"Happiness is a choice, not a result...." -Ralph Fulsom Marstom |
Sederet kalimat di atas yang menjadi judul tulisan ini berasal dari penggalan kutipan (quote) milik Ralph Fulsom Marston (16 Februari 1907 – 7 Desember 1967), pesepak bola asal Amerika (American football player).
Kalimat lengkapnya: “Happiness is a choice, not a result. Nothing will make you happy until you choose to be happy. No person will make you happy unless you decide to be happy. Your happiness will not come to you. It can only come from you” (Bahagia itu pilihan, bukan hasil. Tidak ada yang akan membuatmu bahagia sampai kamu memilih untuk bahagia. Tidak ada orang yang akan membuat Anda bahagia kecuali Anda memutuskan untuk bahagia. Kebahagiaan Anda tidak akan datang kepada Anda. Itu hanya bisa datang dari Anda).
Quote ini seolah menjadi anti mainstream di jagat ini yang dihiasi nilai materialisme di mana hanya benda (materi) yang merupakan kenyataan atau hal yang eksisten. Kekayaan masih dijadikan tolak ukur bagi kebahagiaan.
Selaras dengan itu, alangkah baiknya kita juga menyimak apa yang pernah dikatakan oleh Emha Ainun Nadjib (2020), budayawan dan kyai. “Kebanyakan orang di Indonesia dihormati bukan karena kebaikannya melainkan karena kekayaannya.”
Sejumlah penelitian juga memperlihatkan hal itu (Ng dan Diener 2019; Rojas 2019; Veenhoven 2013; Ball dan Chernova 2008; Clark et al. 2006). Temuan mereka, tentang kesejahteraan subjektif mendukung pandangan bahwa pendapatan penting bagi kebahagiaan.
Kutipan Ralph Fulsom Marston ini seakan menjadi penyeimbang terhadap paham materialisme. Bonnie Ware, penulis buku The Top Five Regrets of the Dying: A Life Transformed by the Dearly Departing (2012), pernah mengungkapkan di dalam blog terkait kebahagiaan:
“Banyak yang tidak menyadari bahwa kebagiaan adalah sebuah pilihan. Mereka terjebak dalam pola dan kebiasaan lama. Apa yang disebut ‘kenyamanan kebiasaan’ dalam emosi serta kehidupan fisik mereka. Ketakutan akan perubahan membuat mereka berpura-pura kepada orang lain, dan pada diri mereka sendiri, bahwa mereka merasa puas. Ketika jauh di lubuk hati, mereka ingin tertawa atas kekonyolan dalam hidup mereka. Hidup adalah pilihan. Ini adalah hidup Anda. Pilih dengan sadar, pilih dengan bijak, pilih dengan jujur. Memilih kebahagiaan.”
Dari sini kemudian ada yang menalarkan bahwa bahagia itu merupakan pilihan batin. Tak seorang pun yang dapat memberi kebahagiaan, karena kebahagiaan bukanlah pemberian. Kebahagiaan juga tidak dapat dibeli dengan uang atau materi atau jabatan, karena kalau begitu hanya orang kaya saja yang bisa memborong kebahagiaan.
Namun, kebahagiaan itu milik setiap orang. Semua orang dapat merasakan kebahagiaan di tengah kesulitan, kepedihan maupun ketidakmampuannya.
Dalam buku The Conquest of Happiness (1932) yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia pada tahun 2020 menjadi "Menggapai Kebahagiaan", Bertrand Arthur William Russel (1872 – 1970) secara gamblang menjelaskan mengenai kebahagiaan (happiness).
Bertrand Arthur William Russel adalah filsuf positivistis serta ahli matematika dan logika. Kendati demikian, di dalam buku itu tidak akan dijumpai filsafat yang mendalam atau ilmu yang tinggi, karena buku tersebut memang tidak ditujukan kepada para cendekiawan atau orang-orang yang sekadar menganggap masalah praktis sebagai sesuatu yang harus dibicarakan.
Sebagai penulis buku ini, Bertrand Russel berusaha mengumpulkan beberapa pandangan yang diilhami oleh akal sehat. Ia pun mengikuti petunjuk tertentu, yang pastinya telah diperkuat oleh pengalaman dan pengamatannya sendiri, guna memahami kebahagiaan.
Di buku itu, Bertrand Russel memaparkan mengenai sebab-sebab ketidakbahagiaan, seperti kompetisi, rasa jenuh dan lelah, iri hati, perasaan berdosa, rasa takut dizhalimi, takut terhadap pandangan umum, dan lain-lain. Ada pula sebab-sebab kebahagiaan, yakni kehangatan cinta, keluarga, pekerjaan, gairah hidup, minat impersonal, ikhtiar dan sikap pasrah, dan lain-lain.
Menurut Bertrand Russel (2020: 263), orang bahagia adalah orang yang tidak menderita lantaran tidak tercapai kesatuan ini, yang kepribadiannya tidaklah terbagi melawan diri sendiri atau melawan dunia. Orang tersebut merasakan dirinya sebagai penduduk alam semesta, menikmati dengan bebas apa-apa yang terlihat yang disajikan alam dan menikmati kegembiraan yang ditimbulkannya, tak mudah gelisah oleh pikiran perihal maut karena dia merasa dirinya sebenarnya tak terpisah dari mereka yang akan datang menyusulnya. Dalam kesatuan naluriah yang mendalam dengan arus kehidupan itulah kegembiraan terbesar harus ditemukan.
Dari sini bisa dipahami bahwa kebahagiaan itu tidak selalu identik dengan kekayaan. Bahagia itu pilihan, bukan hasil. Sehingga, bagi orang yang ‘menderita ketidakbahagiaan’ karena kekayaannya belum banyak, tidak usah berkecil hati.
Seorang pelukis dan guru pasti berbeda nuansa bahagianya. Pelukis, barangkali akan merasa bahagia bila bersama kuas dan cat air serta media gambar lainnya. Tidak begitu halnya, dengan seorang guru. Mungkin, ia merasa bahagia jika bisa mengantarkan anak didiknya bisa berkembang pemikirannya. Dan seterusnya, dengan gambaran aneka profesi lainnya.
Oleh sebab itu, dalam situasi lockdown ini, jangan lupa bahagia! *** [070721]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar