Ibn Battuta Travel Route. (Image- history) |
Kisah penjelajahan dunia adalah kisah yang luar biasa menakjubkan. Penjelajahan tidak hanya membutuhkan kesiapan fisik dan mental yang prima tapi juga menuntut keberanian. Tekad, semangat pantang menyerah, cita-cita, ketabahan, keberanian, persahabatan, kecerdasan, imajinasi, kegagalan dan keberhasilan, serta penderitaan yang berujung kebahagiaan adalah sebagian hikmah yang ditorehkan para penjelajah dunia bagi umat sesudahnya.
Pada waktu duduk di bangku SMP maupun SMA, kita mendengar para penjelajah seperti Marco Polo (1254-1324), John Cabot (1450-1500), Christopher Columbus (1451-1506), Vasco da Gama (1469-1524), dan Ferdinand Magellan (1480-1521), lewat guru sejarah.
Hampir semuanya berasal dari Eropa. Namun tahukah Anda bahwa selain penjelajah Eropa yang disebutkan tadi, masih ada sang penjelajah dunia dari Maroko yang tidak kalah hebat dari mereka. Dia adalah seorang musafir Muslim yang sangat menginspirasi sekaligus penjelajah yang tak tertandingi pada abad pertengahan.
Ibnu Bathuthah, sang penjelajah Muslim itu, mempunyai nama lengkap Abu Abdullah Muhammad bin Abdullah al-Lawati at-Tanji bin Bathuthah. Ia dilahirkan di Tangiers, Maroko, pada 25 Februari 1304. Kota pelabuhan di pantai Samudra Atlantik ini terletak 45 mil sebelah barat Laut Mediterania, dekat sisi barat Selat Gibraltar — di mana benua Afrika dan benua Eropa hampir bertemu [
1Brown, Cynthia Stokes. (2016?). Ibn Battuta: Muslim Traveling Judge. Retrieved from https://www.khanacademy.org/humanities/big-history-project/expansion-interconnection/exploration-interconnection/a/ibn-battuta
].Dikutip dari BBC, “Kerajaan Maroko terletak paling barat dari negara-negara Afrika Utara yang dikenal sebagai Maghreb atau Arab Barat.” Maghreb atau Al-Maghrib, begitulah nama klasik dari wilayah kerajaan mencakup Maroko, Libya, Aljazair, Tunisia, dan Libya. Kelima negara itu dikenal sebagai negara Maghribi. Orang-orang Maghribi masuk dalam etnolinguistik Berber dan Arab.
Ibnu Bathuthah besar dalam keluarga yang taat beragama. Sejak kecil sudah mendapatkan pendidikan agama yang baik, sehingga pada usia 12 tahun sudah menghafal Al Qur'an. Ia rajin mempelajari ilmu fiqih dari para ahlinya yang sebagian besar menduduki jabatan hakim. Ia juga memulai syair Arab dan sastra.
Ibnu Bathuthah hidup di Maroko pada masa kekuasaan Bani Marin. Bani Marin adalah dinasti Islam Berber yang pernah berkuasa di Maghrib. Dinasti yang berasal dari kelompok Berber Zenatah ini “mewarnai” kawasan itu dalam masa sekitar dua setengah abad, yaitu antara 612-869 H/1215-1465 M [
2Usmani, A. R. (2016). Jejak-Jejak Islam: Kamus Sejarah dan Peradaban Islam dari Masa ke Masa. PT Bentang Pustaka.
].Dorongan Ibnu Bathuthah bepergian melakukan penjelajahan adalah ketertarikannya untuk menemukan guru-guru terbaik dan perpustakaan-perpustakaan terbaik, yang saat itu ada di Alexandria, Kairo, dan Damaskus. Dia juga ingin menunaikan ibadah haji ke Mekkah, yang disebut “haji”, sesegera mungkin, karena semangat dan ketaatan pada keyakinannya.
Perjalanan semua penjelajahannya diperkirakan menempuh jarak sekitar 75 ribu mil (120 ribu km) dengan mengunjungi hampir semua negara yang memiliki banyak komunitas Muslimnya (Dar al-Islam), sejumlah negara di Eropa, dan Tiongkok, dari 1325 hingga 1354 [
3Nur, Yulia. (2009). Tokoh Hebat Ilmuwan Muslim. Solo: Tiga Serangkai.
