Dubois tertarik dengan pendapat Ernst Haeckel, bahwa daerah tropik lebih menjanjikan untuk penemuan “mata rantai yang hilang” atau missing link dalam teori evolusi. Ia memutuskan untuk bekerja pada Pemerintah Belanda di Indonesia saat itu. Tiba di pelabuhan Teluk Bayur, Padang, Sumatera Barat, pada akhir tahun 1877, Dubois segera meneliti berbagai tempat dan gua-gua di Sumatera Barat. Ia kecewa karena banyak temuannya berusia muda. Lalu tiba-tiba, pada tahun 1889, ia mendengar ada penemuan fosil brusia 40 ribu tahun di Desa Campur Darat, Tulungagung, yang dinamakan Homo Wadjakensis. Segera perhatiannya berpindah ke Jawa, dan Dubois pun menemukan Manusia Wajak yang kedua.
Dari endapan purba Sungai Bengawan Solo, di Desa Trinil, pada tahun 1891 Dubois kemudian menemukan gigi geraham primate purba. Tak jauh dari situ, ia menemukan lagi sebuah tengkorak yang diduganya sebagai antropoida. Selain itu ia menemukan pula sebuah pecahan rahang manusia purba. Tahun berikutnya, penggaliannya membuahkan sebuah temuan tulang paha (femur) jenis manusia dengan tanda-tanda bekas penyakit.
Maka, dimulailah catatan emas sejarah palaeoantropologi. Dubois mengumumkan bahwa ia menemukan missing link yang kemudian diberi nama Pithecantropus erectus yang berarti “manusia kera yang berjalan tegak”. Temuan femur menunjukkan bahwa makhluk tersebut sudah bipedal (berjalan dengan dua kaki). Dubois menjadi termashyur. Namun kebanyakan ahli Eropa tak menerima temuannya sebagai fosil nenek moyang manusia. Karena kecewa, di masa tuanya Dubois tidak mau lagi menganggap temuannya berhubungan dengan asal-usul manusia. Dia telah wafat, ketika akhirnya dunia ilmu pengetahuan mengakui bahwa Pithecantropus erectus adalah salah satu nenek moyang ,manusia. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar