"Fakkar bi’ijaabiyyatin mahmaa kaanat hayaatuka sho’batan" - Ali bin Abi Thalib |
Judul tulisan di atas mengutip dari kata-kata bijak Sayyidina Ali bin Abi Thalib Radhiyallah ‘anhu (599 – 661 M) yang cukup bermakna dalam kehidupan. Beliau adalah sepupu Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam (SAW) yang juga menantunya setelah menikahi putri Nabi yang bernama Fatimah Az-Zahra Radhiyallahu ‘anha, dan kelak juga dibaiat Khalifah yang keempat yang berkuasa sekitar 4-5 tahun.
Semenjak umur 10 tahun, Ali diasuh oleh Nabi Muhammad karena pada waktu itu pamannya yang bernama Abi Thalib mengalami krisis ekonomi. Di bawah asuhan Nabi Muhammad, Ali tumbuh menjadi pemuda yang meneladani Nabi Muhammad secara langsung. Ia menjadi pemeluk Islam yang kedua setelah Siti Khadijah binti Khuwailid, yang tak lain adalah istri Nabi Muhammad.
Itulah kenapa Ali bin Abi Thalib dikenal sebagai sahabat Nabi SAW yang menjadi gerbang pengetahuan Islam, dan memiliki karakter mulia yang menjadi teladan, seperti keberanian, pengorbanan diri, zuhud terhadap dunia, ketakwaan, dan kedermawanan.
Dari keutamaan pada dirinya itulah, Ali bin Abi Thalib memiliki kata-kata bijak yang kerap menjadi inspirasi dalam menjalani kehidupan ini, di antaranya adalah “Fakkar bi’ijaabiyyatin mahmaa kaanat hayaatuka sho’batan.”
Bila diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, artinya “Berpikirlah positif, tidak peduli seberapa keras kehidupanmu.” Sementara itu, orang-orang Barat mengenal kata-kata bijak ini dengan “Think positively, no matter how hard life is.”
Berpikir positif dalam konsep Islam dikenal dengan Husnudzon, yang secara bahasa diartikan baik sangka atau berprasangkan baik. Sedangkan secara istilah, Husnudzon adalah sikap mental dan cara pandang yang menyebabkan seseorang melihat sesuatu secara positif atau melihat dari sisi positif suatu hal.
Antonim dari Husnudzon adalah Suudzon, yaitu berburuk sangka atau memilik prasangka buruk. Orang-orang yang memiliki sifat Suudzon biasanya hidup dalam kondisi yang tidak tenang, was-was, penuh curiga dan senantiasa berpikiran ‘jelek’ terhadap suatu hal meskipun belum jelas kebenaran atau salahnya.
Perlu diketahui bahwa pola pikir dapat mempengaruhi tingkat kesehatan seseorang. Orang yang berpikir positif cenderung lebih sehat, karena mampu menghadapi stress yang dimilikinya dengan baik. Mereka juga cenderung lebih mudah menjalani gaya hidup sehat, sehingga tidak rentan terserang penyakit.
Lisa R. Yanek, asisten Profesor di Division of General Internal Medicine, Johns Hopkins University School of Medicine bersama koleganya pernah melakukan penelitian tentang The Power of Positive Thinking. Dalam penelitian itu dijelaskan bahwa orang dengan riwayat keluarga penyakit jantung yang juga memiliki pandangan positif, sepertiga lebih kecil kemungkinannya untuk mengalami serangan jantung atau kejadian kardiovaskular lainnya dalam waktu lima tahun hingga 25 tahun dibandingkan mereka yang memiliki pandangan yang lebih negatif.
Yanek dan tim dalam menentukan pandangan ‘positif’ dan ‘negatif’, menggunakan instrumen survei yang menilai keceriaan, tingkat energi, tingkat kecemasan, dan kepuasan seseorang terhadap kesehatan serta kehidupan secara keseluruhan.
Mekanisme hubungan antara kesehatan dan kepositifan masih belum jelas, tetapi para peneliti menduga bahwa orang yang lebih positif mungkin lebih terlindungi dari kerusakan inflamasi akibat stress. Kemungkinan lain adalah harapan dan kepositifan membantu orang membuat keputusan kesehatan dan kehidupan yang lebih baik dan lebih fokus pada tujuan jangka panjang. Studi ini juga menemukan bahwa emosi negatif dapat melemahkan respon imun.
Berpikir positif mencakup sikap mental optimisme, yang mencari hasil yang menguntungkan dalam semua situasi. Itu bergantung pada keadaan harapan emosional yang melihat keadaan pada saat itu dan mendukung pembangunan sumber daya emosional, sosial, dan lainnya untuk tindakan positif.
Dalam penelitian Eric Kim, research fellow di Department of Social and Behavioral Sciences Harvard T.H. Chan School of Public Health, tentang How power of positive thinking works, diterangkan bahwa studi ini melihat mekanisme optimisme dalam mengurangi risiko kematian dini.
Publikasi yang bisa ditemukan secara online di American Journal of Epidemiology ini, menerangkan bahwa perilaku sehat hanya menjelaskan sebagian hubungan antara optimisme dan penurunan risiko kematian. Satu kemungkinan lain adalah optimisme yang lebih tinggi berdampak langsung pada sistem biologis seseorang.
Studi ini menemukan bahwa wanita yang paling optimis (kuartil atas) memiliki risiko kematian hampir 30 persen lebih rendah dari salah satu penyakit yang dianalisis dalam penelitian ini dibandingkan dengan yang paling tidak optimis (kuartil bawah). Wanita yang paling optimis memiliki risiko kematian akibat kanker 16 persen lebih rendah; 38 persen lebih rendah risiko kematian akibat penyakit jantung; 39 persen lebih rendah risiko kematian akibat stroke; 38 persen lebih rendah risiko kematian akibat penyakit pernapasan; dan risiko kematian akibat infeksi 52 persen lebih rendah.
Optimis menjalani hidup untuk selalu melangkah ke depan dan kuat dalam setiap ujian seperti yang terkias dalan kata bijak Ali bin Abi Thalib di atas, bisa menjadi motivasi buat semua orang agar tidak mudah menyerah dalam menghadapi hidup.
Selaras dengan Ali bin Abi Thalib, Summersdale melalui bukunya, “Think Positive, Stay Positive” yang juga telah diterbitkan oleh Jarir Bookstore Saudi Arabia dengan judul “Fikr Bi’ijabiyah wa-Abaq I’ijabiyan” ini, mengatakan bahwa ada keajaiban dalam memiliki sikap yang benar. Tidak peduli apa yang dilemparkan kehidupan kepada kita, kekuatan berpikir positif dapat membuat semua perbedaan. Dari Buddha hingga Churchill dan Austen hingga Oprah, tokoh-tokoh inspirasional telah berbagi dengan kami. Kebijaksanaan mereka yang diperoleh dengan susah payah tentang bagaimana tetap optimis.
Di masa pandemi COVID-19 ini, berpikir positif sangatlah cocok untuk memfokuskan pikiran Anda sambil mengangkat semangat Anda di tengah lockdown ini. *** [040721]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar