Jumat, Februari 24, 2023

Filosofi Sak Madyo Dalam Kehidupan

  Budiarto Eko Kusumo       Jumat, Februari 24, 2023
Ilustrasi gambar. Photo via Unsplash By Ralph Kayden

Beberapa hari ini, pemberitaan sedang viral kasus penganiayaan anak PNS Direktorat Jenderal Pajak (DJP) beserta gaya hidup mewahnya yang dipamerkan melalui media sosial. Kasus ini sebelumnya juga telah membuat Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati berang. Ia bahkan sampai menyampaikan kecaman terhadap tindakan kekerasan tersebut, serta turut mengecam pamer gaya hidup mewah keluarganya.
Viralnya kasus ini mengingatkan saya akan pitutur kakek setiap usai Maghrib di kala saya masih di bangku Sekolah Dasar (SD). “Urip iku sak madyo wae, le?” kata kakek kepada saya suatu saat di gandhok wetan.
Hidup sederhana, dalam filosofi Jawa sering disebut “Urip sak madyo” – hidup sewajarnya – seadanya – secukupnya – sepantasnya, sudah sejak dulu diajarkan oleh para leluhur. Hidup sak madyo tak hanya menyangkut soal etika dalam hidup bermasyarakat, tetapi diyakini dapat mendorong terwujudnya kemakmuran dan keadilan sosial.
Agama apa pun mengajarkan kepada umatnya untuk hidup sak madyo, tidak boros, tidak riya’, dan tidak pula mengada-adakan. Dalam Islam, juga diceriterakan tentang pilihan hidup sak madyo. 
Suatu ketika Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam sedang duduk bersama malaikat Jibril, tiba-tiba langit terbelah dan turunlah malaikat Israfil untuk menyampaikan pesan kepada Rasulullah.
"Ya Rasulullah, aku membawa pesan yang diutus oleh Allah kepadamu. Aku datang untuk memberikanmu pilihan, jalani kehidupan nabi sebagai raja atau sebagai hamba sahaya?"
Nabi Muhammah Shalallahu Alaihi Wassalam kemudian melihat ke arah Jibril, dan malaikat Jibril pun pun memberikan isyarat untuk memilih hidup sederhana. Kemudian Rasulullah pun menjawab pertanyaan malaikat Israfil tadi, "Aku mau milih menjadi nabi yang hidup sebagai hamba sahaya."
Kita tidak dilarang untuk hidup dengan harta yang bergelimang. Karena dengan harta yang banyak, diharapkan kita bisa menjalankan pesan keagamaan kita dengan lebih sempurna. Menjadi tidak pantas sekiranya masih ada yang mempertontonkan kemewahan dihadapan publik.
Seorang ulama asal Lebanon, Syekh Musthafa al-Ghalayain (1885-1994 M) mengungkapkan pentingnya kesederhanaan dalam kehidupan seseorang. Dalam kitabnya yang berjudul Izhatun Nasyi’in (Alih Bahasa: H.M. Fadlil Said An-Nadwi, 2000, Surabaya: Al-Hidayah, hal. 170-174), Musthafa al-Ghalayain menjelaskan barangsiapa yang menginginkan kemuliaan, maka carilah dalam sikap sederhana (moderat).
Kesederhanaan itu berlaku dalam berpikir, bermazhab, makan, minum, berpakaian, memberi dan dalam setiap urusan yang bersifat konkret atau abstrak. Semua itu merupakan keutamaan. Barangsiapa yang menetapi jalan tengah-tengah (moderat), maka dia pasti selamat. Dan kedua ujung sikap tengah-tengah itu tercela.
I’tidal atau moderat adalah sederhana (sikap tengah-tengah) dalam semua permasalahan. Asy-Syaja’ah (keberanian) itu mulia, karena ia adalah tengah-tengah antara dua sikap negatif. Yakni tahawwur (berani tanpa perhitungan atau gegabah) dan jubun (penakut). Al-Jud (kedermawanan) itu mulia, karena ia adalah tengah-tengah antara dua sikap yang tidak terpuji, yakni Israf (boros) dan Bakhil (kikir).
Demikianlah keadaan segala sesuatu. Kalian pasti menjumpai setiap sikap atau perbuatan terpuji pada kesederhanaan atau kemoderatan, yakni sikap tengah-tengah antara dua sikap tercela.
Kecerdasan, jika melampaui batas, bisa menyebabkan cacat dalam perbuatan, bisa mendorong pada hal-hal yang tidak patut dikerjakan oleh orang-orang yang berakal dewasa. Tetapi, apabila kecerdasan itu kurang, tentu menimbulkan kebodohan.
Orang yang berakal adalah orang yang mewajibkan dirinya bersikap moderat, sederhana, atau tengah-tengah dalam semua permasalahan, baik masalah ekonomi, sosial maupun keagamaan. Sebab, mengambil sikap tengah-tengah atau moderat itu membuat selamat. 
Uraian Musthafa al-Ghalayain perihal kesederhanaan ini, dalam pitutur Jawa dikenal dengan istilah sak madyo. Sak madyo yang dalam bahasa Indonesia berarti tengah-tengah, merupakan ajaran atau nilai dalam kebudayaan Jawa yang menekankan pada kehidupan yang sederhana, tidak berlebihan atau mengambil secukupnya.
Jadi terkait sikap pamer gaya hidup mewah anak seorang pejabat di DJP pada unggahan yang kerap dibagikan melalui akun Tik Toknya itu sebenarnya tidak perlu. Pengumbaran unggahan kemewahan di media sosial, malah bisa memunculkan kecemburuan sosial.
Di saat orang lain sedang terbelit kesulitan ekonomi akibat pandemi, kita malah menebar kemewahan merupakan sikap yang kurang pas, dan menjadi sebuah ironi! *** [240223]


logoblog

Thanks for reading Filosofi Sak Madyo Dalam Kehidupan

Previous
« Prev Post

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sahabat Blog