Dalam
sebuah proyek bertitel Survey Konstruksi Pendidikan (SKP) 2013, saya pada hari Rabu, 17
Juli 2013 berkesempatan untuk melakukan perjalanan panjang menuju ke Kabupaten
Melawi. Perjalanan ke sana dalam rangka monitoring tim yang ada di sana.
Salah
satu kunjungan itu adalah saya harus menuju ke Desa Tanjung Beringin, Kecamatan
Menukung, Kabupaten Melawi, Provinsi Kalimantan Barat.
Dari
Nanga Pinoh, ibukota Kabupaten Melawi, diperlukan sekitar tiga jam untuk sampai
ke desa tersebut melalui jalan air atau sungai yang berjarak sekitar 60 Km.
Pertama, melalui Sungai Melawi dengan menggunakan speedboat, dan selanjutnya,
melintasi Sungai Keruap dengan memakai perahu tempel, atau masyarakat setempat
menyebutnya kelotok.
Sepanjang perjalanan, Anda akan disuguhi panorama yang indah. Sepanjang kiri-kanan sungai, mata kita masih dimanjakan dengan deretan pepohonan menjulang tinggi, yang disertai deburan ombak sungai yang menggeliat ke atas manakala speedboad yang ditumpangi bertemu dengan speedboat lain yang berlawanan arah.
Dalam
perjalanan di Sungai Melawi, speedboat berhenti dua kali di rumah terapung.
Pertama, berhenti untuk mengisi bensin di warung apung usai sejam perjalanan.
Lalu, speedboat akan berhenti di Nanga Keruap. Nanga dalam bahasa setempat berarti pertemuan sungai. Memang, dalam
pemberhentian kedua kita berada di sebuah pertemuan Sungai Melawi dengan Sungai
Keruap.
Lalu,
perjalanan dilanjutkan dengan kelotok
dari Nanga Keruap menuju ke Desa Tanjung Beringin. Kurang lebih 45 menit, waktu
tempuh dari Nanga Keruap menuju Desa Tanjung Beringin memakai kelotok. Kendati, lebar Sungai Keruap
hanya sepertiga dari lebar Sungai Melawi yang kesohor besarnya namun tidak
mengurangi pemandangan yang ada di Sungai Keruap. Bahkan, dari deretan tumbuhan
yang ada lebih menunjukkan kelebatannya karena rapatnya jarak tumbuh pepohonan.
Kira-kira
pukul 16.30 waktu setempat, kelotok
merapat di tepi sungai di mana Desa Tanjung Beringin berada.
Kedatangan kami disambut oleh Kepala Sekolah SDN 4 Tanjung Beringin, Merudin. Kelak, di mana selama dua malam kami akan menginap di rumah beliau. Kebetulan rumah beliau berada tidak jauh dari lokasi pemberhentian kelotok, dan tidak jauh pula dengan lokasi keberadaan SMP 9 Tanjung Beringin.
Tidak
berapa lama istirahat sambil berbicang-bincang dengan Pak Merudin, masuklah
waktunya buka puasa. Dalam benak, saya dan dua teman merasa akan kesulitan
mencari makan untuk berbuka puasa namun situasi dan kondisi berbicara lain. Kendati
kami berada di perkampungan yang dihuni oleh suku Dayak, dan beragama Katholik
maupun Kristen namun kami mendapat perlakuan jamuan untuk berbuka puasa dan
dipanggilkan Pak Guru Heri. Dia adalah satu-satunya orang muslim yang sudah
tinggal di perkampungan tersebut kurang lebih tiga tahun. Bagai pucuk dicinta
ulam tiba, Pak Guru Heri merasa kali ini selama tinggal di sini merasakan buka
bersama dan bagi kami, hal ini mungkin juga merupakan suasana pertama melakukan
ibadah puasa di tengah-tengah komunitas yang seratus persen memeluk Nasrani.
Sungguh kenangan yang tak terlupakan!
Tidak
hanya saat berbuka puasa, ketika sahur pun kami dibangunkan oleh keluarga Pak
Merudin. Yang saya kagum adalah ketika Pak Guru Heri menemani kami makan sahur,
dia bercerita bahwa ayam yang kita makan ini yang menyembelih adalah saya
(maksudnya Pak Guru Heri). Karena Pak Merudin menyuruh Pak Guru Heri untuk
menyembelih ayam agar supaya halal untuk dimakan karena disembelih dengan
ucapan bismillahirrahmanirrahim.
