Sabtu, Juli 12, 2025

Macaca fascicularis, Monyet Ekor Panjang Yang Menjaga Kawitan

  Budiarto Eko Kusumo       Sabtu, Juli 12, 2025
“Alam liar tanpa satwa liar hanyalah pemandangan.” – Lois Crisler
Begitu kaki menginjak pelataran Situs Kawitan di Taman Nasional Alas Purwo (TNAP) di ujung tenggara Pulau Jawa, pemandangan pertama yang menyita perhatian bukan hanya megahnya dinding-dinding pura tua yang diselimuti lumut dan akar pohon raksasa, tetapi kehidupan liar yang tak kalah memesona, yaitu puluhan kera yang berkeliaran bebas di bawah naungan pepohonan besar. 
Ada yang tengah duduk menyendiri di puncak gerbang pura, matanya mengawasi pengunjung dengan tatapan tajam penuh rasa ingin tahu. Ada pula keluarga kecil yang sedang saling membelai dan mencari kutu, seolah memberi tahu dunia bahwa tempat ini bukan hanya situs sakral, tapi juga rumah.
Mereka adalah penghuni setia kawasan ini – kera khas yang dikenal dengan monyet ekor panjang. Di Indonesia, monyet ekor panjang punya banyak nama: karau di Sumatera, cigak di ranah Minang, kunyuk dalam bahasa Sunda, kethek di Jawa, bedes bagi masyarakat Tengger, motak di Madura, hingga warik di Kalimantan.
 
Keluarga kecil monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) di atas dinding Situs Kawitan Alas Purwo, Banyuwangi

Spesies ini dikenal dengan ciri khasnya berupa ekor yang hampir menyamai panjang tubuh, kaki belakang yang lebih panjang dari kaki depan, serta kebiasaan hidup dalam kelompok sosial yang erat.
Sebagai primata diurnal yang arboreal, mereka menghabiskan waktu siang di pepohonan tinggi namun tak segan turun ke tanah - atau bahkan menyelam ke air - bila dibutuhkan. Mereka lincah melompat, berjalan dengan keempat kakinya, dan berenang tanpa ragu. 
Tak heran jika para peziarah dan wisatawan kerap menemukan mereka dengan bebas meloncat dari cabang ke dinding pura, seakan menjaga situs kuno ini dengan kehadiran mereka yang terus-menerus.
Monyet ekor panjang memiliki nama ilmiah Macaca fascicularis (Raffles, 1821). Nama genus Macaca berasal dari bahasa Portugis “macaco”. Yang berasal dari makaku, sebuah kata dalam bahasa Ibinda, sebuah bahasa di Afrika Tengah (kaku berarti monyet dalam bahasa Ibinda) [
1Macaca fascicularis (Raffles, 1821) in GBIF Secretariat (2023). GBIF Backbone Taxonomy. Checklist dataset https://doi.org/10.15468/39omei accessed via GBIF.org on 2025-07-11
].
Sedangkan, julukan khusus fascicularis berasal dari bahasa Latin “fasciculus” (seikat kecil atau paket). Dalam monyet ekor panjang ini, nama spesies fascicularis berarti “berkelompok” atau “terikat”, mengacu pada kebiasaan hidupnya yang berkelompok [
2Notten, A. (2015). Crassula fascicularis Lam. South Africa National Biodiversity Institute (SANBI). https://pza.sanbi.org/crassula-fascicularis
].
Nama ilmiah Macaca fascicularis diperkenalkan oleh Sir Thomas Raffles (1781-1826), seorang Gubernur Jenderal Hindia Belanda (1811-1816) dan Letnan Gubernur Jenderal Bengkulu (1818-1824), dan dipublikasikan dalam Transactions of the Linnean Society of London Volume 13, atau Linn. Soc. Lond. vol.13 p.246 (1821).

Seekor monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) yang sedang mengamati pengunjung yang akan masuk Pura Situs Kawitan

Dalam kajian etnozoologi, monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) merupakan contoh menarik dalam menggambarkan dinamika kompleks antara manusia dan satwa liar. Interaksi ini mencakup konflik, pemanfaatan ekonomi-ilmiah, serta nilai simbolis dalam budaya.
Monyet ini sering dianggap hama karena invasi ke lahan pertanian, merusak tanaman seperti kelapa, pisang, atau padi, sehingga memicu upaya pengendalian (misalnya melalui perburuan atau pengusiran).
Sementara itu, dalam risiko kesehatan, kedekatannya dengan permukiman manusia meningkatkan potensi penularan penyakit zoonosis, seperti rabies dan tuberkulosis, memperparah konflik ekologi dan sosial.
Selain itu, kesamaan genetiknya dengan manusia (~93%) menjadikannya model penting dalam uji obat, vaksin, atau studi neurologis, meski hal ini seringkali menuai kontroversi etis.
Dalam beberapa budaya, Macaca fascicularis (monyet ekor panjang) dianggap sebagai satwa suci, memengaruhi cara mereka diperlakukan dan berinteraksi. Di tempat seperti Bali atau kuil-kuil tertentu di Asia Tenggara, monyet ini dipandang sakral (contohnya mitos Anoman dalam Hindu), dilindungi, dan menjadi bagian ritual.
Situs Kawitan bukan hanya saksi bisu sejarah spiritual Alas Purwo, tapi juga panggung alami bagi kehidupan liar yang lestari - tempat di mana tradisi manusia dan alam liar berpadu, diikat oleh kepercayaan dan keseimbangan.

Monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) sedang menikmati makanan dari pemberian pengunjung Situs Kawitan

Seperti kata Lois Eula Brown Crisler (1896-1971), seorang penulis, pembuat film, dan konservasionis Amerika, “Wilderness without wildlife is just scenery” (Alam liar tanpa satwa liar hanyalah pemandangan).
Kutipan Crisler ini mengambarkan esensi keberadaan Macaca fascicularis (monyet ekor panjang) dalam ekosistem dan budaya kita. Monyet ekor panjang bukan sekadar elemen tambahan dalam lanskap alam, melainkan aktor penting yang menghidupkan dan memberi makna pada alam liar itu sendiri.
Di tempat seperti Situs Kawitan Alas Purwo, di mana monyet yang berkeliaran di sana dianggap sakral, Crisler mengingatkan kita bahwa “Tanpa monyet-monyet ini, Situs Kawitan Alas Purwo akan menjadi kumpulan pohon, pura atau kuil hanya akan menjadi bangunan batu.”
Melindungi mereka berarti melindungi cerita, sejarah, dan kekayaan ekologis yang tak ternilai. Tantangan kita adalah menjaga agar lanskap kehidupan ini tidak berubah menjadi sekadar pemandangan tanpa jiwa. *** [110725]


logoblog

Thanks for reading Macaca fascicularis, Monyet Ekor Panjang Yang Menjaga Kawitan

Previous
« Prev Post

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sahabat Blog