![]() |
| Angkringan Kopi Joss Pak Agus, Yogyakarta (Sabtu, 30/08) |
Begitu sore itu saya tiba di rumah dari Kepanjen, dua anak wedok yang mbarep dan ragil, langsung bersiap. Malam itu, Sabtu (30/08), kami berangkat menuju Yogyakarta untuk mengantar anak wedok ragil yang masih duduk di banguk SMP yang akan mengikuti pertandingan karate dalam ajang International Karate Championship Yogyakarta Open Tournament V “Kemenpora RI Cup” di GOR Amongraga, esok harinya.
Kami naik KRL dari Stasiun Solo Balapan pukul 20.54 WIB, dan tiba di Stasiun Tugu sekitar pukul 22.00 WIB. Kota Gudeg menyambut kami dengan semilir angin malam yang khas, menggoda rasa dan kenangan.
Di tengah usaha mencari penginapan yang kamar tidurnya cukup luas, langkah kami terhenti di sebuah angkringan yang cukup terkenal: Angkringan Kopi Joss Pak Agus - tepat di depan Stasiun Tugu Malioboro. Yogyakarta atau Jogja.
Angkringan ini bukan sekadar tempat ngopi. Ia adalah ruang perjumpaan, tempat cerita bertaut, dan momen sederhana menjadi kenangan tak terlupa. Pak Agus, sang pemilik, telah membuka angkringan ini sejak tahun 2004.
Di bawah kerlap-kerlip lampu kota dan hiruk-pikuk pengunjung, kami memilih duduk di atas tikar yang digelar di tepi Jalan P. Mangkubumi. Tikar yang sama dengan tempat duduk para pelancong, mahasiswa, pekerja malam, dan keluarga lainnya.
Saya biarkan anak wedok memesan makanan dan minuman sendiri - mereka terlihat antusias memilih menu ringan, mencoba menjadi ‘orang dewasa’ dalam malam yang penuh rasa ini. Saya sendiri memilih nasi bungkus dengan lauk teri dan sambal, ditemani dua tusuk sate kerang dan segelas es teh.
Sederhana, tapi sungguh nikmat. Sensasi kopi joss - kopi hitam panas yang dicelup bara arang hingga berbunyi “josss”, pesanan pengunjung sebelah - menggoda indera dan memancing nostalgia masa kuliah saya di tahun 1987, saat pertama mengenal minuman ini di timur Ngesus, atau yang sekarang dikenal dengan Monumen Pers Solo.
Bagi saya, angkringan bukan sekadar tempat makan. Ia adalah simbol keakraban, kesederhanaan yang merangkul, dan kedekatan yang hangat. Terutama saat dinikmati bersama anak-anak di tengah suasana malam Jogja yang tak pernah tidur.
Saya percaya, makan malam bersama keluarga itu lebih dari sekadar rutinitas. Ia adalah cara menciptakan ruang komunikasi, menanamkan nilai, dan membangun rasa memiliki. Di tengah dunia yang serba cepat dan tuntutan pekerjaan yang sering menjauhkan, momen sederhana seperti duduk bersama di tikar angkringan bisa menjadi jeda yang menyembuhkan.
Seperti kata Bruce Feiler, penulis dan pengamat kehidupan keluarga modern, “Everybody has heard that family dinner is great for kids. But unfortunately, it doesn't work in many of our lives” (Semua orang pernah mendengar bahwa makan malam bersama keluarga itu baik untuk anak-anak. Sayangnya, hal itu tidak berlaku dalam banyak kehidupan kita).
Maka ketika kesempatan itu datang, saya tidak ingin menyia-nyiakannya. Malam itu bukan hanya tentang nasi bungkus, sate kerang, atau menu lainnya. Tapi tentang waktu yang diluangkan, bukan disisakan. Tentang tawa kecil anak-anak di sela hiruk-pikuk kota, dan tentang rasa hangat yang tak bisa dibeli.
Dan di tengah dunia yang semakin sibuk dan bising ini - kapan terakhir kali Anda benar-benar menikmati makan malam bersama keluarga, tanpa tergesa, tanpa distraksi, tanpa jeda. Jika kesederhanaan bisa sebegitu indahnya, lalu mengapa kita sering menunggu momen besar untuk merasa cukup? *** [080925]


Tidak ada komentar:
Posting Komentar