Sabtu, April 22, 2023

Kesederhanaan Dalam Khutbah Idul Fitri di Masjid Muttaqien Solo

  Budiarto Eko Kusumo       Sabtu, April 22, 2023
Salat Id di Masjid Muttaqien Solo pada Jumat (21/04/2023)

Tahun ini, 1444 H, muncul perbedaan lagi dalam pelaksanaan salat Idul Fitri. Namun seperti tahun-tahun sebelumnya yang juga pernah beda, hal itu tak menjadi masalah. Kebetulan masjid yang berada di kampung saya mengakomodir perbedaan tersebut.
Di Masjid Muttaqien yang berada di Jalan KH Samanhudi No. 111 Kelurahan Sondakan, Kecamatan Laweyan, Kota Surakarta, terlihat jamaah dari perlbagai kalangan mengikuti salat Idul Fitri. Dan, jauh sebelum pelaksanaan, memang masjid itu telah menginformasikan lewat banner warna hijau yang dipasang di pojok pagar halaman masjid yang menghadap ke perempatan, bahwa pelaksanaan sholat Idul Fitri diadakan pada hari Jumat (21/04) dan hari Sabtu (22/04) pada pukul 06.00 WIB.
Setelah melaksanakan salat Id yang diimami oleh H. Burhanuddin, umat Islam langsung mendengarkan khutbah. Khutbah Idul Fitri dilakukan setelah salah terlebih dahulu. Jadi, kebalikan dengan salat Jumat yang biasanya diisi khutbah dulu baru salat.
Khatib pada salat Id di hari Jumat disampaikan oleh Muhammad Al Fatih Hendrawan, S.T., M.T. Mengawali khutbahnya, sang khatib menjelaskan makna Idul Fitri terlebih dahulu. Idul Fitri berasal dari kata Id yang berakar pada kata aada-yauudu yang artinya kembali. Sedangkan fitri diartikan sebagai suci, bersih dari segala dosa, kesalahan serta keburukan yang diambil dari kata fathoro-yafthiru.
Sehingga, semua orang itu bisa merayakan  hari raya tapi tidak semua orang bisa merayakan Idul Fitri dalam pengertian kembali ke fitrah manusia, seperti masih bayi, masih suci. Puasa itu esensinya tidak hanya berpantang makan dan minum serta syahwat dari subuh hingga maghrib tetapi sesungguhnya juga melatih kejujuran.
Oleh karena itu, dalam hadis Qudsi yang diriwayatkan langsung oleh Nabi Muhammad shallallahu’alaihi wasallam dari Rabb-nya, bahwa Allah berfirman “Setiap amalan manusia adalah untuknya kecuali puasa, sebab ia hanyalah untuk-Ku dan Akulah yang akan memberikan ganjaran padanya secara langsung” (HR Bukhari dalah Shahihnya: 7/226 dari hadis Abu Hurairah radhiyallahu’anhu).
Orang yang jujur dan ikhlas akan memperlihatkan sikap sederhana. Hidup sederhana adalah hidup yang berlandaskan dari hidup yang selalu mencukupi sesuai dengan kebutuhan, apa adanya, dan tidak muluk-muluk. Kesederhanaan atau kebersahajaan itu tidak berlebih-lebihan.
Dalam kesempatan ini, sang khatib menceriterakan mengenai Angela Dorothea Merkel, pemimpin hebat yang hidup sederhana. Masyarakat Jerman memilih Angela Merkel untuk memimpin mereka, dan ia memimpin 80 juta penduduk Jerman selama 18 tahun dengan komptensi, kemampuan, dedikasi, ketulusan, dan kesederhanaan.
Maka pada saat mengakhiri purna tugasnya, Merkel mampu membawa Jerman dengan ekonomi terbesar di Eropa. Pada sebuah konferensi pers, seorang jurnalis wanita bertanya kepada Merkel, “Kami melihat bahwa Anda memakai pakaian lama Anda, tidakkah Anda punya yang lain?”
“Saya seorang pegawai pemerintahan, bukan model,” jawab Merkel pada sang jurnalis wanita tersebut.
Merkel pilih tinggal di apartemen biasa seperti warga negara lainnya. Apartemen ini dia tinggali sebelum terpilih sebagai Perdana Menteri Jerman dan dia tidak meninggalkannya dan tidak memiliki vila, pelayan, kolam renang dan taman.
Selain itu, sang khatib juga mengisahkan perihal keprihatinan Muhammad Abduh, seorang pemikir Muslim dari Mesir. Muhammad Abduh merasa heran kenapa yang penduduknya banyak muslimnya seringkali tidak terlihat keisilamannya? Hal ini, kata Muhammad Abduh, karena tertutup oleh perilaku Muslim itu sendiri.
Ironisnya, jelas Muhammad Abduh, setiap dilakukan penelitian terkait indikator islami dalam sebuah negara, seperti kejujuran, kesederhanaan, dan disiplin selalu dipegang oleh negara-negara yang notabene dianggap sekuler, seperti New Zealand hingga Belanda.
Setiap dirangking selalu diduduki oleh negara sekuler. Negara yang memiliki banyak tempat ibadahnya belum tentu selalu menunjukkan perilaku yang islami. Oleh karena, kata sang khatib, puasa Ramadhan ini selalu menjadi momentum bagi orang-orang Muslim untuk memperlihatkan hal itu semua.
Khutbah yang berakhir pada pukul 06.49 WIB itu menurut saya cukup bernas dan menyadarkan kepada kita semua. Dari situ, kita juga bisa menengok kembali kehidupan para sahabat Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam yang dikenal dengan sebutan “Ruhban al-Lail wa Fursan an-Nahar.”
Dengan karakter “Ruhban al-Lail wa Fursan an-Nahar”, di malam hari bak rahib dan di siang hari mereka adalah para kesatria luar biasa, para sahabat telah mengukir dirinya sebagai generasi emas. Sejarah kehidupan para sahabat memperlihatkan kepada kita bahwa mereka tidak pernah mendikotomisasi ibadah individual dan ibadah sosial. Kalau malam, mereka seperti rahib. Mereka hanya sedikit tidur. Mereka menghidupkan malamnya, dengan bersujud, bermunajab dengan Rabb-nya.
Sedangkan di siang hari, mereka akan banyak melakukan ibadah sosial seperti muamalah atau urusan sosial lainnya. Kehidupan mereka selalu seimbang antara kebutuhan akhirat dan dunia. Kehidupan para sahabat diwarnai dengan kepandaian mengkaji kitab suci di malam hari, dan siangnya jago dalam mengais rezeki.
Kedisiplinan dan kebersahajaan mereka dalam menjaga keseimbangan itu, sesungguhnya digunakan sebagai modal untuk melakukan dakwah. Karena kalau mereka hanya pandai menghafal ayat tapi tidak bisa menerjemahkan dalam tindakan sosial, orang juga akan meragukan. Contoh sederhananya, tatkala para sahabat mendakwahkan masalah sedekah, mereka dengan kemampuan ekonominya juga akan memberikan contoh dalam bersedekah dengan menggunakan uang hasil jerih payahnya sendiri. *** [210423]


logoblog

Thanks for reading Kesederhanaan Dalam Khutbah Idul Fitri di Masjid Muttaqien Solo

Previous
« Prev Post

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sahabat Blog