“Gathered around this table, we’re not just sharing food, but creating memories.” - Unknown
Wedangan di Solo, adalah bagian penting dari budaya kuliner Jawa, yang mencakup tempat-tempat makan yang menyajikan makanan dan minuman tradisional. Konsep wedangan sendiri merujuk pada warung atau kedai yang menawarkan berbagai pilihan minuman, terutama wedang (minuman hangat) seperti wedang jahe, wedang kopi, dan lainnya, serta makanan ringan.
Sejarah wedangan di Kota Solo berakar dari tradisi sosial masyarakat Jawa yang suka berkumpul dan bercengkerama sambil menikmati makanan. Tempat ini sering menjadi lokasi pertemuan untuk bersantai, berdiskusi, atau menikmati suasana malam.
Wedangan Pak Basuki di Sondakan, Laweyan, Solo |
Wedangan menjadi sebuah konsep ruang kuliner lokal tempat masyarakat di Kota Solo mengisi waktu senggang terutama di malam hari. Wedangan yang semula dikenal sebagai konsumsi kelas bawah telah memainkan peran penting memberikan gambaran sejarah dan memori terkait perkembangan serta transformasi Kota Solo dari masa ke masa.
Pada zaman dulu, wedangan di Solo dikenal dengan “hik” (hidangan istimewa kampung). Kalau di Yogyakarta umumnya disebut dengan angkringan. Wedangan sendiri berasal dari bahasa Jawa dari gabungan kata “wedang” (minuman) dan “-an” (akhiran dalam bahasa Jawa yang menunjukkan aktivitas). Jadi, istilah “wedangan” menunjuk kepada aktivitas minum (yang hangat-hangat).
Ahad (29/10) kemarin, saya dijemput teman-teman peneliti dari Yayasan Percik Salatiga (Percik) – Haryani Saptaningtyas, Damar Waskitojati, dan Christina Arief T. Mumpuni - untuk kembali ke Malang guna menghadiri Indonesia in-Country Meeting (30 September – 05 Oktober 2024).
Kira-kira baru 750 meter dari rumah, teman-teman peneliti Percik mengajak nongkrong dulu - sambil istirahat usai perjalanan dari Salatiga dan menjemput Direktur Percik Haryani Saptaningtyas di Kartasura - di Wedangan Pak Basuki yang berada di Lumbung Batik PPBS (Pamong Pengusaha Batik Surakarta) yang beralamatkan di Jalan Agus Salim No. 17 Kelurahan Sondakan, Kecamatan Laweyan, Kota Surakarta.
Nongkrong dan makan malam bersama teman-teman peneliti Percik |
Wedangan Pak Basuki di Sondakan adalah tempat yang terkenal untuk menikmati berbagai jenis makanan dan minuman khas Jawa. Di sini, kamu bisa menemukan menu tradisional yang otentik, serta suasana yang nyaman dan hangat.
Wedangan ini telah bertahan sejak 16 tahun yang lalu, dan menjadi salah satu gerai kuliner yang konsisten mempertahankan wedangan tradisional di Kota Surakarta, atau yang beken dengan sebutan Kota Solo.
Menu Wedangan Pak Basuki cukup banyak. Nasi bungkus dengan daun pisang dengan berbagai macam masakan seperti bandeng goreng dengan sambal, oseng-oseng, nasi goreng dan masih banyak lagi jenisnya. Serta juga aneka lauk pauk yang menemani pengunjung untuk menikmatinya, seperti paru goreng, kikil, tahu bacem, aneka sate-satean, dan lain-lain. Berbagai aneka minuman juga disajikan, seperti teh panas, jeruk panas, wedang jahe, kopi, wedang tape, dan masih banyak jenis yang lain.
Wedangan Pak Basuki ini awalnya berdiri di trotoar jalanan, dan kini telah naik kelas yang umumnya dikunjungi dari kalangan menengah hingga atas. Buka dari pukul 17.00 WIB hingga pukul 00.30 WIB tidak pernah sepi dari para penikmat kuliner malam di Kota Solo. Setiap harinya terlihat mobil berjejer di halaman Lumbung Batik PPBS untuk menyantap menu Wedangan Pak Basuki.
Ditraktir teman-teman peneliti Percik |
Di Wedangan Pak Basuki ini, saya ditraktir oleh teman-teman peneliti Percik. Kalau di Wedangan Pak Basuki biasanya saya memesan wedang jahe yang memiliki rasa khas dalam peracikannya, namun saat dengan teman-teman peneliti Percik saya memesan es teh, nasi bungkus bandeng dengan sambal dan bakaran paru. Di sela-sela makan, saya disodori bakaran kikil oleh Bu Har.
Membersamai teman-teman peneliti Percik nongkrong di Wedangan Pak Basuki memberi kesan tersendiri. Kutipan yang tidak diketahui siapa pencetusnya, mengatakan "Gathered around this table, we’re not just sharing food, but creating memories" (Berkumpul di meja ini, kita tidak hanya berbagi makanan, tetapi menciptakan kenangan).
Frasa dalam kutipan (quote) ini menunjukkan bahwa waktu makan lebih dari sekadar makan. Kutipan ini menyoroti pentingnya aspek sosial dalam berbagi makanan, tempat terjadinya percakapan, tawa, dan koneksi.
Suasana ini memupuk hubungan dan menciptakan kenangan abadi yang melampaui makanan itu sendiri. Kutipan ini menyampaikan gagasan bahwa pengalaman dan ikatan yang terbentuk selama pertemuan ini sama pentingnya dengan makanan yang dibagikan, yang menekankan signifikansi emosional dan komunal dari makan bersama. *** [091024]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar