Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) cenderung mengalami stigma dan diskriminasi yang lebih tinggi dibanding orang dengan infeksi atau kondisi kesehatan lain. Stigma berasal dari pikiran individu atau masyarakat yang mempercayai bahwa penyakit AIDS merupakan penyakit kutukan sebagai hukuman akibat perilaku yang tidak bermoral, yang tidak dapat diterima oleh masyarakat.
Hal inilah yang terkadang menyebabkan ODHA menjadi tak mau terbuka karena takut disepelekan atau dibuang dari lingkungan. ODHA mengalami penurunan kesehatan fisik dan stres psikologis akibat ketakutan akan AIDS, dan stigma terkait serta dari diskriminasi.
Bangambiki Habyarimana, seorang pekerja komunitas dari Mozambik yang bekerja dengan orang dewasa muda dalam memerangi HIV/AIDS melalui pendidikan dan konseling, pernah berujar: “Jika setiap orang mengambil penanya dan menulis apa saja yang muncul di benaknya, kita akan sangat membantu para peneliti untuk memahami cara kerja pikiran kita” (If everyone took his pena and wrote just anything that came on his mind, we would greatly help researchers to understand how our minds work). [
1https://www.goodreads.com/quotes/tag/researcher
]Kutipan ujaran (quote) tersebut tertera dalam bukunya, “Pearls of Eternity: Musings of a Life Loving Soul” (Mutiara Keabadian: Renungan Jiwa yang Mencintai Kehidupan) yang diterbitkan Smashwords Edition pada 19 Agustus 2016.
Dalam deskripsi buku tersebut dikatakan bahwa dalam sebuah perjalanan kehidupan, manusia mengikuti gelombang pikirannya dalam melihat dunia. Terkadang mencapai puncak harapan tertinggi, di lain waktu manusia bisa menemui keputusasaan terdalam. Kadang merasa senang, kadang merasa sedih. Pada titik tertentu, manusia menjadi percaya dan di sisi lain kadang menjadi orang tidak percaya. Kadang suka, kadang benci, itulah artinya menjadi manusia. [
2https://www.smashwords.com/books/view/659567
]HIV/AIDS merupakan masalah kesehatan utama di dunia. Kualitas hidup ODHA yang tertular HIV berdampak buruk pada kondisi fisik dan integrasi sosial. Dengan karakteristik epidemi saat ini, upaya peningkatan dukungan sosial dan peningkatan implementasi kebijakan pendukung diperlukan untuk meningkatkan kualitas hidup ODHA.
Oleh karena itu, World Health Organization (WHO) dan Joint United Nations Programme on HIV/AIDS (UNAIDS) telah mengusulkan bahwa peningkatan kualitas hidup harus menjadi salah satu tujuan utama dalam memberikan perawatan dan dukungan kepada ODHA. [
3Sun W, Wu M, Qu P, Lu C, Wang L (2013) Quality of Life of People Living with HIV/AIDS under the New Epidemic Characteristics in China and the Associated Factors. PLoS ONE 8(5): e64562. https://doi.org/10.1371/journal.pone.0064562
]Sehingga, pengungkapan HIV dilaporkan menjadi salah satu cara yang efektif untuk pencegahan dan pengendalian HIV. Bukti menunjukkan bahwa perilaku seksual yang lebih aman dan penularan dari ibu ke anak yang lebih sedikit dihasilkan dari pengungkapan HIV. Pengungkapan HIV dikaitkan dengan inisiasi dini dan kepatuhan yang lebih baik terhadap terapi antiretroviral (ART), kebebasan untuk menggunakan obat ART, kontinuitas perawatan, pada akhirnya dapat mengarah pada hasil jumlah CD4+ yang lebih baik, dan lebih sedikit kegagalan pengobatan. Lebih lanjut, pengungkapan HIV berkorelasi dengan penurunan mortalitas orang terinfeksi HIV yang menggunakan ART. [
4Yin, Yao MD; Yang, Hui MD; Xie, Xia PhD; Wang, Huan MD; Nie, Anliu MD; Chen, Hong MD, PhD∗ Status and associated characteristics of HIV disclosure among people living with HIV/AIDS in Liangshan, China, Medicine: August 2019 - Volume 98 - Issue 31 - p e16681. doi: 10.1097/MD.0000000000016681
]Karakteristik psikologis termasuk tingkat stigma terkait HIV yang lebih tinggi dan status depresi berat dikaitkan dengan nondisclosure HIV. Konteks sosial termasuk tingkat dukungan sosial yang lebih tinggi, lebih banyak teman dekat, dan hidup dalam keluarga monogami terkait dengan pengungkapan HIV.
Terkait pengungkapan HIV ini, diakui oleh para pendamping ODHA tidaklah mudah karena jarang mau terbuka atau terus terang pada mulanya. Diperlukan kesabaran dan membangun kepercayaan terhadap ODHA terlebih dahulu agar supaya suasana komunikasinya bisa mencair.
Pengalaman inilah yang digambarkan dalam kutipan Bangambiki Habyarimana. Kutipan tersebut second conditional tense seperti dalam pelajaran bahasa Inggris. Second conditional tense digunakan untuk mengungkapkan andai-andai yang sulit untuk bisa menjadi kenyataan.
Sebenarnya kutipan tersebut untuk menggambarkan ketertutupan para ODHA pada perjumpaan dengan pendamping ODHA dalam tataran verbal. Sehingga, Bangambiki Habyarimana membayangkan journaling. Journaling adalah kebiasaan mengisi buku harian atau jurnal yang digunakan untuk menumpahkan berbagai pikiran dan emosi yang dirasakan.
Sederhananya, journaling sama saja seperti menulis diary. Boleh tulis apapun yang dimauinya, bisa tulisan isi pikiran, perasaan, kejadian yang dialami, atau emosi yang sedang dirasakan. Seumpama ini bisa berjalan, maka pendamping, psikolog, tenaga kesehatan atau peneliti yang concern terhadap kehidupan ODHA akan sangat terbantukan dalam pengungkapan HIV/AIDS lebih dini. *** [020722]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar