![]() |
| Sepiring Onde-onde di tengah prosesi lamaran |
Setiap perjamuan selalu menyimpan cerita, tak terkecuali dalam sebuah prosesi khitbah (meminang atau lamaran) yang berlangsung di Jalan Nangka, Dusun Palaan RT 02 RW 02, Desa Palaan, Kecamatan Ngajum, Kabupaten Malang.
Di antara doa-doa yang mengalun dan tawa ringan keluarga yang berjumpa, sepiring onde-onde hadir tak sekadar sebagai suguhan, melainkan juga sebagai pengikat rasa dan cerita-cerita tempo dulu.
Penulis menghadiri acara lamaran anak laki-laki dari keluarga kader SMARThealth Kelurahan Kepanjen yang menautkan hati kepada seorang gadis pujaan hatinya dari Desa Palaan. Meski penulis datang beberapa menit terlambat, hangatnya sambutan para tamu tak sedikit pun berkurang. Duduk di sebelah Ustad Fakhruddin, penulis disuguhi sepiring kudapan sederhana yang membangkitkan kenangan, yaitu onde-onde.
Siapa yang tak kenal kue satu ini? Bentuknya bulat, kenyal, dengan isian manis dari kacang hijau. Diolah dari tepung ketan dan digoreng hingga kecokelatan, onde-onde adalah salah satu camilan tradisional paling populer di Indonesia. Tapi tak banyak yang tahu bahwa ia menyimpan jejak sejarah yang panjang dan lintas budaya.
Onde-onde pertama kali muncul di Tiongkok pada masa Dinasti Zhou (1045–256 SM). Saat itu, kue ini disajikan untuk para pekerja bangunan istana. Namanya pun beragam, dikenal sebagai ludeui pada era Dinasti Tang, matuan di Tiongkok Utara, serta ma yuan atau jen dai di tempat lainnya. Ketika para perantau Tionghoa bermigrasi ke Asia Tenggara, termasuk Nusantara, mereka membawa serta resep kue ini.
Di Nusantara, onde-onde mengalami adaptasi. Bahan-bahan lokal seperti kacang hijau dijadikan isian, menggantikan pasta kacang merah atau lotus khas Tiongkok. Nama “onde-onde” sendiri diyakini berasal dari bahasa Hokkian, oan-ti (丸糍), yang artinya "kue bola".
Kini, tak sulit menemukan onde-onde di berbagai acara keluarga, termasuk dalam hajatan seperti khitbah. Kue ini bukan hanya menggugah selera, tapi juga membawa rasa akrab yang menyatu dalam suasana kekeluargaan.
"Ini memang kue favorit setiap ada acara di desa," ujar Ustad Fakhruddin sambil tersenyum. "Rasanya sederhana, tapi selalu bikin kangen."
Di tengah arus modernisasi dan maraknya camilan instan, onde-onde tetap bertahan sebagai simbol rasa yang tak lekang oleh waktu. Ia hadir di momen-momen penting, menjadi pengingat bahwa di balik kelezatan sederhana, ada warisan budaya yang kaya dan layak dirawat.
Sepiring onde-onde di jamuan khitbah ini menjadi bukti bahwa makanan bukan hanya tentang rasa, tapi juga tentang cerita - cerita yang menyatukan keluarga, melintasi generasi, dan menjembatani budaya. *** [190825]


Tidak ada komentar:
Posting Komentar