Kamis, Agustus 12, 2021

Lā Taḥzan Innallāha Ma’anā

  Budiarto Eko Kusumo       Kamis, Agustus 12, 2021
"Janganlah engkau bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita." -Perkataan Rasul Muhammad SAW yang terpatri di dalam Surah at-Taubah: 40

Hari Rabu kemarin (11/08) saya mendapat informasi dari seorang dokter yang sekaligus staf pengajar di Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya (FKUB) perihal Pengajian Virtual Dalam Rangka Menyambut Tahun Baru Islam 1 Muharram 1443 H dengan tema Meneladani Kisah Hijrah “Jangan Bersedih Allah Bersama Kita.”
Pengajian virtual yang digagas oleh Ikatan Istri Dokter Indonesia (IIDI) Cabang Malang ini menghadirkan dr. Arief Alamsyah, MARS, seorang staf pengajar FKUB yang menjadi motivator nasional dan sekarang menggeluti menjadi ustadz.
Tema yang diangkat dalam pengajian virtual ini sungguh menarik di dalam suasana pandemi COVID-19. Di tengah ketidakpastian pandemi ini, tema pengajiannya menjadi pencerahan hati (an-nafsu al-muthma’innah).
Lā Taḥzan Innallāha Ma’anā (Jangan engkau bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita) yang termaktub dalam Surah At-Taubah ayat ke-40 ini menawarkan terapi yang lebih dekat dengan al-Qur’an dan Sunnah, ketimbang renungan-renungan reflektif semata.
Mengutip dari buku Lā Taḥzan: Mencapai Kebahagiaan Sejati karangan Sulaiman Al-Kumayi (Jakarta: Erlangga, 2014), Lā Taḥzan Innallāha Ma’anā diambil dari perkataan Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wassalaam (SAW) ketika beliau bersembunyi di gua Tsur bersama dengan sahabat setianya, Abu Bakar ash-Shiddiq.
Menurut catatan sejarah, hijrah Rasulullah ke Madinah terjadi pada malam hari, tanggal 2 Rabi’ul Awwal (20 Juli 622 M), yakni 13 tahun setelah bi’tsah (pengangkatan beliau sebagai Nabi dan Rasul oleh Allah). Di tengah malam gelap gulita, Rasulullah SAW meninggalkan rumahnya menuju rumah Abu Bakar untuk berhijrah bersama-sama ke gua Tsur untuk bersembunyi beberapa waktu guna menghindari kejaran kaum musyrikin Quraisy.
Setibanya di gua Tsur, Abu Bakar masuk terlebih dahulu ke dalam gua untuk memeriksa keadaan dan memastikan keamanan tinggal di dalamnya. Setelah dipastikan layak dan aman ditinggali, Rasulullah pun masuk. Di tempat ini beliau dan sahabat sejatinya itu, tinggal selama tiga hari tiga malam. Sedangkan makanan dan minuman untuk Rasulullah dan Abu Bakar selama di dalam gua itu dikerjakan oleh Asma, putri Abu Bakar, yang mengantarkannya setiap sore. 
Amir bin Fuhairah diperintah menggembala kambing di siang hari dan membawanya ke gua di malam hari untuk diperah susunya. Esok harinya sebelum fajar menyingsing, Abdullah dan Asma pulang ke Mekkah yang diikuti oleh Amnir dari belakang sambil menggiring kambing untuk menghilangkan jejak dua orang anak Abu Bakar tadi.
Tidak lama berselang, beberapa orang musyrikin Quraisy yang berusaha mengejar Rasulullah tiba di gua Tsur. Mereka mencari-cari dan memeriksa lubang pintu gua, tetapi tidak menemukan tanda-tanda yang menunjukkan kemungkinan adanya seseorang masuk ke dalamnya. Pintu gua dipenuhi dengan sarang laba-laba yang semuanya dalam keadaan utuh. Terdapat pula dua ekor burung sedang mengerami telur di dalam sarangnya.
Melihat tanda-tanda tersebut mereka yakin tidak mungkin ada orang yang masuk ke dalam gua. Sementara itu, di dalam gua yang gelap gulita itu, Rasulullah dan Abu Bakar mendengar suara gaduh kaum musyrikin Quraisy yang sibuk mencari jejak-jejak kaki mereka. Dengan cemas dan dengan suara lirih Abu Bakar berkata kepada Rasulullah SAW, “Ya Rasulullah! Celakalah kita kalau mereka melihat ke bawah, mereka tentu akan mengetahui kita berada di dalam gua ini.”
Beliau menyuruh Abu Bakar agar meneguhkan hatinya, “Wahai Abu Bakar, bagaimana prasangkamu terhadap dua orang yang ketiganya Allah?”
Kecemasan Abu Bakar itu sesungguhnya tidak berkaitan dengan dirinya, tetapi ia lebih mencemaskan keselamatan hidup kekasihnya, Muhammad SAW. Ketika Rasulullah melihat keadaan Abu Bakar tersebut, beliau mengokohkan hati sahabatnya itu dengan kabar gembira: “Janganlah engkau bersedih/cemas, sesungguhnya Allah bersama kita.” Peristiwa ini kemudian diabadikan dalam al-Qur’an Surah At-Taubah ayat 40.
Kalamullah ini merupakan firman Allah Subhanahu wa ta’ala (SWT) yang diyakini bermujarab sebagai self-help (menolong diri). Siapa pun Anda -tua atau muda; kaya atau miskin; penguasa atau rakyat- pasti pernah merasakan kecemasan, kegelisahan, dan ketakutan akibat musibah dan kesulitan serta masalah-masalah berat dalam hidup Anda.
Itu semua pasti membuat Anda menjadi stress, depresi, sedih maupun frustasi. Bila tidak segera di atasi, hal ini akan memperbesar masalah yang lama-kelamaan dapat membuat Anda mengalami kesedihan yang mendalam. Kesedihan akut tentunya akan berdampak kepada kesehatan mental.
Summerfield dan Green (1986) telah meneliti situasi mana yang paling banyak menimbulkan kesedihan. Anteseden kesedihan yang paling sering dilaporkan, dari prevalensi tinggi ke rendah, adalah: masalah dengan teman, kematian teman, sakit (sendiri atau orang lain), kematian kerabat, perpisahan permanen dari teman, masalah dengan kerabat, kegagalan dalam situasi prestasi, berita buruk, perpisahan sementara dari teman, kesendirian, akhir dari pengalaman yang menyenangkan dan depresi umum.
Anteseden kesedihan kebetulan mudah dijumpai pada masa pandemi COVID-19 terutama sejak Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) pada 3 Juli 2021. Setiap hari, saya mengucapkan “Innalillahi wa inna ilahi raji’un” karena link WhatsApp (WA) maupun Facebook (FB) mengabarkan duka cita dari teman maupun kerabat. Kebetulan pada saat PPKM untuk mengantisipasi varian Delta ini, berita kematian mendominasi media sosial (medsos).
Tak hanya merambah medsos saja, raungan sirine ambulance di jalanan seringkali membuat ciut kalbu yang rentan. Karena pikiran kita pasti akan menerawang kepada COVID-19, entah itu benar atau tidak. Selain itu, kalau bukan duka cita, PPKM itu juga membuat isolasi sosial karena himbauan untuk menghindari kerumunan. Isolasi sosial ini bertentangan dengan semangat kultural masyarakat kita yang gemar melakukan silaturahmi.
Masa pandemi COVID-19 ini seakan menjadi akhir dari pengalaman yang menyenangkan bagi masyarakat kita. Menurut Nesse (1990) kesedihan adalah terutama terkait dengan penyakit, penolakan sosial, kehilangan teman atau kekasih, kehilangan status, kehilangan sumber daya, atau kematian.
Lā Taḥzan Innallāha Ma’anā diwartakan Allah SWT kepada manusia untuk memotivasi dan mengembangkan diri. Siapa saja yang senantiasa merasa hidup dalam bayang-bayang kegelisahan, kesedihan dan kecemasan dikarenakan duka dan kegundahan yang semakin berat menerpa, Allah telah memberikan petunjuk untuk self-help dengan bait firman-Nya agar supaya seluruh perkara dalam hidupnya bernilai positif.
Apabila mendapatkan kemudahan, maka ia bersyukur. Itu positif (baik) baginya. Sebaliknya, apabila ia ditimpa kesulitan, maka ia bersabar. Itupun positif (baik) baginya. “Lā Taḥzan Innallāha Ma’anā” atau “Janganlah engkau bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita” atau “Don’t be sad, Allah is with us.” *** [120821]

logoblog

Thanks for reading Lā Taḥzan Innallāha Ma’anā

Previous
« Prev Post

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sahabat Blog