Di tanah perbukitan yang tenang di kawasan Bumi Nggabes, tepatnya di Dusun Junggo RT 01 RW 11 Desa Tulungrejo, Kecamatan Bumiaji, Kabupaten Malang, terdapat sebuah saung kecil yang menjadi ruang temu para pegiat pendidikan alternatif.
Saung milik orangtua Luhur Suseno, S.Sos. – salah satu pendiri Sekolah Alam Sobyor Kota Batu – berdiri dengan sederhana di tengah lahan yang dikelilingi kebun apel yang rimbun. Meski mungil, bangunan yang tersusun dari batako tersebut lengkap dengan perkakas dapur, membuat siapun betah berlama-lama bercengkerama di saung tersebut.
Hari itu, Senin (26/05), suasana di saung awalnya diliputi gerimis namun tak mengurangi rasa senang saat menyatu dengan alam. Di saung yang dikelilingi panorama menawan – Gunung Arjuno di timur, Gunung Panderman di selatan, dan Guung Biru di barat laut – saya berkesempatan berkumpul dengan dua pegiat Sekolah Alam Sobyor: Luhur Suseno dam Andhika Krisnaloka, S.Sos. Keduanya adalah alumni Sosiologi FISIP Universitas Brawijaya (UB), sementara saya sendiri dari jalur yang sama: alumni Sosiologi FISIPOL Universitas Sebelas Maret (UNS).
![]() |
| Panen kesemek bersama dua pegiat Sekolah Alam Sobyor Kota Batu |
“Saung ini memang bukan tempat mewah,” ujar Luhur ketika sedang menyiapkan rebusan singkong dan labu siam, “tapi di sinilah barangkali ide-ide akan bermunculan — dari obrolan ringan, rebusan singkong, dan ketukan angin dari kebun apel.”
Kebersamaan tiga orang tersebut terasa akrab dan membumi. Sementara Luhur menyiapkan rebusan singkong dan labu siam (manisa) muda hasil petikan langsung dari kebun di sekitar saung, saya dan Andhika dimanjakan oleh suasana alam.
Blusukan di antara barisan pohon-pohon apel, deretan pohon kesemek di tepi jurang, jeruk, dan tanaman wortel menjadi pengalaman yang menyegarkan sekaligus menyentuh akar kehidupan Desa Tulungrejo yang alami.
![]() |
| Berdiskusi dengan dua pegiat Sekolah Alam Sobyor Kota Batu terkait lingkungan: eco enzyme dan keasrian lingkungan |
Tak hanya melihat-lihat, kami pun sempat ikut memanen kesemek yang tengah berbuah lebat. Ayah Luhur, Bapak Heri Agus Widodo, memiliki 11 pohon kesemek yang tumbuh berjajar di pinggir jurang. Hari itu, semua pohon tampak sedang merayakan musimnya - sarat buah berwarna jingga ranum yang mengundang mata.
Saat kami mendekat untuk memetik, puluhan burung kutilang yang sejak pagi asyik berpesta di dahan-dahan, tiba-tiba berhamburan ke langit. Pemandangan itu menciptakan momen magis - perpaduan antara keindahan alam, hasil bumi, dan kehidupan liar yang bersahabat.
Begitu rebusan matang, aroma harum singkong dan manisa menyatu dengan dinginnya udara sore. Kami pun duduk bersama di beranda saung, menyantap hasil bumi dengan sederhana tapi penuh syukur. Singkong rebusnya empuk, manisa mudanya manis dan hangat — menyatu dalam cerita dan tawa kecil yang menyusup di antara diskusi ringan kami.
![]() |
| Rebusan singkong dan manisa di udara sejuk |
Pembicaraan kami memang santai, tapi tak hampa. Latar belakang yang sama membuat diskusi mengalir mengenai pendidikan, keberdayaan masyarakat, hingga makna “alam” dalam pendekatan pembelajaran yang dijalankan Sekolah Alam Sobyor.
Alam bukan sekadar tempat belajar, tapi ia adalah guru sejati. Ia mengajarkan kesabaran, siklus, dan bagaimana semua yang hidup saling terhubung. Dan ini juga menjadi sebuah penghormatan pada interasionisme simbolik (A nod to symbolic interactionism).
"The trails we carve into the mountain are more than paths; they are stories of collective longing—proof that beauty is a pilgrimage we undertake together" (Jalan setapak yang kita ukir di gunung lebih dari sekadar jalan setapak; jalan setapak itu adalah kisah kerinduan kolektif—bukti bahwa keindahan adalah ziarah yang kita lakukan bersama).
![]() |
| Saung Bumi Nggabes Kota Batu |
Sebuah pengingat yang menyiratkan semangat interaksionisme simbolik, bahwa setiap langkah kecil di jalur pegunungan, setiap obrolan di saung, dan setiap hasil bumi yang dibagi bersama adalah narasi bersama yang membentuk makna.
“Di tengah sunyi dan hijau yang melingkupi, setiap percakapan menjadi makna, setiap rebusan menjadi syukur, dan setiap perjumpaan menjadi harapan.”
Hari pun mulai beranjak sore. Meski gerimis telah lepas namun kabut perlahan menyiapkan untuk turun dari lereng Gunung Arjuna. Tapi hati kami tetap hangat - oleh kebersamaan, kesederhanaan, dan harapan yang terus hidup di sebuah saung kecil di kaki langit Kota Batu. *** [270525]





Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarokatuh di .....
BalasHapusAlhamdulillaah .....
Mmmuuuaaannntttaaappp pisan euy .....