When the heart is angry, don’t answer the question -Ibnu Sina |
Kalimat yang menjadi judul dari tulisan ini dicomot dari kutipan (quote) yang konon berasal dari Abu Ali al-Husayn bin Abdullah bin Hassan Ali bin Sina, yang kemudian lebih dikenal dengan Ibnu Sina.
Melansir majalah TRT WORLD, Ibnu Sina lahir pada musim panas tahun 980 di Afsyahnah, daerah dekat Bukhara yang pada waktu itu masuk wilayah Persia (sekarang wilayah Uzbekistan), dan meninggal di Hamadan, Persia (Iran), pada Juni 1037.
Ayahnya adalah seorang gubernur dan cendekiawan terkenal di wilayah tersebut. Ibnu Sina menerima pendidikan yang luas di bidang ilmu pengetahuan dan filsafat. Dia dikenal karena ingatan dan kecerdasannya yang luar biasa.
Ibnu Sina telah memperlihatkan kecerdasannya sejak masih anak-anak. Pada usia 10 tahun dia telah membaca dan menghapalkan seluruh isi Al Quran.
Menginjak usia remaja, dia belajar ilmu penalaran dasar dari seorang guru, dan kemudian mempelajari karya-karya Aristoteles, yang kemudian menariknya jauh ke dalam filsafat. Sementara Ibnu Sina setuju dengan penemuan atom Aristoteles, ia juga menemukan kelemahan besar di dalamnya. Pemahamannya yang kuat tentang matematika membantunya mengembangkan teori atom Aristoteles.
Pada usia 16 tahun, Ibnu Sina mulai mempelajari ilmu pengobatan (kedokteran), dan dalam dua tahun berikutnya ia menjadi seorang dokter. Dia mengatakan bahwa memahami kedokteran bukanlah tugas yang sulit bagi seorang matematikawan terlatih.
Setelah menjadi seorang dokter, kontribusinya pada mata pelajaran seperti sirkulasi sistemik dan mikrosirkulasi sangat signifikan ketika ia memisahkan dua pemikiran, yang akhirnya membawanya untuk menyimpulkan bahwa kuman adalah pembawa utama penyakit, fakta yang 1.000 tahun kemudian memandu teori kuman Louis Pasteur.
Ratusan buku telah ditulisnya. Karyanya yang berjudul Al-Qanun fi At Tibb, yang kemudian dicetak dalam bahasa Inggris dengan judul The Canon of Medicine, menjadi buku yang sangat terkenal hingga menjadi buku paket para mahasiswa kedokteran di Eropa sampai abad ke-16.
Sementara itu, karya lainnya yang berjudul Book of Healing juga cukup terkenal di Eropa dengan sebagian terjemahan Latinnya hampir 50 tahun setelah komposisinya dengan ‘Sufficienta’. Psikologi dan teori pengetahuannya mempengaruhi Western world’s William of Auvergne, Uskup Paris dan Albertus Magnus, dan metafisikanya mempengaruhi pemikiran Thomas Aquinas.
Dengan keahlian di berbagai bidang, mulai dari kedokteran dan astronomi hingga matematika dan teologi, Ibnu Sina adalah seorang polimatik (polymath) Muslim dan Bapak Kedokteran Modern awal. Juga dikenal sebagai Avicenna di Barat, dia adalah pemikir ilmiah hebat yang memainkan peran terobosan dalam mengendalikan penyakit menular yang paling ditakuti seribu tahun yang lalu.
Dalam mahakaryanya, 'The Canon of Medicine', yang diterbitkan pada 1025, Ibnu Sina berpendapat bahwa masa karantina selama 40 hari sangat penting untuk melemahkan penyebaran infeksi menular.
Saat virus Corona (COVID-19) mewabah dan mencekik dunia, banyak ilmuwan Barat kembali ke masa lalu dengan membuka kembali karya penemuan ilmiah Ibnu Sina.
Karya-karya Ibnu Sina telah memberi inspirasi kepada ilmuwan abad pertengahan dan modern, sehingga ia dianugerahi dengan nama-nama seperti Galen Islam (Galen of Islam), Pangeran dan Kepala Dokter (Prince and Chief of Physicians), Guru kedua setelah Aristoteles (Teacher Second Only to Aristotle), dan Aristoteles dari Arab (Aristotle of Arabs).
Menyandang sebutan-sebutan itu, wajar bila di kemudian hari, ujaran-ujarannya acapkali menjadi kata-kata mutiara (mahfudzot) yang banyak dikutip oleh orang sebagai inspirasi. Salah satunya adalah ‘Saat hati sedang marah, jangan menjawab persoalan’ (When the heart is angry, don’t answer the question).
Kutipan ini simpel tapi sarat makna. Tak bisa dipungkiri, mengambil keputusan dalam amarah adalah hal yang tidak bijak untuk dilakukan. Sebab, dalam keadaan ini, seseorang yang sedang dikelilingi emosi dan kecewa hanya akan membuat keputusan sepihak demi memuaskan rasa kesalnya terhadap orang lain.
Keputusan besar atau kecil sekalipun, sejatinya harus dipikirkan dahulu baik dan buruknya. Jika kalian dalam keadaan marah, usahakan untuk mengambil napas dalam-dalam dan diamlah sejenak sampai benar-benar merasa dalam keadaan baik.
Bagaimanapun keseimbangan emosi sangat penting untuk memastikan pengambilan keputusan yang tepat di setiap bidang kehidupan. Sementara itu dalam sejumlah literatur juga menyebutkan bahwa keseringan marah berdampak negatif untuk kesehatan.
Kemarahan adalah keadaan perasaan negatif yang biasanya dikaitkan dengan pikiran bermusuhan, gairah fisiologis, dan perilaku maladaptif. Howard Kassinove, Ph.D., seorang psikolog bersertifikat ABPP yang expert dalam kajian amarah, menjelaskan perihal potensi kesehatan dari kemarahan (anger).
Banyak orang menganggap kemarahan yang berlebihan hanya sebagai masalah psikologis. Itu adalah penyederhanaan yang kasar. Saat kita marah, sistem saraf otonom terangsang. Misalnya, kemarahan yang dipicu oleh penemuan perselingkuhan rahasia pasangan kemungkinan akan menyebabkan gairah sistem saraf simpatik dan perubahan hormonal dan neurokimia yang terkait. Reaksi fisiologis ini dapat menyebabkan peningkatan respons kardiovaskular, pernapasan dan keringat, aliran darah ke otot yang aktif, dan kekuatan. Saat kemarahan berlanjut, itu akan mempengaruhi banyak sistem tubuh, seperti kardiovaskular, kekebalan tubuh, pencernaan dan sistem saraf pusat. Hal ini akan menyebabkan peningkatan risiko hipertensi dan stroke, penyakit jantung, tukak lambung, dan penyakit usus, serta penyembuhan luka yang lebih lambat dan kemungkinan peningkatan risiko beberapa jenis kanker.
Penelitian telah menemukan bahwa kemarahan merupakan faktor risiko independen untuk penyakit jantung. Memiliki kecenderungan untuk sering mengalami kemarahan, dalam banyak jenis situasi, dikenal sebagai sifat marah yang tinggi. Satu studi diikuti 12.986 orang dewasa selama kurang lebih tiga tahun dan menemukan dua sampai tiga kali peningkatan risiko kejadian koroner pada orang dengan tekanan darah normal tetapi dengan sifat marah yang tinggi. Studi lain diikuti 4.083 orang dewasa selama 10 sampai 15 tahun. Mereka yang pengendalian amarahnya paling rendah memiliki risiko tertinggi untuk kejadian kardiovaskular fatal dan non-fatal. Setelah meninjau literatur, para ahli telah menyimpulkan bahwa sifat marah yang tinggi, permusuhan kronis, ekspresi kemarahan, dan episode kemarahan akut dapat menyebabkan penyakit kardiovaskular baru dan berulang. Ketika kemarahan dialami secara moderat dan diekspresikan dengan tegas, itu mungkin tidak terlalu mengganggu dibandingkan ketika kemarahan itu sering, intens, dan bertahan lama.
Jadi, kutipan Ibnu Sina di atas sesungguhnya merupakan ujaran yang mengingatkan kepada kita akan pentingnya melatih kecerdasan emosional (emotional intelligence) seseorang.
Inti dari semua situasi adalah emosi sementara, baik itu kesedihan, kemarahan, atau kebahagiaan. Emosi sementara ini tidak memberikan solusi permanen. Manusia hidup sering menghadapi berbagai persoalan yang terkadang meletupkan emosional.
Dalam kondisi ini, peran kecerdasan emosional menjadi penting. Kecerdasan emosional di sini merupakan kemampuan seseorang untuk bereaksi secara cerdas dalam situasi emosional.
Jika Anda sedang marah kepada seseorang jangan sekali-sekali membuat keputusan yang mungkin setelah mengucapkan keputusan itu Anda akan menyesal.
Kemarahan yang dirasakan hanyalah semata dan sementara. Cobalah untuk menenangkan diri terlebih dahulu. Petuah ustadz yang seringkali kita dengar adalah “Daawul ghadhaba bish shumti” (Obatilah kemarahan itu dengan diam).
Diam di sini dimaksudkan agar supaya yang marah bisa muhasabah (mawas diri atau introspeksi diri), yakni peninjauan atau koreksi terhadap (perbuatan, sikap, kelemahan, kesalahan, dan sebagainya) diri sendiri. Sehingga, yang terbaik yang bisa dilakukan yaitu menjaga keseimbangan antara hati dan pikiran kita. *** [060421]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar