“Tidak sedikit manusia yang meminjam bagiannya di masa depan untuk membayar hutang-hutangnya di masa lalu, sebagaimana halnya tidak sedikit manusia yang mengambil bagiannya di masa depan untuk dikonsumsi di hari ini”.
(Kahlil Gibran)
Masih ingatkah Anda dengan asal muasal terbentuknya istilah “harta karun”? Istilah ini tidak terlepas dari kisah hidup Qarun, seorang konglomerat pada masa kerasulan Musa 'Alaihissalam. Bermula dari kehidupannya yang sederhana, ia meminta do’a dari Nabi Musa untuk mendapatkan rezeki yang banyak dari Allah.
Do’a Musa diterima Allah, hingga Qarun menjadi orang yang sangat kaya pada zamannya. Tapi sayang, limpahan rezeki dan kenikmatan dunia yang telah ia peroleh, tak pernah disyukurinya. Malahan, ia berani mengatakan kepada masyarakat di sekitarnya bahwa kekayaannya adalah hasil jerih payah usahanya yang dibekali dengan kemampuan pengetahuannya.
Inilah yang menyebabkan Allah murka, seperti yang diabadikan dalam Al-Qur’an Surat Al-Qashash: 81-82. Hingga akhirnya, dibenamkanlah Qarun dengan segala kekayaannya ke dalam perut bumi ini. Makanya, apabila seseorang menemukan emas atau barang berharga lainnya dari dalam tanah, sering dianggap mendapat harta karun. Artinya, harta miliknya Qarun yang telah dibenamkan ke dalam tanah.
Kisah di atas terulang lagi dengan munculnya sosok Tsa’labah. Ia adalah sahabat Rasul Muhammad Shallallahu 'alaihi wasallam yang miskin papa pada mulanya. Berkat do’a Nabi Muhammad, Tsa’labah bisa mengembangkan ternak dan jadilah ia saudagar kaya. Karena sibuk mengurusi ternak dan bisnisnya, Tsa’labah melupakan kewajibannya sebagai hamba Tuhan. Ia tidak bisa lagi salat berjamaah dengan Nabi, bahkan salat Jum’at pun sudah dia tinggalkan.
Suatu ketika Nabi Muhammad mengutus sahabat lainnya untuk mengambil zakat dari kekayaan Tsa’labah, tapi ditolaknya. Akhirnya, Allah pun murka. Turunlah Surat At-Taubah: 75-78 yang mengecam sikap Tsa’labah. Mendengar ayat yang mengecamnya, Tsa’labah ketakutan. Ia menemui Nabi untuk menyerahkan zakatnya. Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wasallam menolaknya. Ketika Khulafaur Rasyidin menggantikan Nabi Muhammad, zakat Tsa’labah pun ditolaknya, sampai ia meninggal pada masa Khalifah Utsman.
Bukan hanya pada masa rasul saja peristiwa seperti ini terjadi, dalam mitologi Yunani juga pernah dikisahkan bagaimana tamak dan rakusnya Raja Midas ketika bertahta. Karena gila harta dan kekuasaan itulah akhirnya memnyebabkan Raja Midas menjadi gila sungguhan. Sesudah itu, muncullah Midasme, semacam paham yang menyiratkan ketamakan – pemburu harta dan sekaligus budak harta.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam pernah bersabda, ”Andaikan anak Adam telah memiliki satu lembah emas, tentu ia ingin mempunyai dua lembah emas dan tidak akan menutup mulutnya (kerakusannya) kecuali tanah (mati). Dan Allah akan menerima taubat pada siapa yang dikehendaki” (HR. Bukhari-Muslim).
Menurut Imam Syafi’i dalam syair Thariqun Najah (Jalan Keselamatan), manusia berada di simpang jalan. Ada arah sesat dan arah keselamatan. Manusia bingung, mau melangkah kemana? Saya yakin bahwa Anda (termasuk saya tentunya), bahkan setiap orang ingin yang terbaik dalam pilihannya: arah keselamatan!
Qarun dan Tsa’labah pada awalnya memang bermaksud baik. Qarun berjanji kepada Rasul Musa, bila kaya ia akan bisa mempergunakan kekayaannya untuk kedermawanan. Begitu pula Tsa’labah ketika mengemukakan argumen kepada Rasul Muhammad, ”Ya Rasul, bukankah kalau Allah memberikan kekayaan kepadaku, maka aku dapat memberikan kepada setiap orang haknya”.
Namun kenyataan yang terjadi, mereka melupakan nikmat harta yang diberikan kepadanya. Mereka telah terpesona dengan harta kekayaannya. Kemegahan keduniawian membuat mereka terlena! Demikian dahsyatnya fatamorgana arcapada, yang telah menyilaukan setiap umat manusia, menjerumuskannya ke dalam arah sesat.
Konon, dalam persidangan akhirat kelak, orang kaya akan memerlukan waktu yang paling lama dan bertele-tele untuk mempertanggungjawabkan kekayaannya. Inilah yang menyebabkan mengapa lelaki al-amin bernama Muhammad yang memiliki bisnis sampai mancanegara kala itu, lebih memilih hidup sederhana.
Ketika Umar bin Khattab bertandang ke rumah Rasulullah, Umar sempat menangis menyaksikan penderitaan dan kemiskinan Nabi. Umar lalu bertanya kepada Nabi, ”Ya Rasul, kenapa Engkau Nabi kekasih Allah hanya berkamar sepetak dengan beberapa butir kurma di sudut kamar, sedangkam Raja Persia tidur di kamar yang bertaburan emas dan sekeranjang buah-buahan di kamarnya.”
Lalu Nabi hanya mengatakan dengan senyum, ”Biarlah, untuk mereka dunia, dan untuk kita akhirat. Kita mengambil hak-hak kebahagian dan kenikmatan orang-orang miskin, para yatim piatu, orang-orang peminta, dan orang-orang yang sedang merantau. Allah, Tuhan kita, telah menitipkan hak-hak orang miskin, orang lemah, serta orang terjepit dan terkuasai pada nikmat harta, nikmat kekuatan, dan nikmat kekuasaan yang kita nikmati sekarang ini. Dengan tidak menunaikan hak-haknya, berarti kita telah merampas miliknya, miliki yang dianugerahkan oleh Allah melalui kita”.
Padahal kalau mau, Muhammad bisa melebihi kekayaannya dari Qarun atau Tsa’labah. Perbedaannya jelas terletak pada life style. Muhammad tidak suka mempertontonkan – apalagi memamerkan – kekayaannya. Beliau lebih suka mempergunakan kekayaannya untuk memenuhi panggilan kewajibannya yang disyariatkan kepada setiap insan di dunia ini.
Abu Nawas pernah berbaik hati (maksudnya mengingatkan!) kepada penguasa Baghdad kala itu melalui ujarannya. ”Banyak orang sekarang mengumpulkan yang tidak bisa dibawanya. Tetapi tidak pernah berusaha mengumpulkan yang bisa dibawanya”.
Apa misteri dibalik ujaran Abu Nawas itu? Imam Haramain mensyairkannya sebagai berikut:
Semua sahabat akan menjauh, bila Anda telah tidak bernyawa lagi.
Anak dan istri tidak mau menyertaimu, begitu juga harta dan jabatan.
Kecuali sahabat yang tiga: shadaqah jariah, amal yang berguna dan anak shaleh.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar