Sabtu, Maret 09, 2024

Senja Kala SDN Brotodipuran

  Budiarto Eko Kusumo       Sabtu, Maret 09, 2024
Guru dan Siswa Kelas 2 SDN Brotodipuran Solo Tahun 1976

Jauh sebelum diberlakukan zonasi sekolah pada tahun 2018 di Kota Surakarta, atau yang dikenal dengan sebutan Kota Solo, Sekolah Dasar Negeri (SDN) Brotodipuran No. 101 yang berada di daerah Kartopuran, Kelurahan Jayengan, telah tutup. 
Dari tiga SD yang berdiri dalam satu lahan di belakang Kantor Kelurahan Jayengan atau Puskesmas Serengan itu, dua SD yaitu SDN Sidokare dan SDN Brotodipuran tutup. Kini, tinggal SDN Kartodipuran No. 21 yang masih beraktivitas hingga saat ini.
Tutupnya kedua SD tersebut lantaran kekurangan siswa dalam Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) yang mulai melanda Kota Solo pada tahun 2000 ke atas. Konon, kurangnya jumlah siswa baru di SD telah terjadi beberapa tahun belakangan. Ini dinilainya merupakan dampak dari keberhasilan program keluarga berencana (KB). 
Dengan adanya keberhasilan KB, jumlah lulusan TK tidak bertambah banyak. Akhirnya, SDN Sidokare dan SDN Brotodipuran digabung dengan SDN Kartodipuran. Bahkan, saya juga mendengar puluhan tahun lalu bahwa salah seorang guru SDN Brotodipuran menjadi Kepala Sekolah di SDN Kartodipuran setelah dilebur.
Selain isu keberhasilan program KB, terhembus kabar juga bahwa sekolah-sekolah yang kekurangan siswa adalah sekolah-sekolah yang prestasi dan kegiatannya dinilai kurang bagus oleh masyarakat. Kekurangan siswa SD di Kota Solo ditemukan tidak hanya di dua SDN tersebut.
Sebagai alumni SDN Brotodipuran, saya tidak mengetahui dengan pasti penyebab dominannya. Apakah karena prestasi kedua SDN tersebut turun sehingga masyarakat enggan menyekolahkan anaknya di situ, atau lantaran keberhasilan program KB, kedua SDN kalah bersaing dalam kreativitas menggaet siswa baru?
Senja kala SDN Brotodipuran telah terjadi hingga ditutup. Pengertian senja kala dalam hal ini adalah kemunduran SDN Brotodipuran. Kemunduran itu karena dua variabel yang disebutkan di atas, entah itu berjalan sendiri atau dua variabel tersebut bergerak secara kolaboratif.
Senja kala yang harfiahnya adalah waktu senja pernah menginspirasi Guruh Soekarno Putra dalam menggambarkan situasi, baik itu dalam arti fisik maupun sosial, dengan menciptakan lagu “Kala Sang Surya Tenggelam.”
Bait pertama dalam lagu tersebut seakan-akan mempersonifikasikan perjalanan senja kala SDN Brotodipuran:

Surya tenggelam
Ditelan kabut kelam
Senja nan muram
Di hati remuk redam

Sekian lama tak bisa mendengar kiprah SDN Brotodipuran, tiba-tiba salah seorang teman semasa SD, Waluyo, yang jago main sepak bola, mengupload foto satu kelas bersama bapak dan ibu guru dengan latar belakang papan nama sekolah pada pukul 22.44 WIB di hari Selasa (05/03).
Saya kagum dengannya karena ia masih menyimpan foto jadul. Foto tersebut merupakan hasil jepretan pada tahun 1976 sewaktu masih duduk di bangku kelas 2. Sudah 48 tahun silam, ia menyimpan foto tersebut.
Kontan, sejumlah siswa SDN Brotodipuran yang tergabung dalam group WhatsApp (WA) “Brotodipuran Reunion” mengomentarinya dengan sejumlah kenangan yang ada di dalam memorinya.
Jadi, kendati SDN Brotodipuran sudah tutup atau tidak ada lagi di muka bumi. Namun memori alumninya masih berkelana. Seperti ujaran, “When I say miss school, I mean the friends and the fun. Not the school” (Ketika saya mengatakan saya rindu sekolah, yang saya maksud adalah teman-teman dan kesenangannya. Bukan sekolah).
Ujaran tersebut saya temukan dengan label unknown, anonim atau tidak diketahui siapa pencetusnya. Namun saya kutip, karena roh yang terkandung dalam ujaran tersebut cocok dengan situasi alumni SDN Brotodipuran.
Kita tidak perlu terpaku saja dalam “berziarah” fisik, tapi juga bisa “berziarah” melalui memori yang mengendap dalam benak kita masing-masing, seperti halnya menarasikan kisah dari foto yang diuplod teman.
Kisah tentang belajar di sekolah dasar (SD) selalu menarik untuk dikenang, karena manusia menyimpan ragam ceritera sendiri-sendiri. Tidak ada yang sama, penuh liku-liku, dan terkadang menginspirasi.
Secara psikologi, anak-anak SD umumnya senang bekerja secara berkelompok, senang untuk bermain, senang untuk bergerak maupun senang untuk melakukan kebiasaan secara langsung. UNESCO sendiri menegaskan bahwa idealnya pendidikan dibangun berdasar empat pilar, yakni learning to know (belajar untuk mengetahui), learning to do (belajar untuk terampil), learning to be (belajar untuk menjadi seseorang), dan learning to live together (belajar untuk menjalani kehidupan bersama).
Dari learning to live together selama 6 tahun duduk di bangku SD menjadi masa yang memorable dan menyimpan rasa kangen. Dari foto itu, kita juga bisa melihat para guru yang telah mengukir budi pekerti, dan wajah teman-teman sekelas yang culun.
Terlihat ada 7 guru, yang bila diurutkan dari kiri arah pandang mata yang melihatnya, ada Pak Janadi (Kartotiyasan, Kratonan), Bu Nasri (Baron), Bu Harjiyem (Kartopuran, Jayengan), Bu Kusniyah (Kratonan), Bu Sri Hartini (Badran), Bu Nastain (Joyotakan), dan Bu Siti (Penumping). 
Pada waktu itu, Bu Siti masih selalu berkebaya dan berjarit dalam mengajar. Mungkin pada masa sekarang sudah sulit dijumpai. Menjumpai guru berkebaya dan berjarit saat ini kalau sedang memperingati Hari Kartini saban tanggal 21 April saja.
Lalu dari 17 siswa yang berpotret, yang masih saya inget wajahnya adalah Sukro Asmoro, Sri Rahayu Baknuri, Nuk Lestari, Sri Mulyani, Nazaruddin, Ardianto, Supriyanto, Tono, dan Waluyo. Meski yang lain lupa wajahnya, tapi sesungguhnya saya telah bersilaturahmi ke rumahnya masing-masing. Karena saat SD, saya gemar menyambangi konco-konco. Kebetulan teman sekelas waktu di bangku SD berasal dari 4 kelurahan, yaitu Kratonan, Tipes, Jayengan, dan Kemlayan. “Sebuah novel memiliki 10 hikmah, namun setiap foto memikiki 1000 makna.” *** [090324]


logoblog

Thanks for reading Senja Kala SDN Brotodipuran

Previous
« Prev Post

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sahabat Blog