Ahad pagi (22/05/2022) itu cuaca cerah. Pendopo Kabupaten Malang yang terletak di Jalan Panji No. 158 Kelurahan Penarukan, Kecamatan Kepanjen, Kabupaten Malang, terlihat meriah. Sekumpulan orang mengenakan busana Jawi jangkep beskap cemeng (beskap lengkap warna hitam), duwung warangka ladrang (keris bersarung ladrang), dan jarit yang bukan bermotif lereng.
Mereka berkumpul di Pendopo Kabupaten Malang dalam rangka mengikuti wisuda penganugerahan gelar kehormatan (serat kekancingan) dari Kraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat (Kraton Solo) melalui Lembaga Dewan Adat (LDA).
Acara ini dimulai pada pukul 09.22 WIB dengan diawali pembukaan kata dari pembawa acara (pambiwara), dan dilanjutkan dengan info mengenai pelaksanaan pemberian serat kekancingan sesuai tata laksana Kraton Solo, seperti bila nanti yang menerima serat kekancingan dipanggil oleh pambiwara, harus menjawab “nuwun kulo”, dan saat dipanggil maju ke depan harus menjawab “sendiko.”
Setelah itu, para wisudawan dipersilakan kirab di depan Pendopo Kabupaten Malang dengan tata cara lampah yang dipandu oleh seorang cucuk lampah. Cucuk lampah merupakan nama lain dari subamanggala. Subamanggala berasal dari dua kata yaitu suba dan manggala. Suba memiliki arti tata krama atau tata susila. Sedangkan, manggala bermakna sebagai seorang pemimpin yang penuh dengan tata krama.
Filosofi dari cucuk lampah adalah seorang pemimpin yang membawa rombongan dan memiliki tanggung jawab yang besar atas segala keselamatan para rombongan yang sedang dipimpinnya dan memimpin dengan penuh tata krama.
Wisudawan menempati tempat sesuai nomornya masing-masing. Kemudian disusul dengan rombongan dari Kraton Solo dan pejabat Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Malang yang dipandu oleh dua orang dengan membawa panji bendera dan seorang cucuk lampah, juga menempati tempat duduk di bagian depan para wisudawan.
Tamu undangan juga menempati tempat duduk yang telah disediakan panitia di sisi utara tempat duduk para wisudawan. Kemudian dilanjutkan dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya. Dalam posisi ini, semua hadirin dimohon berdiri semua.
Selesai lagu Indonesia Raya, acara berikutnya diisi dengan doa pembuka oleh Gus Rois, dan diteruskan dengan sajian tari Sokalima yang dimainkan oleh lima penari wanita. Lima penari tersebut menggerakkan tubuhnya dengan semangat, seperti dalam gerakan tari remo.
Pukul 10.10 WIB acara diisi dengan tanggap wacana atau sambutan-sambutan. Sambutan pertama dari Ketua Paguyuban Kawula Kraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat (Pakasa) Kebo Arema KRT Muhammad Nuh, S.H., M.H.
Dalam sambutannya, Muhammad Nuh mengatakan bahwa fokus Pakasa adalah nguri-nguri budaya. Tahun ini wisudawan meningkat, dan ada 16 kenaikan kekancingan. Para wisudawan datang dari Sidoarjo, Gresik, Tulungagung, Lumajang, dan Surakarta.
Sebelum sambutan yang kedua, acara diisi dengan sajian tari Golek Sri Rejeki yang dimainkan oleh tiga finalis penari putri. Tari Golek Sri Rejeki merupakan penggambaran seorang gadis yang telah menginjak dewasa dengan berbagai perilaku keceriaan dan kebahagiannya.
Sambutan kedua datang dari Asisten Administrasi Pemerintahan Kesra KRT Drs. Suwaji, mewakili Bupati Malang yang berhalangan hadir karena ada tugas. Dalam sambutannya, Suwaji membacakan sambutan dari Bupati Malang dengan mengajak kita semua agar merawat dan melestarikan budaya Jawa yang adi luhung agar tidak luntur. Kita tidak menutup diri dari budaya lain, tetapi kita juga harus memiliki rasa cinta terhadap tanah air. Selamat atas penyerahan serat kekancingan, semoga sesuai dengan apa yang kita harapkan.
Usai sambutan dari Pemkab Malang, acara berikutnya diisi dengan menyaksikan tiga finalis tembang macapat perempuan. Secara garis besar, macapat merupakan puisi tradisional yang disusun dengan menggunakan aturan tertentu, seperti jumlah baris, suku kata, maupun bunyi sajak di akhir baris.
Finalis nomor urut 1 menembangkan dhandhanggula. Dalam bahasa Jawa dhandhang berarti harapan, sementara gula berarti manis. Sehingga tembang dhandhanggula bermakna berharap sesuatu yang indah sebagai buah dari pernikahan.