Sungguh cerita toleransi berbalut keragaman yang sangat menarik!
Desa
Tanjung Beringin berdiri pada tahun 1971 dari peleburan tiga kampung yaitu
Labang Manyang, Labang Barat, dan Nanga Mawang. Salah satu kebiasaan yang ada
di daerah sini, adalah pemberian nama bagi kampung maupun desa biasanya
bermuara dari tanaman yang biasa hidup di daerah tersebut pada mulanya. Tanjung
Beringin, konon memang di tanah yang menjorok ke Sungai Keruap ini terdapat
pahon beringin. Labang Manyang, konon di kampung tersebut terdapat kubangan
atau genangan air yang ditumbuhi pohon manyang, dan Nanga Mawang konon di
kampung tersebut ada sebuah pertemuan aliran air yang banyak ditumbuhi pohon
mawang. Mawang adalah sejenis pohon
mangga yang memiliki serat yang kuat (pakel).
Bila
malam tiba, Desa Tanjung Beringin gelap gulita karena PLN belum menancapkan
tiang-tiangnya di desa ini. Namun ketika kami bermalam di sini, tuan rumah
menyalakan genzet kecilnya untuk
sampai jam 11 malam, lalu dilanjutkan dengan lampu tenaga surya yang katanya
berharga 3 juta.
Masyarakat
yang mendiami Desa Tanjung Beringin, mayoritas adalah suku Dayak Limbai, dan
diperkirakan ada sekitar 100 Kepala Keluarga (KK). Suku Dayak Limbai merupakan
sub suku Dayak Rumpun Ot Danum. Menurut cerita yang beredar, dulu suku Dayak
Limbai bermukim jauh ke arah daratan adalah dengan tujuan untuk menghindari
para pengayau pada masa perang “kayau”. Konon, para pengayau lebih banyak
bepergian melalui sungai. Dengan bermukim di tengah daratan, mereka sulit
sekali ditemukan musuh-musuhnya.
Suku
Dayak Limbai tidak diketahui asal-usulnya, namun dari cerita turun temurun
bahwa yang menjadi Temenggung pertama orang Limbai adalah Tumak Baya dari
Kelopok dan Bonau dari Guhung Berajang. Sedangkan yang menjadi pemimpin Bonuh
Limbai adalah Cai Elai dari Kelait.
Sebagian
besar masyarakat Desa Tanjung Beringin bermatapencaharian utama berladang di
perbukitan maupun menyadap karet.
Jumat,
19 Juli 2013 saya dan teman-teman meninggalkan Desa Tanjung Beringin guna
melanjutkan perjalanan. Kebetulan kita dijemput oleh speedboat yang ditumpangi
teman-teman dari Desa Lahai. Sampai di dermaga Nanga Pinoh usai ashar, dan
selang satu jam dijemput oleh teman yang lain memakai mobil kijang avanza untuk
melanjutkan perjalanan darat ke Pontianak sehingga tidak perlu menginap lagi di
Hotel Pinoh Permai di jantung Kota Nanga Pinoh. Selama menunggu jemputan, kami mencoba
mengunjungi tiga lokasi yang diusulkan oleh pemerintah setempat sebagai Benda
Cagar Budaya (BCB) yang ada di Nanga Pinoh, yaitu Tugu RIS, Kantor Dinas
Pemuda, Olahraga, Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Melawi,dan Klenteng FukTek Chie. Ketiga lokasi ini tidaklah begitu jauh dengan dermaga Nanga Pinoh
yang berada di lingkungan Pasar Nanga Pinoh.
Tiga hari berada di perkampungan suku Dayak Limbai memberi sebuah memori antropologis yang mengesankan. Di satu sisi kita bisa mengenal dan memahami masyarakat suku Dayak Limbai secara faktual, dan di lain sisi kita bisa mengetahui adat kebiasaan yang menyertainya. Dalam Hukum Adat Dayak, secara umum mereka akan menghormati dan melindungi tamu yang menghoramti hukum adatnya, bahkan menjadikannya sebagai saudara angkat. Namun, sebaliknya hukum adat juga akan memberikan sanksi kepada tamu yang tidak menghormati hukum adat. *** [170713]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar