“Das Wissen des Herzens hat das Wissen des Kopfes immer wieder zu ergänzen” -Moritz Lazarus (Ilustrasi gambar: Photo via Unsplash By Zoltan Tasi) |
Perkembangan masyarakat modern yang disertai dengan perkembangan teknologi informasi maupun komunikasi telah membawa lebih banyak kesempatan bagi individu untuk berinteraksi dengan orang lain. Media sosial menjadi sebuah tempat bagi para warganet atau netizen dalam menjalankan beberapa ajang interaksi tanpa harus mengenal, mengetahui identitas, dan saling bertemu. Salah satu bentuknya adalah saling mengomentari apa yang telah dilihat atau didengar individu dalam postingan atau berita.
Kemudahan yang diberikan media sosial itu bila tidak disikapi dengan hati-hati terkadang banyak orang yang tergelincir dalam berita kebohongan (hoaks) atau juga ujaran kebencian. Kabar terakhir yang menghiasi jagat maya adalah perihal cuitan soal meme stupa Borobudur yang dinilai melecehkan umat Buddha. [
1https://news.detik.com/berita/d-6133641/babak-baru-roy-suryo-dipolisikan-soal-meme-stupa-borobudur-mirip-jokowi
]Ujaran kebencian secara online seringkali menargetkan kelompok dan minoritas tertentu, telah menjadi masalah mendesak di masyarakat. Ujaran kebencian berpotensi menciptakan permusuhan, membungkam perdebatan, dan meminggirkan individu dan kelompok dari partisipasi online. [
2Laaksonen, S. M., Haapoja, J., Kinnunen, T., Nelimarkka, M., & Pöyhtäri, R. (2020). The Datafication of Hate: Expectations and Challenges in Automated Hate Speech Monitoring. Frontiers in big data, 3, 3. https://doi.org/10.3389/fdata.2020.00003
]Seorang filsuf dan psikolog asal Jerman, Prof Dr. Moritz Lazarus, pernah berujar “Das Wissen des Herzens hat das Wissen des Kopfes immer wieder zu ergänzen” (Pengetahuan hati harus selalu melengkapi pengetahuan kepala). [
3https://citaten.net/zoeken/moritz_lazarus/ideale_fragen.html
]Kutipan ujaran (quote) ini bisa dijumpai dalam bukunya Moritz Lazarus yang berjudul “Ideale Fragen in Reden und Vorträgen” (Pertanyaan Ideal dalam Pidato dan Kuliah) pada halaman 157 (Moritz Lazarus, 1878, Berlin: A. Hofmann & Comp).
Seratus empat puluh empat tahun yang lalu, Lazarus sudah mengingatkan kepada kita melalui kutipannya itu. Kehidupan dan sejarah menjadi hampa ketika kesibukan perubahan dan transformasi realitas berlangsung tanpa peninggian hati, tanpa pendalaman semangat, tanpa semangat jiwa, tanpa kepuasan, keluhuran dan pemberdayaan hati. Pengetahuan yang ada di kepala seyogyanya berdampingan dengan pengetahuan hati. Karena pengetahuan hati (the knowledge of the heart) adalah eksplorasi revelasi yang kuat tentang pentingnya tempat kewahyuan di hati.
A. K. M. Mohiuddin, pensiunan profesor sastra Inggris di universitas di Bangladesh dalam artikelnya “Knowledge and the Heart” mengatakan bahwa substansi identitas kita adalah gabungan dari pikiran, perasaan, dan tindakan kita. Pengetahuan dapat mewarnai dan mempengaruhi semua ini. Efeknya, bermanfaat atau berbahaya, yang dimiliki pengetahuan terhadap pikiran, perasaan, dan tindakan kita sepenuhnya bergantung pada jenis hati yang kita bawa pada pengetahuan.
Hati mungkin sehat atau sakit, atau sebagaimana Allah menyebutnya 'buta'. Dalam Surah Al-Hajj, ayat 46, Allah memberikan peringatan yang mengerikan ini: "Bukan mata yang buta, tetapi hati mereka yang ada di dalam dada mereka." Jika hati sakit atau buta, pengetahuan dapat melahirkan hasil yang membawa malapetaka. Hati yang buta atau sakit mendistorsi dan menghilangkan pengetahuan. Untuk mendapatkan manfaat dari pengetahuan, kita membutuhkan hati yang rendah hati, sadar, tidak egois, penuh perhatian, dan bersyukur. [
4https://www.islamicity.org/3826/knowledge-and-the-heart/
]Pengetahuan harus mengarah pada tindakan. Ia bertindak dalam dua bidang - internal dan eksternal. Ini membentuk batin dan mempengaruhi perilaku. Internal menentukan eksternal dan eksternal menegaskan dan memperkuat internal. Bersama-sama keduanya mendefinisikan keadaan keberadaan seseorang.
“Ekspresi perasaan kita terjadi melalui pertukaran antara hati dan otak, dua roda gigi yang paling sempurna di mesin hidup,” kata Claude Bernard (1813-1878), seorang ahli fisiologi berkebangsaan Prancis.
Ini adalah simbolisme kehidupan yang sebenarnya. Selama manusia bukan sekadar makhluk berpikir abstrak, selama manusia aktif dalam kepenuhan konkret eksistensi psikologisnya, singkatnya, selama manusia hidup, hati juga akan menjadi mediator wahyu-wahyunya. Karena hati pertama-tama memberi kepala kesadaran aktivitasnya.
Ada banyak orang di dunia ini yang tahu banyak, tetapi pengetahuan mereka tidak bermanfaat bagi diri mereka sendiri atau orang lain. Dalam banyak kasus, pengetahuan mereka merugikan diri sendiri dan orang lain. Kerusakan tidak tetap terbatas pada dunia ini, itu membentang ke akhirat, dan begitu tak terhitung. Orang-orang seperti itu sangat menyedihkan. *** [300722]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar