Sabtu, November 08, 2025

Meniti Doa di Balik Gema Tahlil: Sebuah Kisah dari Sukorejo

  Budiarto Eko Kusumo       Sabtu, November 08, 2025
Sehari sebelumnya sekitar pukul 07.09 WIB, sebuah pesan masuk di ponsel saya. Pengirimnya adalah seorang teman lama, kawan seperjuangan semasa saya bertugas di Aceh dalam proyek The Study of The Tsunami Aftermath and Recovery (STAR) bersama SurveyMETER Yogyakarta antara 1 Mei 2006 hingga 14 Mei 2010. Ia mengabarkan untuk mengundang saya ke rumah kakaknya di Dusun Jengglong RT 15 RW 02 Desa Sukorejo, Kecamatan Gondanglegi, Kabupaten Malang, dalam acara hajatan kirim doa – tahlilan, pada Jumat (07/11).
Pesan itu sederhana, namun ada getaran halus yang menjalar: undangan untuk ikut mendoakan mereka yang telah berpulang, menghidupkan kembali kenangan, dan menautkan kembali persaudaraan yang sempat renggang oleh jarak dan waktu.

Selesai tahlil, ustadz yang memimpin santai sejenak


Senandung Tahlil Malam Hari di Sukorejo
Menjelang malam, selepas Isya’, suasana kampung Sukorejo gerimis kecil dan syahdu. Rumah tempat hajatan berada tepat di depan rumah teman penelitian saya dulu, Hendrik Nugroho. Lampu-lampu terang di beranda memantulkan bayangan jamaah yang mulai berdatangan - para tetangga, sanak keluarga, dan handai taulan yang datang dengan wajah penuh takzim. Di teras dan ruang tamu, tikar-tikar digelar, air minum disiapkan, dan suara salam bersahutan menandai hangatnya pertemuan.
Acara dimulai dipimpin oleh Ketua Takmir sekaligus ustadz setempat, Bapak Musoli. Dengan suara tenang dan penuh wibawa, beliau memulai bacaan Surah Al-Fatihah, diikuti Surah Yasin, Ayat Kursi, hingga doa penutup. Gema tahlil mengalun merdu, membentuk harmoni antara zikir dan rasa. Setiap lantunan “Lā ilāha illallāh” seolah membuka tabir langit, mengalirkan doa bagi arwah yang telah mendahului.
Puluhan nama disebutkan oleh Bapak Musoli malam itu - orangtua, kakek-nenek, kerabat yang telah berpulang. Setiap nama adalah sejarah, setiap doa adalah pengikat antara yang hidup dan yang telah tiada.
"Dalam setiap helai lafaz tahlil, ada rindu yang disampaikan lewat doa, 
dan dalam setiap zikir yang terucap, ada cinta yang tak lekang oleh kematian."
Sekantong kresek berisi "oleh-oleh" dari tuan rumah untuk dibawa pulang


Rawon dan Kehangatan Sosial
Usai doa penutup, suasana berubah menjadi lebih hangat. Puluhan piring berisi nasi rawon disuguhkan berantai oleh tuan rumah. Di antara aroma rempah dan kuah hitam yang gurih, percakapan ringan mulai mengalir. Di sudut ruangan, beberapa anak muda membantu membagikan air mineral dan pisang, sementara potongan semangka segar menyegarkan tenggorokan.
Tidak hanya itu, sebagaimana tradisi di banyak tempat di Jawa, para tamu juga dibawakan “oleh-oleh” berupa nasi ayam dan seplastik kue jajan pasar saat pulang. Sungguh, di balik kesederhanaan itu, ada makna sosial yang dalam - tentang berbagi rezeki, memperkuat silaturahmi, dan meneguhkan rasa kebersamaan.
Saya menatap piring rawon di hadapan, sambil berbisik lirih dalam hati: “Nikmat mana lagi yang engkau dustakan.”

Sepiring nasi rawon dalam tahlilan


Makna Spiritual dan Sosial Tahlilan
Tahlilan bukan sekadar tradisi, melainkan simbol keterhubungan antara dunia fana dan alam baka. Secara etimologis, kata tahlilan berasal dari bahasa Arab tahlīl (تهليل) yang berarti membaca kalimat “Lā ilāha illallāh” - tiada Tuhan selain Allah. Ia adalah pernyataan tauhid, pengingat bahwa hidup hanyalah titipan dan setiap napas adalah kesempatan untuk mengingat Sang Pencipta.
Dalam praktiknya, tahlilan sering dilaksanakan pada malam pertama setelah kematian, lalu pada hari ke-7, ke-40, ke-100, hingga ke-1000. Dalam budaya Jawa dikenal istilah mitung ndino, matangpuluh, nyatus, dan nyewu. Bahkan setelahnya, keluarga kerap menggelar haul tahunan untuk terus mengenang dan mendoakan almarhum.
Namun, tahlilan bukan semata untuk yang telah tiada. Ia juga menjadi obat bagi yang hidup. Di tengah bacaan zikir dan doa, hati yang berduka menemukan ketenangan. Mereka yang ditinggalkan merasa tidak sendiri - tetangga, sahabat, dan kerabat hadir memberikan dukungan spiritual dan sosial.
"Tahlil adalah jembatan yang menghubungkan doa dan kenangan, 
tempat jiwa-jiwa yang berpisah bertemu dalam keheningan yang khusyuk."
Dalam konteks sosial, tahlilan adalah wujud nyata ibadah sosial. Ia mengajarkan nilai kebersamaan, gotong royong, dan empati. Setiap orang yang hadir berkontribusi, baik dalam bentuk tenaga, doa, atau hidangan. Dalam satu malam tahlil, terlihat jelas bagaimana ajaran Islam menuntun umatnya untuk saling peduli dan saling mendoakan.

Menyatu dengan jamaah lainnya


Tahlilan, Sebuah Renungan
Malam semakin larut ketika satu per satu tamu berpamitan. Saya melangkah keluar rumah dengan hati hangat. Di langit Sukorejo, bulan tampak menggantung tenang di antara awan tipis usai gerimis, seolah menyaksikan setiap doa yang terucap.
Di perjalanan pulang, saya merenungi makna tahlil malam itu. Bahwa dalam setiap bacaan, terkandung ajakan untuk ikhlas, mengingat kematian, dan mempersiapkan diri menghadapi kehidupan yang hakiki. Bahwa dalam setiap suapan rawon dan dalam setiap salam perpisahan, tersembunyi nilai solidaritas yang tak ternilai.
“Tahlil bukan sekadar rangkaian doa,
tapi sebuah perjalanan jiwa - 
dari kefanaan menuju keabadian,
dari rindu menjadi ridha,
dari kehilangan menjadi ketenangan.”
Dan di antara gema tahlil yang perlahan menghilang, saya tahu: malam di Sukorejo itu bukan sekadar ritual, melainkan pengingat halus bahwa setiap hidup akan berpulang, namun cinta dan doa akan selalu menemukan jalannya. *** [081125]


logoblog

Thanks for reading Meniti Doa di Balik Gema Tahlil: Sebuah Kisah dari Sukorejo

Previous
« Prev Post

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sahabat Blog