sungai Keruap hanya sepertiga dari lebar Sungai Melawi yang kesohor besarnya namun tidak mengurangi pemandangan yang ada di Sungai Keruap. Bahkan, dari deretan tumbuhan yang ada lebih menunjukkan kelebatannya karena rapatnya jarak tumbuh pepohonan.
Kira-kira pukul 16.30 waktu setempat, kelotok merapat di tepi sungai di mana Desa Tanjung Beringin berada.


Kedatangan kami disambut oleh Kepala Sekolah SDN 4 Tanjung Beringin, Merudin. Kelak, di mana selama dua malam kami akan menginap di rumah beliau.  Kebetulan rumah beliau berada tidak jauh dari lokasi pemberhentian kelotok, dan tidak jauh pula dengan lokasi keberadaan SMP 9 Tanjung Beringin.
Tidak berapa lama istirahat sambil berbicang-bincang dengan Pak Merudin, masuklah waktunya buka puasa. Dalam benak, saya dan dua teman merasa akan kesulitan mencari makan untuk berbuka puasa namun situasi dan kondisi berbicara lain. Kendati kami berada di perkampungan yang dihuni oleh suku Dayak, dan beragama Katholik maupun Kristen namun kami mendapat perlakuan jamuan untuk berbuka puasa dan dipanggilkan Pak Guru Heri. Dia adalah satu-satunya orang muslim yang sudah tinggal di perkampungan tersebut kurang lebih tiga tahun. Bagai pucuk dicinta ulam tiba, Pak Guru Heri merasa kali ini selama tinggal di sini merasakan buka bersama dan bagi kami, hal ini mungkin juga merupakan suasana pertama melakukan ibadah puasa di tengah-tengah komunitas yang seratus persen memeluk Nasrani. Sungguh kenangan yang tak terlupakan!
Tidak hanya saat berbuka puasa, ketika sahur pun kami dibangunkan oleh keluarga Pak Merudin. Yang saya kagum adalah ketika Pak Guru Heri menemani kami makan sahur, dia bercerita bahwa ayam yang kita makan ini yang menyembelih adalah saya (maksudnya Pak Guru Heri). Karena Pak Merudin menyuruh Pak Guru Heri untuk menyembelih ayam agar supaya halal untuk dimakan karena disembelih dengan ucapan bismillahirrahmanirrahim. Sungguh cerita toleransi berbalut keragaman yang sangat menarik!
Desa Tanjung Beringin berdiri pada tahun 1971 dari peleburan tiga kampung yaitu Labang Manyang, Labang Barat, dan Nanga Mawang. Salah satu kebiasaan yang ada di daerah sini, adalah pemberian nama bagi kampung maupun desa biasanya bermuara dari tanaman yang biasa hidup di daerah tersebut pada mulanya. Tanjung Beringin, konon memang di tanah yang menjorok ke Sungai Keruap ini terdapat pahon beringin. Labang Manyang, konon di kampung tersebut terdapat kubangan atau genangan air yang ditumbuhi pohon manyang, dan Nanga Mawang konon di kampung tersebut ada sebuah pertemuan aliran air yang banyak ditumbuhi pohon mawang. Mawang adalah sejenis pohon mangga yang memiliki serat yang kuat (pakel).
Bila malam tiba, Desa Tanjung Beringin gelap gulita karena PLN belum menancapkan tiang-tiangnya di desa ini. Namun ketika kami bermalam di sini, tuan rumah menyalakan genzet kecilnya untuk sampai jam 11 malam, lalu dilanjutkan dengan lampu tenaga surya yang katanya berharga 3 juta.
Masyarakat yang mendiami Desa Tanjung Beringin, mayoritas adalah suku Dayak Limbai, dan diperkirakan ada sekitar 100 Kepala Keluarga (KK). Suku Dayak Limbai merupakan sub suku Dayak Rumpun Ot Danum. Menurut cerita yang beredar, dulu suku Dayak Limbai bermukim jauh ke arah daratan adalah dengan tujuan untuk menghindari para pengayau pada masa perang “kayau”. Konon, para pengayau lebih banyak bepergian melalui sungai. Dengan bermukim di tengah daratan, mereka sulit sekali ditemukan musuh-musuhnya.
Suku Dayak Limbai tidak diketahui asal-usulnya, namun dari cerita turun temurun bahwa yang menjadi Temenggung pertama orang Limbai adalah Tumak Baya dari Kelopok dan Bonau dari Guhung Berajang. Sedangkan yang menjadi pemimpin Bonuh Limbai adalah Cai Elai dari Kelait.
Sebagian besar masyarakat Desa Tanjung Beringin bermatapencaharian utama berladang di perbukitan maupun menyadap karet.
Jumat, 19 Juli 2013 saya dan teman-teman meninggalkan Desa Tanjung Beringin guna melanjutkan perjalanan. Kebetulan kita dijemput oleh speedboat yang ditumpangi teman-teman dari Desa Lahai. Sampai di dermaga Nanga Pinoh usai ashar, dan selang satu jam dijemput oleh teman yang lain memakai mobil kijang avanza untuk melanjutkan perjalanan darat ke Pontianak sehingga tidak perlu menginap lagi di Hotel Pinoh Permai di jantung Kota Nanga Pinoh. Selama menunggu jemputan, kami mencoba mengunjungi tiga lokasi yang diusulkan oleh pemerintah setempat sebagai Benda Cagar Budaya (BCB) yang ada di Nanga Pinoh, yaitu Tugu RIS, Kantor Dinas Pemuda, Olahraga, Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Melawi,dan Klenteng FukTek Chie. Ketiga lokasi ini tidaklah begitu jauh dengan dermaga Nanga Pinoh yang berada di lingkungan Pasar Nanga Pinoh.
Tiga hari berada di perkampungan suku Dayak Limbai memberi sebuah memori antropologis yang mengesankan. Di satu sisi kita bisa mengenal dan memahami masyarakat suku Dayak Limbai secara faktual, dan di lain sisi kita bisa mengetahui adat kebiasaan yang menyertainya. Dalam Hukum Adat Dayak, secara umum mereka akan menghormati dan melindungi tamu yang menghoramti hukum adatnya, bahkan menjadikannya sebagai saudara angkat. Namun, sebaliknya hukum adat juga akan memberikan sanksi kepada tamu yang tidak menghormati hukum adat. *** [170713]
logoblog

Thanks for reading Tiga Hari di Desa Tanjung Beringin

Previous
« Prev Post

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sahabat Blog