"In love, nobody wins, nobody loses, and nobody is punished; we all just suffer the consequences." -Joao Braga |
Cinta adalah sebuah topik yang memiliki daya tarik memikat bagi orang awam maupun intelektual dari dulu hingga sekarang. Karena cinta itu bagaikan tabir. Di dalamnya terdapat sebuah misteri yang “misterius”. Konsep cinta telah menjadi subjek yang sulit dipahami.
Banyak penelitian yang dilakukan oleh saintis untuk mengungkap tabir cinta, namun mereka akan sulit untuk mengerti apa itu cinta? Mereka umumnya hanya meneliti indikator yang dialami oleh orang yang sedang jatuh cinta.
Heather M. Chapman dalam tulisannya, Love: A Biological, Psychological and Philosophical Study (2011) yang dimuat dalam laman University of Rhode Island, Amerika Serikat (https://digitalcommons.uri.edu/) menjelaskan perihal cinta secara gamblang. Dalam studinya itu, Chapman mewawancarai sejumlah pakar biologi, psikologi, dan filosofi untuk mengkaji aspek biologis, psikologis dan filosofis cinta.
Dalam perspektif biologi, ketika pasangan bertemu untuk pertama kalinya, ketertarikan bisa terjadi seketika. Mereka mungkin menggambarkan pertemuan itu sebagai "kejutan pada sistem", atau "listrik". Semua hormon yang menyangkut ketertarikan lawan jenis akan bekerja.
Faktanya, penelitian menemukan bahwa mata seseorang berubah ketika mereka melihat sesuatu yang mereka inginkan. Melihat ke mata kekasih itu seperti melihat ke dalam api... Berkat suntikan adrenalin, telapak tangan berkeringat, napas menjadi dangkal, kulit terasa panas, dan pupil mata membesar.
Ketika Dr. Nasser Zawia yang menekuni masalah biologi cinta, ditanya aspek cinta mana yang memainkan peran terbesar dalam cinta, dia menyatakan, “Pada awalnya bagian terpenting adalah biologi, kemudian ketika cinta matang, psikologi menjadi yang terpenting.”
Sementara komponen biologis cinta telah terbukti sangat penting, seseorang harus memeriksa psikologi cinta untuk mendapatkan gambaran lengkap tentang pengalaman manusia yang penting ini. Sementara cinta bisa tampak seperti konsep yang sangat abstrak, itu penting dan cukup konkrit untuk dipelajari oleh psikolog, dan akhirnya beberapa teori tentang cinta telah berevolusi.
Ketika Dianne Kinsey, seorang psikolog cinta, ditanya mengenai aspek cinta, biologi, psikologi atau filsafat yang paling penting dalam hubungan yang sukses, Kinsey menyatakan bahwa itu adalah “kombinasi dari ketiganya.”
Tapi apa cinta itu? Mengapa kita tergolong untuk mencapainya, dan mengapa kita begitu putus asa ketika itu hilang dari hidup kita? Untuk memahami dan menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, sangat penting untuk melakukan perjalanan melalui sejarah, dan untuk membahas bagaimana cinta dipahami di masa lalu.
Seorang filsuf yang lebih modern, Michael Boylan, membahas ide cintanya dalam bukunya The Good, The True and The Beautiful. Dia menyatakan bahwa cinta adalah tindakan, dan konsep membawa kita untuk berubah dan tumbuh sebagai manusia. “Cinta adalah motivator yang kuat untuk menjadi baik.”
Di akhir penelitiannya, Chapman mengatakan bahwa penelitian lebih lanjut perlu dilakukan untuk menemukan apa sebenarnya cinta itu. Meskipun tidak ada definisi akhir dari cinta yang disimpulkan, kutipan dari Blaise Pascal (1623-1662) paling mendekati untuk mendapatkan petunjuk: "Hati memiliki alasan yang tidak dapat diketahui oleh akal."
Dari situ kita bisa mengerti mengapa orang yang putus cinta itu sesungguhnya merupakan hal yang wajar. Putus cinta bukan hal yang tabu maupun melahirkan stigma kegagalan bagi yang pernah mengalaminya. Memang, pada saat mengalami putus cinta terkadang kita begitu putus asa seolah-olah hal itu hilang dari hidup kita.
Sama dengan jatuh cinta, ketika mengalami putus cinta akan mengalami perubahan biologis dan psikologis. Kalau pada waktu jatuh cinta, hormon ‘berbunga-bunga’ akan mendominasi sementara pada waktu putus cinta, hormon ‘lunglai’ akan meningkat tajam.
Orang yang mengalami putus cinta juga akan menderita gangguan emosi untuk beberapa waktu dan mental pun menjadi tidak terukur maupun terarah. Kejadian ini, oleh orang awam sering dianggap sebagai sebuah ‘indikator kekalahan’, bahwa orang yang ditinggalkan atau diputus cintanya adalah orang yang kalah. Anggapan ini yang acapkali ‘memperparah’ kondisi kejiwaan seseorang yang sedang patah hati bila orang itu tidak memiliki ketahanan psikologis (psychological resilience) yang baik.
Alangkah baiknya kita menyimak kutipannya (quote) Joao Braga: “In love, nobody wins, nobody loses, and nobody is punished; we all just suffer the consequences” (Dalam cinta, tak ada yang kalah atau menang, tak ada pula yang akan dihukum; karena semua merasakan penderitaan sesuai dengan konsekuensinya masing-masing). *** [131021]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar