Rabu, Maret 01, 2023

Provokasi Berujung Tindakan Sampai Hati

  Budiarto Eko Kusumo       Rabu, Maret 01, 2023
To be able to bear provocation is an argument of great reason, and to forgive it of a great mind -John Tillotson (Ilustrasi gambar: Photo via Unsplash By Rei Yamazaki)

Belum hilang dari ingatan publik mengenai pembunuhan terhadap Brigadir Polisi Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J, jagat maya tanah air kembali disuguhi pewartaan perihal penganiayaan atas remaja 17 tahun, Cristalino David Ozora.
Dua kasus ini penting untuk digunakan dalam pelajaran hidup kita sehari-hari. Konon, kasus pembunuhan dan penganiayaan itu terjadi karena adanya provokasi. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), provokasi adalah perbuatan untuk membangkitkan kemarahan, tindakan menghasut, penghasutan, dan pancingan.
Kata provokasi bisa berarti positif dan negatif. Provokasi yang dilakukan oleh motivator atau penyuluh misalnya, yang memberikan pemicu/pemancing yang melahirkan suatu reaksi positif merupakan provokasi yang mengarah kebaikan.
Namun tidak halnya dengan kasus di atas yang berujung pada tindakan sampai hati. Kita tarik ke belakang, dengan kata-kata provokasi di kasus pertama dilakukan oleh seorang istri dan di kasus yang kedua, provokasi dilakukan oleh sang pacar.
Provokasi ini berisi tentang bagaimana korban telah berbuat sesuatu yang tak menyenangkan kepada provokator sehingga mencabik-cabik harga diri dari pelaku dan membuat pelaku ini melakukan perbuatan keji membabi buta.
Pelaku melakukan aksi tanpa memberikan kesempatan otak bagian depannya untuk mencerna mana yang benar dan mana yang salah. Akhirnya apa yang terjadi? Reaksi yang gegabah dan terlalu cepat ini bukannya menyelesaikan masalah tapi justru menimbulkan permasalahan yang lebih rumit lagi.
Stephen T. Chermack, Mitchell Berman dan Stuart P. Taylor, dalam artikel risetnya, Effects of provocation on emotions and aggression in males, yang terbit di Aggressive Behavior (6 Desember 1997), menjelaskan penelitiannya yang diikuti 54 pria dalam tugas kompetitif dengan lawan fiktif untuk melihat pengaruh emosi dan agresi fisik manusia dengan menggunakan paradigma waktu reaksi kompetitif.
Agresi didefinisikan sebagai intensitas sengatan listrik yang dipilih peserta untuk diterima lawan. Emosi negatif (ancaman, bahaya) dan emosi positif (manfaat, tantangan) dinilai empat kali selama tugas percobaan.
Hasilnya menunjukkan bahwa respons agresif dan emosi negatif (menyakiti) berbeda sebagai fungsi dari tingkat provokasi lawan. Ada sedikit bukti kuat bahwa emosi berfungsi sebagai variabel intervensi penting dalam hubungan antara provokasi dan agresi. [
1Chermack, S.T., Berman, M. and Taylor, S.P. (1997), Effects of provocation on emotions and aggression in males. Aggr. Behav., 23: 1-10. https://doi.org/10.1002/(SICI)1098-2337(1997)23:1<1::aid-ab1>3.0.CO;2-S
] Oleh karena itu, menurut Tibor Bosse, individu dikatakan memiliki regulasi emosi yang baik jika individu tersebut mampu membuat strategi respon emosi dengan tepat. [
2Bosse, T., Pontier, M. A., & Treur, J. (2007). A Dynamical System Modelling Approach to Gross´ Model of Emotion Regulation. In Proceedings of the 8th International Conference on Cognitive Modeling (ICCM'07) (pp. 187-192). Taylor and Francis.
]
Ujian karakter bukan pada ketiadaan provokasi tetapi pada bagaimana seseorang bereaksi ketika diprovokasi. Saat itulah karakter yang sebenarnya terungkap. 
Seperti yang dikatakan oleh John Tillotson, seorang teolog abad ke-17, “Untuk mampu menahan provokasi adalah argumen yang sangat beralasan, dan untuk memaafkannya dengan pikiran yang hebat” (To be able to bear provocation is an argument of great reason, and to forgive it of a great mind). [
3https://jagokata.com/kata-bijak/kata-provokasi-provokasi.html
]
Orang-orang dapat terprovokasi untuk melakukan agresi dengan pengucilan sosial, menyebarkan desas-desus tentang mereka dan serangkaian provokasi “tidak langsung” lainnya. Namun demikian, provokasi [seharusnya] tidak pernah menjadi alasan untuk memukul atau menyakiti seseorang, baik laki-laki maupun perempuan.
Penggunaan kekerasan tanpa verifikasi informasi yang jelas adalah tanda yang jelas dari pikiran yang belum matang. Kita harus belajar tentang bagaimana sebuah reaksi bisa berakibat sangat fatal, ketika kita lupa memberi jeda terhadap proses pengambilan keputusan kita. Dalam bahasa Jawa, janganlah bertindak grusa-grusu (bertindak tanpa berpikir terlebih dahulu).
Hati-hati terhadap informasi yang diterima, cerna dahulu, pahami, apakah kamu bereaksi saat ini atau nanti, terlebih bila informasi yang masuk berbentuk provokasi yang bisa membuat Anda hilang kendali. Contohnya sudah ada dan menjadi viral. 
Dua pria, satunya paruh baya dan yang satunya lagi anak muda (youth), telah mempertontonkan toxic masculinity. Diduga berawal dari aduan sang istri bagi pria paruh baya, dan aduan sang kekasih bagi anak muda itu, “memaksanya” memperlihatkan masculinity (kejantanan) dihadapan mereka agar dianggap kuat, hebat atau powerful tapi ternyata tanpa disadari malah menyebabkan kerugian terhadap orang lain sehingga menjadi toxic (beracun). *** [010323]


logoblog

Thanks for reading Provokasi Berujung Tindakan Sampai Hati

Previous
« Prev Post

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sahabat Blog