“Remembrance of things past is not necessarily the remembrance of things as they were." -- Marcel Proust
Setelah seharian berkoordinasi untuk pemasangan sensor udara AirGradient di Desa Tlogorejo dan Pagak pada Rabu (14/05), rasa lelah terbayar sudah ketika Project Manager NIHR (National Institute for Health and Care Research) Universitas Brawijaya (UB) Fildzah Cindra Yunita, S.Kep., MPH mengajak Tim Koordinasi Sensor Udara makan sore di Poskoffie Kepanjen, sebuah café kekinian yang berdiri megah di tengah hamparan sawah menghijau di Jalan Panji No. 200A, Kelurahan Penarukan, Kecamatan Kepanjen, Kabupaten Malang.
Poskoffie bukan sekadar kedai kopi biasa. Konsepnya yang modern estetik, dipadukan dengan nuansa alam yang menenangkan, membuat siapa pun betah berlama-lama di sini. Café ini memiliki area luas dengan beragam pilihan makanan dan minuman - mulai dari kopi racikan spesial hingga hidangan tradisional dengan sentuhan kekinian. Harganya pun terjangkau, tapi pemandangannya? Mahal. Sawah membentang, angin sepoi-sepoi, dan langit biru yang memeluk senja bila sedang tak turun hujan.
![]() |
Diajak makan sore sama Project Manager NIHR UB di Poskoffie Kepanjen |
Dari sekian banyak pilihan, kami – Fildzah Cindra Yunita, Meutia Fildzah Sharfina, dan saya – memilih satu menu yang membuat hati saya flashback: Nasi Bancakan Poskoffie.
Bagi yang tumbuh besar di Jawa, bancakan bukan sekadar makanan. Ini adalah ritual. Sebentuk syukur dan harapan akan keselamatan. Dulu, saat masih bocil, setiap ada teman ulang tahun (sebelum usia SMP), orang tuanya akan menggelar bancakan - nasi lengkap dengan lauk-pauk, disusun di atas daun pisang, dimakan bersama-sama. Rasanya bukan cuma sedap, tapi juga akrab dan membahagiakan.
Melihat Nasi Bancakan disajikan kembali di Poskoffie, saya seperti ditarik pulang ke masa kecil. Kenangan itu muncul seketika, lengkap dengan suara tawa teman-teman kecil, doa-doa tulus dari orang tua, dan aroma nasi hangat bercampur lauk tradisional.
Nasi dibentuk kerucut seperti gunung, melambangkan cita-cita setinggi langit yang diharapkan tertanam dalam diri anak. Di sekelilingnya, sayuran hijau bercampur parutan kelapa berbumbu ditata rapi, bagai hutan yang mengelilingi kaki gunung. Ini adalah doa agar si anak dikelilingi kesuburan, kemakmuran, dan ketenteraman - seperti alam yang selalu memberi kehidupan.
![]() |
Nasi Bancakan Poskoffie |
Lalu, ada telur rebus yang digoreng. Seharusnya telur rebus yang dipotong-potong, putih dan kuningnya terpisah namun tetap utuh. Putih telur adalah harapan akan keceriaan dan masa depan yang cerah, sementara kuning telur memperkuat doa itu - bahwa si anak tak hanya bahagia, tapi juga diberkahi kejernihan hati dan pikiran.
Dulu, bancakan adalah cara sederhana orang tua menitipkan doa lewat makanan. Kini, di Poskoffie, tradisi itu dihidupkan kembali - tak hanya sebagai menu, tapi sebagai pengingat bahwa setiap suapan pernah menjadi doa.
"Makanan terbaik adalah yang tidak hanya mengenyangkan perut, tapi juga mengingatkan kita pada asal dan harapan yang pernah dititipkan."
Kadang, hal-hal sederhana seperti makanan bisa menjadi jembatan pulang ke hati kita yang terdalam. Seperti kata cendekiawan, novelis, eseis dan kritikus Prancis Marcel Proust (1871-1922), “Remembrance of things past is not necessarily the remembrance of things as they were." Kenangan akan masa lalu bukanlah kenangan atas kisah-kisah yang persis sama, melainkan atas kenangan rasa yang tertinggal.
![]() |
Es Beras Kencur Poskoffie |
Kutipan yang indah dan renungan yang mendalam tentang bagimana hal-hal sederhana seperti makanan bisa membangkitkan kenangan emosional yang kuat. Marcel Proust, dalam mahakaryanya In Search of Lost Time (1913), memang menggali bagaimana sensasi - seperti rasa kue madeleine yang dicelupkan ke dalam teh - dapat membawa kita pada perjalanan waktu yang personal dan nostalgia yang mengharu biru.
Dalam konteks bancakan, ada dimensi kebersamaan dan keakraban yang memperkaya pengalaman ini. Makanan tidak hanya menjadi penanda budaya, tetapi juga menjadi jembatan yang menghubungkan memori kolektif dan identitas komunitas. Seperti yang Proust soroti, ingatan kita sering kali bukanlah rekaman objektif masa lalu, melainkan rekonstruksi subjektif yang dipenuhi makna emosional.
Mungkin inilah kekuatan makanan: ia adalah bahasa universal yang bisa menyentuh hati yang terdalam, mengingatkan kita pada rumah, keluarga, atau momen-momen sederhana yang justru paling berharga. Apakah Anda memiliki kenangan spesifik terkait makanan yang membawa Anda "pulang" pada diri sendiri atau masa lalu? *** [140525]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar