“In human contests second place is coveted, in nature second place is lunch.” -- Carmine Savastano
Ahad siang itu, sang surya bersinar cerah menyapa gang-gang perumahan di sudut Kota Surabaya, tepatnya di Jalan Bratang Gede V No. 26, Kelurahan Ngagelrejo, Kecamatan Wonokromo. Rumah Inneke Kumalasanti, S.Pi - Koordinator Program REDI (Regional Economic Development Institute) - menjadi saksi perjumpaan penuh keakraban dan rasa syukur.
Di ruang makan yang penuh aroma rempah, satu demi satu tamu berdatangan. Selain saya, hadir pula Ketua RT Agus dari Kelurahan Baratajaya, serta sejoli peneliti dari SurveyMETER Yogyakarta - Wawan Setiawan, S.IP, M.AP dan Ripi Mardini, S.Sos.
Makan siang ini tak lain adalah buah dari pertemuan hangat kami sehari sebelumnya di pesta pernikahan Fahma dan Salman di Gedung YPK Surabaya. Namun siang ini bukan tentang makan siang an sich, melainkan juga menyangkut menu hidangannya yang penuh daya pikat historinya, yaitu rawon.
Ya, rawon. Bukan sekadar sup daging biasa. Ini adalah sebuah cerita yang disajikan dalam kuah hitam pekat. Setiap sendok kuahnya adalah telusur waktu, dibumbui oleh sejarah yang panjang. Warna hitam legamnya berasal dari biji keluak, si "kunci" rahasia yang bahkan namanya telah terukir dalam lembaran Serat Centhini abad ke-19, disebutkan sebagai bagian dari hidangan istimewa dalam perayaan pernikahan.
![]() |
| Diundang makan siang di rumah Koordinator Program REDI Surabaya di Kelurahan Ngagelrejo, Kecamatan Wonokromo, Kota Surabaya |
Dikutip dari Journal of Ethnic Foods, sejarah rawon ternyata cukup tua, merujuk hingga ke era kerajaan. Para ahli, seperti Prof. Timbul Haryono, meyakini hidangan ini telah ada sejak zaman Jawa Kuno. Sebuah temuan dari Pusat Studi Makanan Tradisional UGM pada 1997 memperkuatnya.
Dalam kitab Kakawin Bhomokaya dari era Kerajaan Kadiri (1042–1222), hidangan yang disebut Rarawwan - cikal bakal rawon - telah ada. Daging, komponen utamanya, adalah kemewahan yang pada masa itu mungkin hanya disantap para bangsawan.
Di Surakarta, rawon bahkan menjadi hidangan para raja dan tercatat dalam Serat Wulangan Olah-Olah Warna-Warni (1926), warisan kuliner Pura Mangkunegaran. Maka, ketika Inneke menyuguhkan rawon kreasinya hari itu, bukan hanya rasa yang hadir di meja makan, tapi juga sejarah panjang yang direbus dalam kaldu, ditumis bersama kenangan, dan disajikan dalam sepiring kesahajaan.
Tak heran, rasa "souper-duper" begitu terasa - bukan hanya karena kelezatan rawon yang kaya rempah dan kenangan, tetapi juga karena momen kebersamaan yang sarat makna. Di meja makan itu, obrolan ringan soal riset lapangan, tawa kecil, dan aroma keluak berpadu menjadi ramuan yang mengikat para tamu dari REDI Surabaya, SurveyMETER Yogyakarta, hingga NIHR UB Malang.
![]() |
| Sepiring rawon khas Ngagelrejo, Surabaya |
Carmine Savastano, peneliti dan penulis tentang sejarah dan intelijen asal Amerika pernah berujar:
“Dalam konteks manusia, tempat kedua adalah yang didambakan, di alam, tempat kedua adalah makan siang.”
Dan benar adanya - makan siang di rumah Inneke hari itu menjadi lebih dari sekadar santap siang. Ia menjadi ruang pertemuan lintas latar, waktu, dan rasa.
Sebab di antara sendok yang tenggelam dalam kuah hitam rawon, kami menemukan rasa pulang - kepada sejarah, kepada teman seperjuangan, kepada hidangan yang tak lekang oleh zaman. Hari itu bukan hanya tentang makanan, tapi tentang kenangan yang diam-diam tumbuh di sela canda, dan abadi dalam diam.
Dalam diamnya biji keluak yang memberi warna, dalam hangatnya kuah yang menghangatkan jiwa, terselip sebuah pelajaran tentang keabadian. Sebuah hidangan bisa bertahan melintasi ribuan tahun, bukan hanya karena rasanya, tetapi karena ia menjadi penanda peradaban, pengikat ingatan kolektif, dan pemersatu setiap cerita yang lahir di meja makan.
Siang itu, di antara tawa dan diskusi, kami tidak hanya merenungkan sejarah. Kami sedang menciptakan kenangan baru, di mana aroma rawon akan selamanya membawa kami kembali pada sebuah Ahad yang souper-duper (luar biasa), di mana waktu berhenti sejenak, dan yang tersisa hanyalah kehangatan yang meresap, jauh lebih dalam dari sekadar kuah di piring. *** [021025]



Tidak ada komentar:
Posting Komentar