Hedonism is based on the illusion that what we enjoy inevitably leaves us in joy -Mokokoma Mokhonoana (Ilustrasi gambar: Tas Hermes, Photo va Unsplash By Jonathan J. Castellon) |
Belakangan ini, gaya hidup mewah atau hedonisme pejabat Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menjadi sorotan publik di media sosial. Belum selesai perhatian publik terhadap anak laki-laki seorang pejabat eseolon II di Ditjen Pajak yang sering kali memamerkan barang mewah miliknya di akun media sosial seperti mobil Jeep Rubicon, motor Harley Davidson dan motor Triumph, kini publik juga meyoroti viral gaya hedon anak pejabat bea cukai di Makassar.
Beberapa pegawai pajak dan bea cukai ditemukan memiliki kekayaan yang sangat fantastis. Tak hanya itu, pejabat-pejabat ini beserta keluarganya juga turut memperlihatkan gaya hidup mewahnya di media sosial.
Menunjukkan gaya hidup hedonisme, tentunya ini dianggap mencederai rasa solidaritas, masyarakat dan sesama aparatur sipil negara (ASN) yang belum sejahtera maupun masyarakat Indonesia pada umumnya yang mengalami gonjang-ganjing ekonominya akibat pandemi COVID-19.
Istilah hedonisme berasal dari bahasa Yunani, yaitu hedon yang artinya kesenangan (pleasure). Awalnya hedonisme itu merupakan motivasi perilaku seseorang dalam meninggalkan kesulitan atau kesusahan hidupnya dengan menggapai kesenangan dalam hidupnya. Karena dalam perilaku hedon itu biasanya mendefinisikan kesenangan dan rasa sakit secara luas. [
1Weijers, Daniel Michael (2012): Hedonism and Happiness in Theory and Practice. Open Access Te Herenga Waka-Victoria University of Wellington. Thesis. https://doi.org/10.26686/wgtn.16999876.v1
]Dalam prakteknya, istilah hedonisme yang mula-mula digunakan oleh Jeremy Bentham pada tahun 1781, mulai bergeser dari filosofinya. Penganut hedonisme mulai menganggap bahwa suatu yang dianggap baik sesuai dengan kesenangan yang didatangkan. Mereka menilai suatu kebahagiaan yang mampu memberikan kesenangan hanya dapat dilihat dari materi. [
2Rahmat Arif dkk., “pengaruh hedonisme dan Religiusitas Terhadap Perilaku Konsumtif Mahasiwa”, Jurnal Ekonomi Syariah, (Januari-Juni, 2020), Vol. 4, No. 1, hlm. 44.
]Kemudian gaya hidup hedonisme menjadi suatu pola hidup yang aktivitasnya untuk mencari kesenangan hidup, seperti lebih banyak menghabiskan waktu di luar rumah, lebih banyak membuang waktu dan bermain serta selalu ingin menjadi pusat perhatian orang.
Hedonisme seperti ini terlahir ketika bangunan integritas dirinya mulai rusak akibat butuhnya pengakuan-pengakuan dalam kehidupan yang dipaksakan. Mereka tak segan hidup glamour, bermegah-megahan dalam soal harta, jabatan, pangkat atau kedudukan, maupun yang dianggap "kemuliaan" lainnya.
Celakanya lagi, gaya hidup seperti itu tidak bersumber dari logika penghasilan (secara sah) yang dikumpulkannya. Mokokoma Mokhonoana, seorang penulis asal Afrika Selatan yang sering dikutip serta seorang mistikus, filsuf dan kritikus sosial, mengingatkan kepada kita semua dengan ujarannya, “Hedonisme didasarkan pada ilusi bahwa apa yang kita nikmati pasti membuat kita bahagia” (Hedonism is based on the illusion that what we enjoy inevitably leaves us in joy). [
3https://www.goodreads.com/quotes/tag/hedonism
]Kutipan (quote) ini seakan mengejawantah dalam contoh dua anak pejabat di atas. Mereka hidup dalam ilusi hedonisme yang berharap menikmati kebahagiaan dengan mempertontonkannya di media sosial dan di antaranya ada yang semena-mena terhadap orang lain.
Alih-alih bahagia, malah keluarganya menjadi bidikan petugas LHKPN (Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara) dan PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan). Hasilnya kalau tidak beruntung akan dilanjutkan dengan petugas KPK.
Hal ini menunjukkan bahwa konsep hedonisme mengenai setiap tingkah laku manusia bertujuan untuk mencari kesenangan pribadinya dan memamerkannya adalah keliru, karena banyak manusia yang menunda kesenangan pribadi dan malah berkorban demi orang lain.
Di sini, saya jadi ingat wejangan kakek saat saya masih duduk di bangku SD. “Le, urip kuwi ojo sok umuk lan kibir. Ora apik!” katanya. “Nak, hidup itu jangan sok pamer dan takabur. Tidak baik!”
Wejangan kakek saya selaras dengan kutipan inspirasional yang bertebaran dalam berpikir positif, “ Life is not about being rick, being popular, or being high educated. It’s about being real, humble and kind” (Hidup bukanlah tentang menjadi kaya, menjadi populer, atau menjadi berpendidikan tinggi. Ini tentang menjadi nyata, rendah hati dan baik hati).
Kata Bryant McGill dalam Voice of Reason (Suara Nalar), “Nafsu untuk memiliki dan keserakahan telah merusak jiwa umat manusia seperti kanker besar, menyebar ke seluruh masyarakat nouveau post-human dalam bentuk hedonisme konsumen” (Lust for possession and greed has ravaged the soul of humanity like a great cancer, metastasizing throughout society in the form of a nouveau post-human, consumer hedonism). *** [130323]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar