![]() |
| Kupu-kupu Leptosia nina sedang mengisap nektar bunga taji perak (Coleus argentatus) di halaman Sekretariat SMARThealth Kepanjen, Kabupaten Malang |
“Butterflies are self propelled flowers.” ― Robert A. Heinlein
Pagi itu, udara masih lembap oleh sisa embun malam. Di halaman Sekretariat SMARThealth yang terletak di Dusun Lemah Duwur, Desa Dilem, Kecamatan Kepanjen, Kabupaten Malang, cahaya matahari yang baru muncul dari balik pepohonan memantul lembut di dinding pembatas halaman.
Saya tengah bersiap mengisi kolam yang terletak di dekat garasi, dan seperti biasa, harus memutar kran air yang menempel di tembok sisi barat tersebut. Namun langkah saya terhenti ketika sesuatu yang mungil dan menawan.
Di antara rumpun bunga taji perak (Coleus argentatus), seekor kupu-kupu mungil sedang meneguk sari bunga dengan ketenangan penuh. Sayapnya yang didominasi warna putih berkilau lembut diterpa cahaya pagi. Di ujung sayap tampak corak hitam halus, disertai satu bintik lonjong di sayap depan.
Ketika ia mengatupkan sayapnya, tampak garis-garis hijau samar di bagian bawah, seolah bayangan dedaunan yang menempel di permukaan kaca tipis. Gerakannya lembut, terbang rendah, kadang terhuyung dihembus angin, lalu kembali menjejak pada bunga lain di dekatnya.
Kupu-kupu itu adalah Leptosia nina (Fabricius, 1793), salah satu spesies mungil yang termasuk dalam famili Pieridae - keluarga besar kupu-kupu putih dan kuning yang dikenal lembut dan anggun. Ukurannya kecil, hanya sekitar 20–30 milimeter, dengan tubuh ramping dan sayap membulat.
Keindahan dan kelembutannya seolah menegaskan asal-usul namanya: Leptosia, dari bahasa Yunani Kuno leptos, yang berarti tipis, halus, ramping, atau lembut. Nama ini tampaknya menggambarkan dengan sempurna kesan rapuh dan ringan yang terpancar dari kupu-kupu ini.
Sedangkan nama “nina” - julukan spesifiknya - masih menyimpan misteri. Tidak ada catatan pasti mengenai maknanya, namun para ahli menduga berasal dari nama lokal di India yang kemudian dilatinisasi oleh para taksonom Eropa pada masa awal kolonial.
Spesies ini pertama kali dideskripsikan oleh Johann Christian Fabricius (1745–1808), seorang entomolog Denmark yang merupakan murid dari Carolus Linnaeus, Bapak Taksonomi Modern. Fabricius menamai spesies ini sebagai Papilio nina pada tahun 1793, sebelum akhirnya direklasifikasi ke dalam genus Leptosia. Penulisan dengan tanda kurung - (Fabricius, 1793) - menandakan bahwa genus aslinya berbeda dari yang berlaku sekarang.
Dalam bahasa Inggris, kupu-kupu ini dikenal dengan nama Psyche - sebuah nama yang sarat makna dan keindahan. Dalam mitologi Romawi, Psyche adalah seorang gadis fana yang begitu menawan hingga membuat dewi Venus cemburu. Ia dicintai oleh Cupid, sang dewa cinta, dan setelah melalui berbagai ujian berat, ia akhirnya diangkat menjadi abadi oleh Jupiter.
Kata psyche dalam bahasa Yunani berarti jiwa sekaligus kupu-kupu. Mungkin inilah alasan mengapa Leptosia nina kerap dipandang bukan sekadar serangga, tetapi juga lambang spiritual tentang metamorfosis dan keabadian jiwa.
Leptosia nina mudah dikenali. Sayap putihnya lembut, dihiasi sapuan hitam di ujungnya dan bintik-bintik tak beraturan yang tampak seperti lukisan alam. Dari sisi dalam sayap (upper side), tampak dua bundaran hitam seperti mata kecil, serta dua sapuan gelap di sudut atas. Ciri khas ini membuatnya berbeda dari kebanyakan anggota famili Pieridae lainnya. Bahkan, nama julukannya yang lain, Wandering Snowflake, terasa begitu pas - karena gerakannya di udara memang menyerupai serpihan salju yang menari pelan tertiup angin.
Kupu-kupu kecil ini memiliki kebiasaan terbang rendah, tidak terlalu jauh dari permukaan tanah, dan sering berhenti pada bunga-bunga kecil untuk mengisap nektar. Mereka jarang terbang sendirian tapi lebih sering terlihat berkelompok, berputar pelan di antara rerumputan dan semak berbunga. Dalam kesunyian pagi, gerakannya menciptakan suasana damai, seolah alam sedang bernafas lembut.
Lebih dari sekadar penampilannya yang indah, Leptosia nina memiliki peran ekologis penting sebagai polinator alami. Dengan kebiasaannya mengisap nektar, ia membantu proses penyerbukan pada bunga-bunga kecil di sekitar habitatnya. Dalam siklus kehidupan, keberadaan kupu-kupu seperti Leptosia nina merupakan bagian penting dari keseimbangan ekosistem - membantu tumbuhan berkembang biak dan menjaga keberlanjutan kehidupan di alam.
Kupu-kupu ini sering ditemukan di dataran rendah, daerah berumput, serta sekitar genangan air, tempat bunga liar tumbuh subur. Di lokasi seperti itulah saya menemukannya pagi itu - di dekat kolam kecil yang mencerminkan langit biru muda. Ia menari di antara bunga taji perak, membawa kesan lembut yang sulit dijelaskan dengan kata-kata.
Melihatnya, saya teringat ujaran (quote) dari penulis sains-fiksi Amerika, Robert Anson Heinlein (1907-1988), yang berbunyi:
“Kupu-kupu adalah bunga yang dapat bergerak sendiri.”
Dan benar adanya - Leptosia nina adalah bunga yang diberi sayap, lambang keindahan yang hidup. Dalam pandangan etnozoologi, ia bukan sekadar serangga kecil, tetapi bagian dari narasi budaya dan spiritual manusia. Ia mengajarkan tentang keseimbangan, kehalusan, dan transformasi - bahwa di balik sesuatu yang tampak rapuh, tersimpan kekuatan untuk menjaga kehidupan di alam.
Ketika kran air saya putar dan gemericik mulai terdengar, kupu-kupu kecil itu mengepak perlahan, lalu terbang menjauh di antara cahaya pagi. Saya menatap kepergiannya dengan rasa hangat: seolah seekor “jiwa bersayap” baru saja memberi salam lembut di awal hari. *** [111125]


Tidak ada komentar:
Posting Komentar