GOR Amongraga Yogyakarta bergetar akhir pekan lalu. Sejak Jumat (29/08) hingga Ahad (31/08) 2025, ribuan karateka memenuhi arena dalam ajang International Karate Championship Yogyakarta Open Tournament V “Kemenpora RI Cup”. Event ini digelar oleh FORKI DIY dan KONI DIY, dengan dukungan penuh dari Kementerian Pemuda dan Olahraga RI.
Turnamen ini tak hanya menyedot perhatian karateka dari berbagai provinsi di Indonesia, tapi juga peserta mancanegara, salah satunya dari Singapura. Atmosfernya meriah, persaingannya sengit, namun tetap menjunjung tinggi sportivitas khas karate.
Saya berkesempatan hadir di GOR Amongraga lantaran mengantar anak wedok ragil yang tampil di nomor KATA Perorangan dari Ryu S Fighters Club (RSFC) Solo. Karena anak wedok ragil bersekolah di SMP Negeri 9 Surakarta maka ia ikut dalam KATA Perorangan SMP Putri.
Dari tribun penonton, saya menyaksikan semangat para atlet cilik hingga senior, gerakan yang penuh disiplin, dan tatapan yang tak gentar sedikit pun.
![]() |
| Suasana di luar GOR Amongraga di hari terakhir International Karate Championship Tournament V (Ahad, 31/08) |
Namun, ada satu hal yang membuat saya merenung lebih lama daripada jalannya pertandingan. Tepat di panggung penyematan medali, terpampang kalimat besar:
“Champions are not born, there are made.”
(Juara tidak dilahirkan, melainkan dibentuk).
Kalimat itu terasa sederhana, tetapi maknanya begitu dalam. Kaliman tersebut selaras dengan ujaran (quote) dari Ikechukwu Joseph, penyair dan penulis buku terlahir "Unlocking Closed Doors" (2012):
“Champions are made and not born. Champion’s feat are acquired and not inherited, earned and not transferred, attained and not deposited.”
“Para juara dibentuk, bukan dilahirkan. Prestasi seorang juara diperoleh, bukan diwariskan, diraih, bukan dipindahtangankan, diraih, bukan disimpan.”
![]() |
| Dua personil dari Ryu S Fighters Club (RSFC) Solo sedang pemanasan di halaman sisi timur Pendopo Amongraga Yogyakarta |
Juara Itu Dibentuk
Kita sering mengira bahwa menjadi juara adalah soal bakat bawaan. Padahal, riset justru membuktikan sebaliknya. Psikolog Anders Ericsson dan koleganya (1993) menyebut bahwa prestasi lahir dari deliberate practice atau latihan yang disengaja: latihan yang terarah, penuh evaluasi, dan berulang kali memperbaiki kelemahan.
Penelitian lanjutan dari Macnamara et. al. (2014) juga menegaskan, latihan memang faktor penting, tapi tidak berdiri sendiri. Dukungan orang tua, peran pelatih, semangat pribadi, hingga pengalaman kompetisi turut membentuk performa seorang atlet.
Di arena karate, saya melihat bukti nyata itu. Setiap gerakan KATA yang halus sekaligus tegas bukanlah hasil semalam, tapi ribuan kali pengulangan di dojo. Setiap ekspresi fokus dan ketenangan saat pertandingan adalah buah dari mental yang ditempa, bukan bawaan sejak lahir.
![]() |
| Karateka nomor KATA Perorangan berkumpul di sisi utara arena GOR Amongraga Yogyakarta |
Lebih dari Sekadar Fisik
Menjadi juara bukan cuma soal otot dan teknik. Penelitian Blackwell et. al. (2007) menunjukkan pentingnya growth mindset: keyakinan bahwa kemampuan bisa ditingkatkan lewat usaha. Inilah yang saya lihat pada karateka yang mungkin kalah di satu babak, tetapi tetap menerima masukan dan berjanji berlatih lebih keras.
Hal lain adalah grit, istilah yang dipopulerkan Duckworth et. al. (2007). Grit adalah kombinasi antara kegigihan dan gairah jangka panjang. Banyak karateka di Amongraga mungkin belum naik podium kali ini, tapi semangat mereka jelas menunjukkan bahwa perjalanan mereka belum berhenti di sini.
Penelitian Eynon et. al. (2013) menyebutkan bahwa faktor genetik bisa memengaruhi performa - misalnya gen ACTN3 yang berhubungan dengan kekuatan otot. Tapi satu hal pasti: gen hanya memberi “modal awal.” Tanpa latihan, disiplin, dan tempaan mental, modal itu tak akan pernah berkembang menjadi prestasi.
Refleksi di Amongraga
Tulisan di panggung medali itu - “Champions are not born, there are made” - bukan sekadar hiasan. Ia adalah pesan kuat yang hidup di setiap latihan keras, setiap gerakan kuda-kuda, dan setiap wajah penuh semangat di Amongraga.
Juara memang tidak dilahirkan. Mereka dibentuk: oleh jam-jam latihan, oleh tangan pelatih yang sabar, oleh sorakan keluarga yang setia mendukung, dan oleh keberanian untuk terus bangkit setelah jatuh.
Hari itu saya pulang bukan hanya dengan rasa bangga mengantar anak bertanding, tetapi juga dengan satu keyakinan baru: setiap anak punya peluang menjadi juara, asalkan diberi kesempatan untuk ditempa. *** [010925]





Tidak ada komentar:
Posting Komentar