Minggu, Juni 27, 2021

Pikiran Dapat Berpengaruh Pada Tubuh

  Budiarto Eko Kusumo       Minggu, Juni 27, 2021
"I admit that thoughts influence the body"

Judul tulisan di atas merupakan penggalan pernyataan Albert Einstein yang sangat relevan dengan kondisi kita saat ini. Lengkapnya adalah “Saya akui bahwa pikiran mempempengaruhi tubuh” (I admit that thoughts influence the body).
Mengutip Britannica, Einstein merupakan fisikawan kelahiran Jerman yang mengembangkan teori relativitas khusus dan umum serta memenangkan Hadiah Nobel bidang Fisika (Nobel Prize in Physics) pada 1921 untuk penjelasan tentang efek fotolistrik, yang kelanjutannya penting untuk membangun teori kuantum fisika.
Einstein lahir di Ulm, Württenberg, Jerman, pada 14 Maret 1879 dan meninggal di Amerika Serikat pada 18 April 1955. Ia dianggap sebagai fisikawan paling berpengaruh di abad XX karena kejeniusannya. 
Banyak sumbangan Einstein bagi pengembangan ilmu pengetahuan untuk dunia, seperti pengembangan mekanika kuantum, mekanika statistik, dan komologi. Hingga kini karya-karya tersebut terus dikembangkan dan memiliki manfaat yang besar bagi dunia pendidikan.
Dalam hidupnya yang berpengaruh dalam dunia ilmu pengetahuan itu, banyak petikan kata-katanya yang kerap dicomot. Salah satunya ujaran I admit that thoughts influence the body yang terkait dengan kesehatan.
Menjaga kesehatan tubuh sangat penting karena berpengaruh pada kualitas kehidupan, karena kesehatan merupakan nikmat utama dalam menjalani kehidupan. Jika kondisi tubuh sehat, kita bisa melakukan segala aktivitas dengan lancar.
Tidak dapat dipungkiri, bahwa ketenangan dan kedamaian jiwa sangat mempengaruhi kesehatan tubuh. Berbagai penyakit fisik maupun psikis sebenarnya dapat di atasi dan disembuhkan jika kita memelihara ketenangan dan kestabilan jiwa. Tubuh dan pikiran terkait erat, dan karenanya merupakan bagian dari pengalaman manusia.
Ujaran Einstein disinyalir mendapatkan relevasinya pada masa pademi Corona ini. COVID-19 telah meningkatkan kecemasan banyak orang. Pelaksanaan pembatasan sosial berskala besar berpontensi memicu terjadinya anxiety (gangguan kecemasan), depresi, dan stress di masyarakat. Faktor lain yang dapat menyebabkan seseorang mengalami gangguan kecemasan adalah lingkungan, emosional, dan faktor fisik.
Dalam UNAIR News yang dirilis pada 23 Oktober 2020, disebutkan bahwa penelitian yang telah dilakukan di berbagai negara melaporkan bahwa gangguan kecemasan mengakibatkan anomali psikologi selama pandemi COVID-19. Dampak negatif dari gangguan kecemasan yang dialami individu adalah menurunkan imunitas tubuh sehingga rentan terkena penyakit.
Selain itu, penyebaran informasi yang tidak benar (hoaks) juga turut memperburuk kondisi kesehatan mental (pikiran) masyarakat, terlebih bagi masyarakat Indonesia yang memiliki tingkat literasi rendah. Indonesia menempati rangking ke 62 dari 70 negara berkaitan dengan tingkat literasi, atau berada 10 negara terbawah yang mempunyai tingkat literasi rendah.
Literasi sendiri adalah kedalaman pengetahuan seseorang terhadap suatu subjek ilmu pengetahuan. Rendahnya literasi menyebabkan masyarakat mudah mempercayai hoaks atau berita palsu. Hoaks juga marak karena budaya baca menurun dan masyarakatnya aktif memegang gawai/gadget untuk bermedsos ria.
Data lembaga penelitian Nielsen, menyebutkan bahwa setiap harinya dapat menghabiskan waktu berselancar di dunia maya menggunakan komputer selama 4 jam 42 menit, browsing di handphone selama 3 jam 33 menit, dan menghabiskan waktu di sosial media selama 2 jam 51 menit.
Penggunaan media sosial yang berlebihan di Indonesia ternyata berdampak buruk bagi kesehatan mental. Menurut Sujarwoto, staf pengajar dan peneliti di Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya (FIA UB), dalam penelitiannya yang berjudul A Tool to Help or Harm? Online Social Media Use and Adult Mental Health in Indonesia, mereka yang berlebihan dalam memakai media sosial punya kesehatan mental yang buruk atau punya risiko depresi.
Penelitian yang dipublikasikan dalam International Journal of Mental Health and Addiction (2019) itu, menggunakan data dari Indonesian Family Life Survey (IFLS) yang merepresentasikan 83 persen populasi di seluruh Indonesia. Responden penelitian ini adalah 22.423 orang dewasa yang berusia di atas 20 tahun dari 9.987 rumah tangga.
Terkait hoaks yang berseliweran di media sosial, masyarakat tidak perlu membuncah (gelisah). Harold Geneen, seorang konglomerat yang memiliki 150 perusahaan, telah membagikan pengalaman bisnisnya dalam menangkal hoaks. Ia mengatakan bahwa unsur paling penting dalam bisnis adalah fakta. Dapatkan fakta sesungguhnya, bukan fakta yang jelas terlihat atau fakta berdasarkan asumsi atau fakta yang mungkin diinginkan dan dipikirkan. Dapatkan fakta sesungguhnya. Fakta tidak berbohong (Brian Tracy, 2016: 49).
Salah satu kata paling penting pada masa pandemi ini adalah ‘validasi’. Jangan pernah berasumsi. Ketika seseorang mendapatkan berita, segera ambil tindakan untuk memvalidasinya, mengumpulkan bukti agar mendapatkan fakta yang sebenarnya.
Dengan memvalidasinya, masyarakat akan tahu bahwa berita itu benar atau palsu. Mengetahui kebenaran ini juga sudah merupakan langkah untuk mengurangi gangguan kecemasan, sehingga pikiran menjadi tenang. Pikiran yang tenang akan berkolerasi positif terhadap kesehatan tubuh seseorang.
Sebagai renungan, alangkah baiknya menyimak perkataan Ibnu Sina (980 – 1037 M), seorang filsuf Muslim Perintis Ilmu Kedokteran Dunia, di bawah ini:

“Kepanikan adalah separuh penyakit,
Ketenangan adalah separuh obat, dan
Kesabaran adalah permulaan dari kesembuhan.”


logoblog

Thanks for reading Pikiran Dapat Berpengaruh Pada Tubuh

Previous
« Prev Post

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sahabat Blog