Selasa, September 30, 2025

Dim Sum dan Aka-Chōchin: Sebuah Persembahan Cinta di The Wedding of Fahma and Salman

  Budiarto Eko Kusumo       Selasa, September 30, 2025

A parade of servers came through with domed platters of incredible food---handmade Chinese dumplings and dim sum shaped like tiny pomegranates and tangerines, gorgeously presented noodles in every color of the rainbow, and dishes with ingredients Natalie could only guess at. A red tea called Da Hong Pao was served, and one of the people at the table said it was so rare that it couldn't be bought for any price but had to be received as a gift.” -- Susan Wiggs, The Lost and Found Bookshop

Suasana The Wedding of Fahma and Salman di Gedung YPK Surabaya pada Sabtu malam kemarin, terasa begitu memesona. Namun, kemegahan gedung dan kemewahan pelaminan mempelai ternyata bukanlah satu-satunya daya tarik. 

Kemeriahan kuliner yang tersaji dalam resepsi tersebut juga berhasil mencuri perhatian para tamu undangan, dengan lapak-lapak yang menghidangkan beragam menu lokal, nasional, hingga mancanegara, yang dihias sedemikian rupa.

Di antara segala keriuhan dan kelezatan, satu stand di sisi barat Ballroom Bougenville berhasil memukau hati. Stand yang dirancang event organizer (EO) untuk shohibul bait resepsi, yaitu Dekan Fakultas Vokasi ITS, Prof. Dr. Wahyu Wibowo, S.Si., M.Si  ini, menghadirkan sebuah konsep yang unik dan memadukan dua budaya kuliner dengan apik: dim sum dengan ornamen lapak bergaya Jepang.

Berkunjung ke lapak atau stand Dim sum di sisi barat Ballroom Bougenville Gedung YPK Surabaya

Sebuah Perjalanan Rasa dari Dinasti Song

Dim sum, sang hidangan lezat nan menggugah selera ini, memang sudah tak asing lagi. Berasal dari Tiongkok, kata "Dim sum" dalam bahasa Kanton berarti "menyentuh hati", sebuah nama yang sangat pas untuk menggambarkan pengalaman menyantapnya. 

Jejaknya bisa ditelusuri hingga ke tradisi yam cha (minum teh) masyarakat Kanton pada era Dinasti Song (960-1279) - sebuah periode keemasan dalam sejarah Tiongkok yang makmur akan seni, budaya, dan teknologi. 

Dari teman minum teh, dim sum berevolusi menjadi hidangan populer yang dinikmati kapan saja, dalam berbagai varian seperti siomay, hakau, bakpao, hingga lumpia.

Lapak yang Menceritakan Kisah Jepang

Yang membuat stand ini spesial adalah kemampuannya membawa tamu undangan berkelana ke negeri sakura tanpa meninggalkan ballroom. Ornamen bergaya Jepang dipilih dengan cermat, menciptakan suasana yang autentik dan instagenik. 

Sebuah torii - gerbang sakral khas kuil Shinto berwarna merah - berdiri megah, seolah menandai transisi menuju sebuah pengalaman kuliner yang sakral. Di sekitarnya, chōchin atau lampion tradisional Jepang berwarna merah (aka-chōchin) menggantung anggun, menerangi stand dengan cahayanya yang hangat. 

Elemen shōji - pembatas ruang tradisional dari kertas washi - menambahkan sentuhan minimalis dan elegan, menyaring keriuhan resepsi dan menciptakan sudut yang tenang untuk menikmati hidangan.

Sepiring dim sum warisan Dinasti Song (960-1279) dalam Tasyakuran Pernikahan Fahma dan Salman di Gedung YPK Surabaya

Sebuah Persembahan Rasa yang Nikmat

Pada kesempatan itu, setelah mengagumi keindahan ornamennya, saya bersama sejumlah rekan peneliti dari berbagai institusi (REDI, SurveyMETER, Universitas Trunojoyo Madura) mencicipi hidangan yang disajikan oleh pramusaji berjilbab dengan ramah. 

Dalam piring saji melamin hitam yang sederhana namun elegan, tersaji aneka dim sum pilihan: siu may (dumpling kukus berisi daging) yang kenyal, hakau (dumpling udang) yang transparan dan segar, serta lumpia yang renyah. 

Setiap gigitan terasa autentik dan lezat, terutama ketika dipadukan dengan saus sambal pedas yang membangkitkan selera. Benar-benar sebuah persembahan yang "menyentuh hati". Nikmat!

Momen menikmati hidangan ini mengingatkan saya pada kutipan bijak Susan Wiggs dalam bukunya, The Lost and Found Bookshop (2020): 

“Para pelayan datang membawa piring-piring berbentuk kubah berisi hidangan yang luar biasa - pangsit dan dim sum buatan tangan Tiongkok berbentuk delima dan jeruk keprok kecil, mi yang disajikan dengan indah dalam berbagai warna pelangi, dan hidangan dengan bahan-bahan yang hanya bisa ditebak Natalie. Teh merah bernama Da Hong Pao disajikan, dan salah satu orang di meja mengatakan teh itu sangat langka sehingga tidak bisa dibeli dengan harga berapa pun, melainkan harus diterima sebagai hadiah.”

Seperti yang digambarkan Wiggs, kehadiran dim sum dalam pesta pernikahan Fahma dan Salman bukan sekadar tentang memuaskan rasa lapar. Pada malam itu, di antara kemeriahan resepsi di Gedung YPK, menjadi jelas bahwa dim sum bukan hanya tentang makanan, tapi tentang berbagi, kepedulian, cinta, dan tawa. 

Ia adalah benang merah yang menyatukan cerita lama dari Tiongkok, keanggunan estetika Jepang, dan sukacita sebuah perayaan cinta di Surabaya, menciptakan kenangan manis yang tak terlupakan bagi setiap tamu yang hadir. *** [300925]



logoblog

Thanks for reading Dim Sum dan Aka-Chōchin: Sebuah Persembahan Cinta di The Wedding of Fahma and Salman

Previous
« Prev Post

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sahabat Blog