Rabu, Desember 28, 2022

Cangkrukan di Warung Bu Ani Sonokembang

  Budiarto Eko Kusumo       Rabu, Desember 28, 2022
Warung di Pidek yang menjadi jujugan pekerja yang melintasinya dari berbagai kalangan

Di tepi jalan yang menghubungkan Sidorejo (Pagelaran) dan Tanggung (Turen) ada sebuah warung cukup sederhana. Bangunan warung hanya terbuat dari rangka kayu yang diselingi bambu di bagian atas, dan bawahnya terdiri dari batu bata tanpa diplester.
Dari Lapangan Sonokembang, warung itu berbentuk limasan yang tidak terlalu luas. Bangunan warung itu mengambil tempat dari sejengkal tanah pekarangan rumahnya, di sisi barat bagian selatan. 
Masyarakat setempat menyebut warung tersebut dengan sebutan Warung Ani. Sebutan ini didasarkan pada nama pemilik dan sekaligus penjualnya, yaitu Listiani atau yang akrab disapa dengan Bu Ani.
Warung yang terletak di Dusun Sonokembang RT 04 RW 04 Desa Sepanjang, Kecamatan Gondanglegi, Kabupaten Malang ini mulai beroperasi pada tahun 2011, setelah 6 tahun pulang dari Malaysia.
D sana, ia menjadi TKI yang ditempatkan pada majikan orang Melayu yang memiliki warung makan di Kuala Lumpur. Ia bekerja dari tahun 2000 hingga 2005 di Negeri Jiran Malaysia. Durasi 5 tahun berkecimpung dalam pekerjaan di bidang kuliner, menginspirasinya untuk buka warung sederhana khas pedesaan di daerahnya.
Setiap tugas lapangan di Kecamatan Dampit dan Turen, saya kerap singgah di warung ini. Jumat kemarin, saya mampir di Warung Bu Ani sepulang dari menghadiri giat Posbindu PTM di selatan Gunung Aglik Jambangan, Dampit.
Warung ini buka mulai pukul 07.00 WIB sampai dengan Maghrib. Tapi, saya sering berkunjung ke sini pada siang hari, di mana banyak orang yang berdatangan ke warung tersebut. Mereka umumnya petani dan tukang serabutan yang saatnya istirahat siang.
Pengunjung lain yang pernah saya jumpai di warung itu, ada guru dari desa sebelah, tukang tagih kredit, sopir pengangkut hasil pertanian, pelajar maupun ibu-ibu yang tinggal di sekitar Lapangan Sonokembang.
Yang singgah di Warung Bu Ani ini umumnya tidak hanya makan/minum untuk kebutuhan perut saja. Yang menarik bagi saya, di tempat itu juga nyaman untuk cangkrukan. Istilah cangkrukan ini cukup dikenal di Jawa Timur. Kalau di Solo disebut jagongan, dan di Jakarta umumnya popular dengan kongkow.
Cangkrukan mempunyai arti duduk bersantai dengan teman, saudara, atau siapa saja membicangkan hal apa saja tanpa ada hirarki. Cangkrukan menjadi pertemuan untuk berdiskusi mengenai apa saja di dalam lingkungan masyarakat.
Melalui cangkrukan, banyak informasi yang bisa diperoleh, baik itu fakta maupun gosip bisa didapatkan di sana. Dengan komunitas yang berisikan lima orang saja misalnya, sudah banyak informasi yang didapatkan dari mereka yang memiliki latar belakang yang berbeda. Terlalu banyak hal yang bisa didiskusikan dan dibicarakan ketika cangkrukan. 
Cangkrukan sebagai manifestasi komunikasi tatap muka seringkali lebih efektif daripada percakapan tertulis atau audio saja. Ini karena melihat satu sama lain memungkinkan kita menangkap isyarat non-verbal dan bahasa tubuh. Dan karena banyak komunikasi bersifat non-verbal, dapat bertemu satu sama lain membantu kita memahami satu sama lain dengan lebih baik. [
1https://www.betterup.com/blog/face-to-face-communication
]
Barangkali pernyataan orator hebat Daniel Webster kepada Charles Sumner pada awal hingga pertengahan 1800-an bisa menjabarkan fenomena cangkrukan yang acapkali dijumpai pada masyarakat kita.
Kata Webster, “Bercakap-cakap, bercakap-cakap, BERBICARA, dengan manusia yang hidup, bertatap muka, bertukar pikiran—itu adalah salah satu sumber pengetahuan yang terbaik” (Converse, converse, CONVERSE, with living men, face to face, mind to mind-that is one of the best sources of knowledge). [
2https://intellectualtakeout.org/2016/07/daniel-websters-secret-to-intellectual-growth/
]
Kutipan Webster itu juga mengisyaratkan bahwa di tengah teknologi komunikasi dan digital yang berkembang pesat ini, komunikasi tatap muka (face-to-face communication) masih berperan penting dalam kehidupan sosial.
Ini bukan hanya tentang berbicara. Ada dimensi komunikasi penting lainnya: bahasa tubuh. Isyarat non-verbal dapat memberi tahu Anda banyak hal tentang seseorang, dan itu adalah informasi yang tidak dapat Anda peroleh melalui email, melalui telepon, atau bahkan melalui obrolan video. [
3https://www.valueprop.com/blog/5-benefits-face-face-communication
]
Dalam behaviorisme sosial George Herbert Mead juga menjelaskan bahwa gestur mendapatkan signifikansi ketika memunculkan respons pada individu yang menyerupai respons yang ditimbulkan oleh gestur individu ini pada individu lain. Pikiran muncul dalam komunikasi bahasa dan bersifat sosial, karena pemikiran terdiri dari internalisasi percakapan eksternal. Diri terbentuk melalui internalisasi percakapan interpersonal. Seperti percakapan isyarat dan simbol yang signifikan, diri bersifat refleksif. [
4Hałas, E. (2016). Conversation of Gestures. In The Blackwell Encyclopedia of Sociology, G. Ritzer (Ed.). https://doi.org/10.1002/9781405165518.wbeos0706
]
Bagi saya yang sering dilibatkan dalam analisa kualitatif, cangkrukan itu sebagai hal yang penting di enumeration area. Selain bisa memotret kehidupan sosial di desa yang menjadi daerah amatan, juga sekaligus mengetahui karakteristik suatu wilayah yang mempunyai kespesifikan tersendiri. *** [281222]


logoblog

Thanks for reading Cangkrukan di Warung Bu Ani Sonokembang

Previous
« Prev Post

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sahabat Blog