Finalis nomor urut 2 melagukan durma. Tembang ini berasal dari kalimat munduring tata krama, atau berkurangnya tata krama. Tembang durma berisi tentang keburukan sifat manusia, seperti amarah, berontak, sombong, angkuh, suka mengumbar hawa nafsu, dan sebagainya.
Finalis nomor urut 3 melantunkan gambuh. Gambuh memiliki arti cocok atau berjodoh. Dari kecocokan ini sepasang manusia akan mulai biduk rumah tangga dalam sebuah pernikahan. Seperti namanya, tembang gambuh menggambarkan keselarasan dan kebijaksanaan.
Pukul 10.56 WIB memasuki acara inti berupa paring dalem serat kekancingan atau pemberian gelar kehormatan dari Kraton Solo. Para wisudawan akan dipanggil satu per satu oleh pambiwara untuk maju ke depan guna menerima serat kekancingan dan kalungan samir. Setiap wisudawan yang maju ke depan harus melepas selop terdahulu.
Dalam pemberian gelar kehormatan/serat kekancingan tersebut diserahkan oleh Ketua Lembaga Dewan Adat (LDA) Kraton Solo GKR Dra. Wandasari (Gusti Moeng) dan GKR Timur Rumbai Dewayani.
Dalam penganugerahan serat kekancingan dibagi dalam dua sesi. Sesi pertama diperuntukkan bagi dua pejabat Pemkab Malang, yaitu Drs. Didik Gatot Subroto, S.H., M.H., dan Drs. Trilambang Santosa, M.M., serta satu orang anggota DPR RI asal Kabupaten Malang, Khrisna Dewanata Phrosakh, S.H., M. Sos.
Untuk pemberian serat kekancingan kepada dua pejabat Pemkab Malang dan satu orang anggota DPR RI diserahkan oleh Gusti Moeng yang didampingi oleh Ketua Pusat Pakasa, KPH Dr. Eddy S. Wirabhumi, S.H., M.H., M.M. Namun kedua pejabat Pemkab Malang berhalangan hadir. Hanya Krisna Dewanata saja akhirnya yang menerima.
Sesi kedua dialokasikan bagi abdi dalem secara umum. Ada dokter, pengusaha, guru, peneliti, dan sebagainya. Gelar kehormatan/serat kekancingan diberikan oleh GKR Timur Rumbai Kusuma Dewayani, salah seorang putri Raja Kraton Solo Sri Susuhunan Pakubuwana (PB) XIII yang didampingi oleh KGPH Mangkubumi, putra mahkota Kraton Solo serta sentana dalem lainnya.
Ada 83 orang yang menerima penganugerahan gelar kehormatan tersebut dari berbagai kabupaten di Jawa Timur dan satu orang dari Surakarta. Wisudawan dari Surakarta ikut menerima serat kekancingan di Pendopo Kabupaten Malang ini karena ia memang sedang tugas kerja di Kabupaten Malang.
Kebetulan peserta wisudawan dari Surakarta mendapat urutan pertama maju ke depan untuk menerima gelar kehormatan/serat kekancingan dari Kraton Solo.
Prosesi yang digelar dengan adat khusus tersebut, selain ditampilkan kesenian tari tradisional dan tembang macapat juga diiringi dengan gamelan/karawitan secara live dari seni karawitan Pagak, Kabupaten Malang.
Pukul 11.32 WIB acara dilanjutkan dengan pidato atau wekdal pangandika oleh Gusti Moeng. Dalam wekdal pangandikan itu, Gusti Moeng menceriterakan bagaimana perjuangan Kraton Solo dalam memompa munculnya nasionalisme dan turut andil dalam melahirkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Jadi bukan gelarnya yang penting tetapi sebagai pertanda untuk terlibat dalam melestarikan budaya Jawa yang adi luhung itu.
Usai Gusti Moeng, wekdal pangandikan diberikan kepada KPH Dr. Eddy S. Wirabhumi, S.H., M.H., M.M., dan sekaligus melantik kepengurusan Pakasa Kabupaten Malang yang baru. Pada kesempatan tersebut, KPH Eddy Wirabhumi mengatakan pentingnya melestarikan budaya Jawa untuk membentengi diri dari pengaruh budaya asing. Jangan sampai kita kehilangan jati diri.
Pukul 12.05 WIB acara dikembalikan kepada pambiwara, dan digunakan untuk memberikan pengumuman pemenang lomba tari dan tembang macapat. Sementara itu, para hadirin dipersilakan mencicipi hidangan dalam kotak yang berisi nasi kuning, ayam bakar, balado telur, mihun goreng, dan kering tempe.
Mengakhiri acara penganugerahan gelar kehormatan/serat kekancingan dari Kraton Solo, dilakukan foto bersama wisudawan tahun 2022 di Pendopo Kabupaten Malang yang cukup luas itu. *** [230522]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar