Sabtu, Mei 13, 2023

Ali Ahmad Sa’id Asbar: Anak Petani Yang Gemar Berpuisi

  Budiarto Eko Kusumo       Sabtu, Mei 13, 2023
Ali Ahmad Sa’id Asbar  dengan nama pena Adonis (Sumber gambar: https://www.flickr.com/photos/kkdog/5389139299)

Ali Ahmad Sa’id Asbar merupakan seorang penyair, penerjemah, dan penulis esai kelahiran Suriah yang memimpin gerakan modernis dalam puisi Arab pada paruh kedua abad ke-20. Ia lebih dikenal dengan nama pena sebagai Adonis atau Adunis, sebuah nama pemberian Anton Sa’adah, pendiri dan Ketua Partai Nasional Suriah.
Dalam mitologi Yunani, Adonis merupakan pemuda rupawan yang dicintai oleh Aphrodite (Dewi Kecantikan) dan Persephone. Kendati konon terlahir dari hubungan incest antara Raja Theyas atau Cynyras dari Siprus dengan putrinya, Myrra, Dewa Adonis merupakan simbol keindahan dan kebaikan.
Ali Ahmad Sa’id Asbar lahir pada 1 Januari 1930 di Desa Qaṣṣābīn, sebuah daerah pegunungan kecil kecil di Suriah Barat, dekat Lataka. Terlahir sebagai anak tertua dari enam bersaudara dalam keluarga petani muslim Alawiyyah.
Ia tidak mengenyam pendidikan formal sampai usia 12 tahun. Ia belajar membaca dan menulis pada seorang guru desa dan mendapat pendidikan Islam tradisional dari ayahnya, seorang petani dan imam masjid [
1Rokhmad, A., & Nurdin, N. (2021). Konsep Al-Tsrabit dan Al-Mutahawwil Serta Implikasinya dalam Hukum Islam: Telaah Pemikiran Ali Ahmad Said Asbar. SHAHIH: Journal of Islamicate Multidisciplinary, 6(2), 139–150. https://doi.org/10.22515/shahih.v6i2.3285
]. Selain itu, ayahnya juga mengajari puisi untuknya [
2https://www.scribd.com/presentation/409990652/Ali-Ahmad-Said-Esber-Ppt-Fix
].
Pada usia 14 tahun ia terdaftar di sekolah menengah yang dikelola orang Prancis di Tarsus hingga 1947. Dari Tarsus, dia melanjutkan ke Lycee di Latakia (1947-1949). Selama di Tarsus dan Lataka, Ali Ahmad Sa’id Asbar mulai menulis puisi sambil belajar bahasa Prancis.
Pada 1950 hingga 1954, ia belajar filsafat di Universitas Damaskus. Sembari menyelesaikan studinya itu, ia menerbitkan jilid puisi pertamanya, Dalīlah, pada tahun 1950, dan di penghujung studi filsafatnya, Ali Ahmad Sa’id Asbar terlibat dalam aktivitas politik. Ia bergabung dalam kegiatan politik di Partai Sosialis Nasional Suriah, yang pandangannya pada waktu itu bukan lagi berseberangan tapi sudah dianggap antipemerintah [
3https://what-when-how.com/literature/adonis-literature/
].
Dari kegiatan politiknya itu, ia pun sempat mendekam di penjara selama 6 bulan pada 1955. Setahun keluar dari penjara, ia memutuskan pindah ke Lebanon. Di Beirut, ia memulai menjadi jurnalis lepas. Kemudian Ali Ahmad Sa’id Asbar menjadi warga negara Lebanon, dan menikah dengan Khalida Sa’id. Dari pernikahannya itu, ia dikarunia seorang anak laki-laki (Saleh) dan dua anak perempuan (Arwad dan Ninar).
Pada tahun 1957 ia membantu Yūsuf al-Khāl dan ikut mendirikan jurnal kosmopolitan Shi’r (Puisi). Selang tiga tahun, ia berangkat ke Paris karena mendapat beasiswa dari Pemerintah Prancis selama setahun.
Pulang dari Prancis, Ali Ahmad Sa’id Asbar masih mengurusi jurnal Shi’r dan bekerja untuk jurnal Lisan al-Hal (1965-1967). Pada 1968, ia menghidupkan kembali jurnal berumur pendek Afaq dan mendirikan majalah budaya avant-garde Mawaqif (Posisi).
Tahun 1973, ia memperoleh gelar Ph.D dalam Sastra Arab dari Universitas St. Joseph di Beirut, dengan disertasinya yang berjudul “al-Tsabit wa al-Mutahawwil: Bahts fi al-Ittiba’ wa al-Ibda’ ‘ind al-‘Arab” (Aliran Statis dan Aliran Dinamis: Kajian tentang Imitasi dalam Budaya Arab).
Setelah publikasi hasil penelitian disertasi doktoralnya dibukukan, “al-Tsabit wa al-Mutahawwil: Bahts fi al-Ittiba’ wa al-Ibda’ ‘ind al-‘Arab” yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, “The Static and The Dynamic” menjadi karya fenomenal yang mencuatkan namanya dalam dunia pemikiran Arab kontemporer.
Ali Ahmad Sa’id Asbar mengajar Sastra Arab di Universitas Lebanon, dan pengawas tesis di Universitas St. Joseph Beirut serta menjadi profesor tamu di Universitas Damaskus, Suriah (1976) sebelum menetap di Courbevoie, Prancis pada tahun 1985 karena perang saudara di Lebanon.
Di Prancis, Ali Ahmad Sa’id Asbar mengajar di Sorbonne Nouvelle (Censier-Paris III), Prancis (1980-1981), dan menjadi dosen tamu beberapa universitas di AS  dan Swiss, seperti Universitas Georgetown (1985) dan Universitas Jenewa (1989-1995). Selain itu, ia juga pernah menjadi delegasi permanen Liga Arab ke UNESCO, Paris (1986-1989).
Ali Ahmad Sa’id Asbar atau Adonis telah menjadi penulis yang banyak menghasilkan kumpulan puisi [
4https://www.poetryfoundation.org/poets/adonis
]. Di antara karya-karyanya [
5Adonis. [2005]. Perubahan-Perubahan Sang Pecinta. Translated and Edited by Ahmad Mulyadi. Jakarta: Grasindo
] adalah Qashaid ula (Sajak-Sajak Pertama, 1957), Awraq fi al-rih (Dedaunan Ditiup Angin, 1957), Aghani mihyar al-Dimasyqi (Nyanyian-Nyanyian Mihyar dari Damaskus, 1961), Kitab al-Tahawwulat wa al-Hijrah fi Aqalim al-Nahar wa al-Layl (Kitab Perubahan-Perubahan dan Migrasi ke Wilayah-Wilayah Siang dan Malam, 1965), al-Masrah wa al-Maraya (Panggung dan Cermin-Cermin, 1968), Waqt Bayn al-Ramad wa al-Warad (Waktu Di antara Abu dan Mawar, 1970), Mufrad bi Shighat al-Jam’ (Singular dalam Bentuk Plural, 1977), Kitab al-Qashaid al-Khams (Kitab Lima Sajak, 1979), dan Hadza Huwa Ismi (Inilah Namaku, 1980). 
Selain itu, ada Kitab al-Hishar (Kitab Kepungan, 1985), Syahwah Tataqaddam fi Khara’ith al-Maddah (Hasrat Memasuki Peta-Peta Materi, 1987), Ihtifa bi al-Asyya’ al-Gahamidhah al-Wadhihah (Perayaan Benda-Benda Samar-Jelas, 1988), Abjadiyyah Tsaniah (Aksara Kedua, 1994), dan al-Kitab (1995).
Kiprahnya dalam puisi telah menghasilkan sejumlah penghargaan bagi dirinya seperti Prix des Amis du Livre, Beirut (1968), Syria-Lebanon award of the International Poetry Forum, Pittsburgh (1971), National Poetry prize, Lebanon (1974), Officier des Arts et des Lettres, Prancis (1984),  Grand Prix des Bienniales Internationales de la Poesie, Liege, Belgia (1986), Prix Jean Malrieu 'Etranger', Marseille (1991), Feronia-Cita di Fiamo prize, Roma (1993), Nazim Hikmet prize, Istanbul (1994), Prix Mediterranee-Etranger, Paris (1995), Prix du Forum culturel libanais, Paris (1995), Nonino International prize for literature, Udine, Italia (1997), Commandeur de l'Ordre des Arts et des Lettres, Prancis (1997), Struga International Poetry Festival Golden Crown, Makedonia (1998), Lerici-Pea prize, Italia (2000), Goethe Medal of the Goethe Gesellschaft, Jerman (2001).
Publikasinya mencakup dua puluh jilid puisi, mulai dari epos menukik (swooping epics), mistisisme erotis hingga meditasi tenang, yang ditulis lebih dari 70 tahun. Sebagai seorang visioner yang sangat menghormati masa lalu, Ali Ahmad Sa’id Asbar telah mengartikulasikan tema identitas, ingatan, dan pengasingannya yang disayangi dalam syair yang sangat indah, sementara pekerjaannya sebagai kritikus dan penerjemah menjadikannya jembatan hidup antar budaya [
6https://poetryinvoice.ca/read/poets/adonis-ali-ahmad-said-esber
].
Ali Ahmad Sa’id Asbar telah dinominasikan berkali-kali sebagai kandidat peraih Nobel Sastra, termasuk pada 2011 ketika pecah Revolusi Musim Semi Arab (The Arab Spring). Baginya puisi bisa menjadi penyelamat bagi tanah airnya di tengah fanatisme agama yang “sedang menghacurkan jantung dunia Arab” [
7https://www.suara.com/news/2016/09/26/053200/puisi-bisa-menyelamatkan-dunia-arab
].
Dalam perbincangan yang menyegarkan dengan Kaiser Haq pada acara pembukaan Dhaka Lit Fest (Festival Sastra Dhaka) pada 2017, Ali Ahmad Sa’id Asbar membagikan pemikirannya tentang puisi dan Timur Tengah [
8https://theluxembourgreview.org/tag/luxembourg/
].
“Puisi saya adalah semacam perpecahan dari tradisi masa lalu dan mengumumkan semacam modernitas di dunia Arab. Ini meluncurkan tradisi baru. Sebelumnya banyak hal yang tidak boleh diungkapkan. Ada semacam kendala pada pemikiran alternatif. Jadi, yang saya lakukan adalah saya menciptakan karakter dalam puisi saya, yang bekerja sebagai semacam corong untuk artikulasi pikiran saya. Jadi, melalui literatur saya mengungkapkan ide-ide saya. Itu semacam jalan memutar yang saya temukan sendiri. Melalui suara intelektual, politik dan sastra saya, saya ingin mengubah masyarakat,” ungkap Ali Ahmad Sa’id Asbar atau Adonis, si anak petani yang gemar berpuisi itu. *** [130523]


logoblog

Thanks for reading Ali Ahmad Sa’id Asbar: Anak Petani Yang Gemar Berpuisi

Previous
« Prev Post

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sahabat Blog