].Setelah mengarungi perjalanan yang panjang, Ibnu Bathuthah kembali ke Maroko. Ia menjadi seorang hakim di negerinya sendiri. Saat bertemu Sultan Maroko, Sultan Abu ‘Inan Faris, ia diminta mengisahkan perjalanannya itu.
Kisah seluruh perjalanan Ibnu Bathuthah ditulis oleh Ibnu Jauzi (ada yang menyebut Ibnu Juzay), juru tulis Sultan Maroko. Karya itu kemudian diberi judul Tuhfah An-Nuzhar fi Ghara’ib Al-Amsar wa Ajaib Al-Asfar (Persembahan Seorang Pengamat tentang Kota-Kota Asing dan Perjalanan yang Mengagumkan).
Karya ini selanjutnya diterjemahkan ke berbagai bahasa, seperti Prancis, Inggris, dan Jerman oleh para sarjana Eropa pada abad ke-19. Setelah diterjemahkan, karya tersebut mulai mendapatkan perhatian luas yang layak sebagai catatan sejarah.
Karyanya berupa buku yang sering kali disebut “Rihlah Ibnu Bathuthah” (Perjalanan Ibnu Bathuthah) tersebut kemudian menjadi legendaris. Tak hanya di Timur Tengah dan kalangan Muslim, buku tersebut juga menjadi rujukan bangsa Barat.
Menurut laman Britannica dalam Ibn Battuta: Muslim explorer and writer [
4Hrbek, I. (2023, February 20). Ibn Battuta. Encyclopedia Britannica. https://www.britannica.com/biography/Ibn-Battuta
], disebutkan bahwa Rihlah Ibnu Bathuthah memiliki nilai dokumenter yang luar biasa karena urainnya yang mendetail tentang aspek sosial, budaya, dan politik di sebagian besar dunia Islam selama abad ke-14. Historiografisnya yang unik dan paling andal sangat berharga untuk studi sejarah.Catatan perjalanan Ibnu Bathuthah mulai dari penjelajahan pertamanya ketika ia menunaikan ibadah haji pada 14 Juni 1325 (ketika ia berumur 21 tahun), kemudian menuju Asia Kecil, Afrika Timur, Eropa, Maladewa, India, dan Tiongkok, menempuh jarak sejauh 75 ribu mil (120 ribu km) dan singgah ke 44 negara.
Dalam perjalanannya menuju ke Tiongkok dalam rangka menjadi duta besar utusan Sultan Delhi, Muhammad bin Tuqluq, menghadap maharaja Tiongkok, Kaisar Yuan, ia pernah singgah di Kerajaan Samudra Pasai (kini Aceh) pada tahun 1345.
Selama 15 hari berada di Samudra Pasai, Ibnu Bathuthah mengamati kerajaan Islam di tanah Melayu. Ia mengatakan bahwa Samudra Pasai adalah “negeri yang hijau dan subur”, “rakyat dan alamnya indah dan menawan”, negeri yang menghijau dan kota pelabuhannya besar dan indah”.
Kerajaan Samudra Pasai telah memiliki tamaddun (peradaban) dan hubungan luar negeri yang baik. Terbukti pada saat ia telah berada di Tiongkok, Ibnu Bathuthah melihat kapal Sultan Pasai yang sedang bersandar di salah satu pelabuhan di Tiongkok [
5https://voi.id/en/memori/40785
].Ibnu Bathuthah adalah satu-satunya musafir Muslim abad ke-14 yang diketahui telah mengunjungi tanah setiap penguasa Muslim atau Dar al-Islam pada masanya. Dikutip dari buku Sang Penjelajah karya Rudy Hartono (Jakarta: Republika, 2010), sejarawan Amerika kelahiran Belgia, George Alfred Leod Sarton (1884-1956), mencatat jarak perjalanan yang ditempuh Ibnu Bathuthah melebihi capaian Marco Polo.
Tak Heran, bila Sarton geleng-geleng kepala dan mengagumi ketangguhan seorang Ibnu Bathuthah yang mampu mengarungi lautan dan menjelajahi daratan sepanjang 75 ribu mil atau sejauh 120 ribu km. Sebuah pencapaian yang tak ada duanya di masa itu. Penjelajahan Ibnu Bathuthah mampu melampaui sejumlah penjelajah Eropa yang diagung-agungkan Barat seperti Christopher Columbus, Vasco da Gama, dan Magellan yang mulai berlayar setelah satu abad lebih penjelajahan Ibnu Bathuthah. *** [130423]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar