Visualisasi yang ada di layar TV atau komputer memberikan keasyikan kepada anak-anak. Anak-anak menjadi betah tinggal di rumah. Keengganan keluar rumah inilah yang mendorong orang tua membelikan seperangkat video game. Di samping tentunya, akan meningkatkan “social status” keluarga di lingkungan masyarakat. Karena keluarga tersebut akan dikatakan “modern”.
Namun, video game sebagai produk kemajuan teknologi modern (baca: komputer), memiliki kemungkinan-kemungkinan bagi perkembangan kepribadian anak. Ibarat sekeping mata uang atau sebilah pisau, karya teknologi selalu punya dua sisi atau fungsi yang bertentangan, baik-buruk, menguntungkan-merugikan, membawa manfaat-mendatangkan bencana. Lebih-lebih bila video game yang sering dimainkan adalah yang bertema kekerasan seperti Doom, Quake dan Redneck Rampage.
Hal in terungkap pada kasus penembakan brutal oleh dua pelajar Columbine High School di Littleton Colorado AS, Eric Harris (18) dan Dyland Klebold (17), tanggal 20 April 1999 yang lalu, yang menewaskan 11 rekan sekolahnya dan seorang guru. Kedua remaja itu kemudian bunuh diri.
Menurut analisis dari Simon Wiesenthal Center, permainan video game bertema kekerasan, seperti perang dan membunuh lawan, menjadi salah satu pemicu tindak kekerasan anak dan remaja. Eric Harris dan Dyland Klebold terinspirasi dari video game jenis ini bertahun-tahun sebelum membantai teman dan gurunya itu. Pikiran kriminal Harris mulai terlihat dari pernyataannya di situs Web miliknya, bahwa bom pipa paling mudah dibuat dan paling mematikan untuk membunuh sekelompok orang. Ia pun menulis, pecahan peluru sangat penting jika Anda mau membunuh banyak orang. Analisis lain menyatakan, rasa minder Klebold dan Harris terhadap rekan-rekannya yang berprestasi di bidang atletik mendorong mereka menunjukkan kejantanan dengan bermain senjata.
Pembantaian sadis yang termotivasi oleh permainan di komputer yang penuh kekerasan sebenarnya bukan pertama kali terjadi di Amerika Serikat. Pada Desember 1997 terjadi kasus penembakan serupa di sebuah sekolah menengah di Kentucky. Pelakunya, Michael Carneal (14), menembak tiga pelajar lainnya hingga tewas. Tindakan sadisnya itu diduga keras terpicu oleh aksi kekerasan yang terprogram dalam game kegemarannya.
Keranjingan anak-anak negara super power ini pada game di video atau komputer, menurut hasil sebuah survei yang ditulis Steve M. Dorman dalam Journal of School Health, membuka kemungkinan munculnya bibit-bibit pembunuh lainnya. Bahkan para peneliti berpendapat, video game menawarkan agresi lebih kuat pada anak-anak dibandingkan tontonan di TV. Alasan mereka, game jauh lebih hidup dan bersifat interaktif, bukan sekadar observasi seperti TV.
Menghadapi kenyataan seperti itu, haruskah orang tua mematikan video gamenya? Kalau tidak, bagaimana menyikapinya? Penjelasan apa yang harus diberikan kepada anak supaya mental mereka tetap sehat, tidak terpengaruh video game yang bercitra membunuh, menembaki atau merugikan orang lain secara umum.
Dr. Victor Strasburger, guru besar ilmu pendidikan anak di University of New Mexico School of Medicine, mengingatkan orang tua dari anak-anak usia 8-13 tahun, untuk senantiasa berada di samping anaknya saat mereka bermain video game atau bahkan yang sedang menyaksikan berita TV yang berbau kekerasan. Strasburger yang pernah meneliti efek media terhadap anak-anak, kemudian menambahkan, “Kalau sesuatu yang mengganggu tiba-tiba muncul, jangan ragu-ragu untuk segera mematikan pesawat televisi Anda atau permainan video game”.
Menurut dia, dibanding dengan keuntungan yang diperoleh, resiko yang didapat dari menonton berita TV/bermain video game (yang bersifat kekerasan, menakutkan) lebih besar. Bahkan resiko merugikan ini berlaku untuk anak-anak usia belasan tahun. Buktinya, berdasar jajak pendapat nasional oleh Children Now – sebuah organisasi advokasi di Oakland, California (AS) – lebih separuh remaja usia 11-16 merasa marah, tertekan, atau ketakutan setelah menyaksikan berita-berita keras di TV atau kekerasan yang berasal dari video game.
Penjelasan-penjelasan yang Anda berikan memang sangat bergantung pada usia anak. Tetapi jangan sekali-kali menganggap enteng anak balita dengan mengasumsikan mereka cepat lupa pada apa yang sudah mereka saksikan dalam TV atau media visualisasi lainnya. Karena kata Albert Bandura, psikolog dari Universitas Stanford, respon agresif bukan turunan, tetapi terbentuk dari pengalaman. Ia menunjuk contoh permainan Quake, yang dapat berfungsi sebagai pemicu agresi (aggregasion instigator). “Orang belajar tidak menyukai dan menyerang tipe individu tertentu melalui pengalaman atau pertemuan langsung yang tidak menyenangkan,” jelas Bandura.
Para orang tua hendaknya mengetahui apa yang dilakukan anak-anak dengan video game. Walaupun Anda sendiri mungkin tidak mengetahui permainan video game.***
Referensi:
- KOMPAS, Minggu, 2 Mei 1999
- KOMPAS, Minggu, 13 Juni 1999
Tidak ada komentar:
Posting Komentar