Seusai tiga kali percobaan, akhirnya pesawat tanpa awak berwarna oranye yang dinamai Jx-1 itu berhasil lepas landas dengan mulus. Teriakan bahagia pun menggema di tengah deru angin kencang yang berhembus saat jx-1 kembali mendarat .
Itulah hari bersejarah bagi penerbangan perdana Jx-1, yang berlangsung di Fujikawa Airfield, Shizuoka, tepat di bawah Gunung Fuji, Jepang, awal Juni lalu.
Jx-1 dari Joshapat Laboratory Large Scale Experimental Unmanned Aerial Vehicle merupakan pesawat tanpa awak atau unmanned aerial vehicle (UAV) hasil penelitian Profesor Joshapat Tetuko Sri Sumantyo, P.hD, seorang peneliti Indoneisa, bersama dengan dengan rekannya dari University of Illinois, Amerika, serta beberapa universitas di Malaysia, Hong Kong, Thailand, Inggris, dan beberapa negara lain.
Penggarapan Jx-1 telah dimulai sejak lima tahun lalu. Jx-1 memiliki kemampuan terbang selama 6 jam dengan ketinggian maksimum 4.000 meter.
Melalui surat elektronik kepada Media Indonesia, professor yang akrab disapa Josh ini menjelaskan bahwa Jx-1 dikembangkan untuk menguji perangkat gelombang mikro circularly polarized synthetic aperture radar (CP-SAR) untuk SAR sensor aktif, dan GPS-SAR sebagai sensor pasif.
“Keduanya untuk keperluan imaging permukaan bumi atau planet, GPS-radio occultation untuk observasi lapisan ionosfer, dan linear polarized synthetic aperture radar,” jelas professor di Chiba University, Jepang, ini.
Setelah ini, inovasi terbaru, yakni circularly polarized synthetic aperture radar sensor akan dipasang September tahun ini. “UAV ini nanti akan menjadi UAV CP-SAR pertama di dunia,“ tambah Josh.
Dalam industri UAV, CP-SAR digunakan untuk percobaan pantulan gelombang melingkar dari permukaan bumi. Tujuannya, sebagai sensor baru di bidang remote sensing untuk pemetaan, pengawasan, dan penginderaan permukaan bumi, bahkan planet lain. Terbesar Penggunaan sensor SAR yang diterapkan pada Jx-1 memiliki beberapa kelebihan.
Di antaranya bisa menembus awan, hutan, dan obyek lain yang sulit dijangkau, serta pemantauan perubahan permukaan bumi, penurunan tanah dan longsoran akibat letusan gunung berapi. Di samping itu, gelombang mikro pada SAR juga memungkinkan pesawat dioperasikan pada siang dan malam hari.
“SAR sensor banyak dipakai untuk keperluan militer juga untuk pemetaan objek pada malam hari dan objek di bawah pepohonan atau objek penghalang lainnya,“ ujar profesor yang dikenal di bidang remote sensing atau pengindraan jarak jauh mikrosatelit dan UAV. Pada ketinggian tertentu, SAR sensor akan memancarkan gelombang mikro, tepatnya pulsa chirp dengan jumlah tertentu, atau sekitar 2.500 pulses per second.
Pulsa itu akan dipantulkan objek di permukaan bumi yang diterima kembali oleh sensor. Informasi yang diterima itu kemudian diolah menjadi citra UAV atau satelit, dalam bentuk intensity, fase, polarisasi, dan sejenisnya.
Pencapaian lainnya ialah Jx-1 dengan sayap utama selebar 6 meter ini disebut sebagai UAV terbesar di Jepang, bahkan di Asia. Hal itu diungkapkan Josh atas dasar pengamatan terhadap UAV milik angkatan bersenjata Jepang yang memiliki sayap lebih lebar. Daya muat atau payload sekitar 30 kg juga semakin menjadi keunggulan Jx-1. ***
*)MEDIA INDONESIA edisi Rabu, 27 Juni 2012 hal. 14
Tidak ada komentar:
Posting Komentar