"Divorce isn’t the child’s fault. Don’t say anything unkind about you ex to the child, because you’re really just hurting the child." -Valerie Bertinelli |
Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai pasangan suami dan istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, tetapi dalam mempertahankan sebuah rumah tangga tidaklah mudah adakalanya perselisihan yang terjadi terus menerus dapat mengakibatkan perceraian.
Menurut data Survei Sosial Ekonomi Nasional 2020 (Susenas 2020), tingkat perceraian di Indonesia terus meningkat. Pada 2015 sebanyak 5,89 persen pasangan suami istri bercerai (hidup). Jumlahnya sekitar 3,9 juta dari total 67,2 juta rumah tangga. Pada 2020, persentase perceraian naik menjadi 6,4 persen dari 72,9 juta rumah tangga atau sekitar 4,7 juta pasangan (https://lokadata.id/).
Kasus perceraian merupakan jenis kasus yang mendominasi Peradilan Agama di seluruh Indonesia. Perkara perceraian yang masuk ke pangadilan sepanjang Januari-Agustus 2020 lebih banyak disebabkan oleh perselisihan dan pertengkaran terus menerus pasangan suami istri, faktor ekonomi, dan satu pihak meninggalkan pihak lain.
Dalam skala global, kasus perceraian juga memperlihatkan tren kenaikan. Dalam tulisan “Mengapa angka perceraian di berbagai negara melonjak saat pandemi COVID-19?” yang dimuat dalam situs www.bbc.com (17/12/2020), para pakar pernikahan yakin bahwa pasangan yang tidak menghadapi masalah sebelum pandemi dan menghindari perubahan besar dalam kesehatan atau dinamika rumah tangga juga rentan bercerai.
Tren ini terjadi karena pandemi menghilangkan rutinitas yang menawarkan kenyamanan, stabilitas, dan ritme, kata Ronen Stilman, psikoterapis sekaligus juru bicara Dewan Psikoterapi Inggris. Ketiadaan rutinitas itu membuat pasangan memiliki kesempatan terbatas untuk “mencari bentuk dukungan atau stimulasi lain” di luar hubungan mereka.
Di lihat dari sejarahnya, perceraian merupakan fakta kuno yang masih eksis hingga sekarang. Dari tahun ke tahun, jumlah masyarakat yang mengajukan perceraian terus bertambah. Lepas dari faktor apa yang melatarbelakangi perceraian itu, Valerie Bertinelli, seorang aktris Amerika pemenang sejumlah penghargaan, penulis dan koki, mengingatkan: “Divorce isn’t the child’s fault. Don’t say anything unkind about you ex to the child, because you’re really just hurting the child” (Perceraian bukanlah kesalahan anak-anak. Jangan mengatakan apa pun tentang mantanmu kepada anak-anak, karena kamu akan sangat menyakitinya).
Mengapa sangat penting untuk tidak membicarakan mantan Anda di depan anak Anda?
Dalam perceraian, anak akan dihadapkan pada kenyataan bahwa anak akan menjumpai orangtuanya yang terpisah. Dengan terpisahnya orangtua, anak akan menemui orangtuanya dalam waktu dan tempat yang berlainan. Kendati hak asuh jatuh pada ibunya misalnya, akan tetapi terkadang si anak juga timbul rasa kangen terhadap ayahnya.
Suatu ketika pasti akan muncul permasalahan di mana anak mengalami perbedaan dalam hal pengasuhan. Misalnya ketika bersama ibunya, disiplin begitu ditegakkan, tapi pada saat bersama ayahnya, anak menjumpai kebebasan.
Dalam situasi ini, sangat penting bagi orangtua untuk menghindari membuat komentar yang meremehkan tentang pilihan pengasuhan mantan Anda. Jika anak Anda marah karena Anda menyuruh mereka tidur lebih awal dari orangtua mereka yang lain, atau melarang berhenti main game sebelum pekerjaan selesai, itu adalah pilihan pengasuhan pribadi.
Jadi, ketika anak-anak Anda mengeluh tentang kebebasan yang mereka miliki di rumah orangtua mereka yang lain, jangan menyerang atau mencoba membenarkan keputusan Anda dengan membicarakan mantan Anda dengan menjelek-jelekkannya.
Dalam berbagai situs Divorce Psychology, disebutkan bahwa kebanyakan anak mencintai kedua orangtuanya, terlepas dari kekurangan dan kesalahan yang mungkin dimiliki orangtua tersebut. Mengatakan hal-hal yang tidak baik tentang mantan Anda, terlepas dari seberapa akuratnya itu, akan menyakitkan bagi anak-anak Anda. Lagi pula, anak Anda adalah produk dari kedua orangtuanya, jadi menghina mantan Anda sama saja dengan menghina anak Anda secara tidak langsung.
Hal terpenting yang dapat Anda lakukan adalah menyadari interaksi dan perilaku Anda sendiri, tetap mengendalikan kemarahan atau frustasi Anda, dan tunjukkan kepada anak-anak Anda bahwa Anda dan mantan dapat menjadi orangtua yang kooperatif meskipun Anda sudah tidak hidup bersamanya lagi. Hal ini tentunya untuk menghindari efek psikologis perceraian pada anak lebih dalam lagi. *** [230122]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar