“People who look good in glasses mustn't die. And you look wonderful in glasses.” ― Torii Nagomu, 境界の彼方 [Kyoukai no Kanata]
Pukul 10.27 pagi, waktu India. Di aula May Flower The Golkonda Resorts & Spa, Hyderabad, semilir dingin Air Conditioner, menyelimuti ruangan dan podium tempat dua perempuan berdiri. Mereka adalah Ayushi Dhasmana dan Sangeeta Sharma, sedang memaparkan pencapaian penelitian sistem pangan pada Simposium Tahunan Ketiga (Third Annual Symposium). Dua siluet berkacamata melawan latar slide presentasi yang penuh data. Tapi perhatian saya tersita oleh satu hal: kacamata Sangeeta.
Bukan sembarang kacamata, demikian menurut saya. Di dunia optik, ada yang disebut "chemistry" antara pembingkaian dan roman wajah, dan Sangeeta memilikinya. Bingkai hati (heart frame) yang dia kenakan itu ringan, tipis, elegan, seolah lahir dari cetakan yang sama dengan wajahnya.
Bingkai itu tidak mendominasi, malah menggarisbawahi. Mempertegas sorot mata yang fokus, menyeimbangkan struktur tulang pipinya, dan memberi aksen pada senyum samarnya. Itu adalah kacamata yang dipilih dengan kesadaran penuh, bukan sekadar alat bantu penglihatan, tetapi pernyataan diri yang tenang dan percaya diri. Dari kacamatanya itu, ku mengenal dia!
Sangeeta Sharma adalah Research Officer di NIHR Global Health Research Center for Non-Communicable Diseases and Environmental Change (NIHR-GHRC NCDs & EC), The George Institute for Global Health (TGI) India, berkantor di New Delhi. Lebih dari satu dekade ia berkutat di kesehatan masyarakat, ibu dan anak, penyakit tidak menular, peningkatan kapasitas tenaga kesehatan. Portofolionya familiar bagi saya, mirip dengan apa yang dikerjakan Tim SMARThealth Universitas Brawijaya (UB).
![]() |
| Showcasing research achievement Food System Team dari Aysuhi Dhasmana dan Sangeeta Sharma dari TGI India pada Third Annual Symposium di hari kedua (Rabu, 12/12) |
Di setiap sesi simposium, kami selalu berpapasan. Tapi baru di Lokakarya Penulisan (Writing Workshop) hari Jumat (12/12), di Renaissance Hall lantai dua, nasib mendudukkan kami semeja. Keinginan untuk mengobrol banyak denganya terbentur dinding aksen Inggrisnya yang khas India, berat dan berirama, membuat percakapan kami terpatah-patah. Untunglah ada "penyelamat." Pak Tatang – sebutan akrab Ismiarta Aknuranda,S.T., M.Sc., Ph.D. yang berpengalaman sembilan tahun di Inggris - dengan mudah menjembatani percakapan.
Saat itu, saya bertanya pada Sangeeta, "Kalau kata 'semangat' dalam bahasa Indonesia, atau 'spirit' dalam bahasa Inggris, dalam bahasa lokal sini apa?" Ia pun menjawab, dan Pak Tatang mencatatnya di kertas. Sayang, saya lupa mengabadikan tulisan itu.
Duduk di hadapannya, saya mengamati lebih dekat, perempuan muda berambut sebahu, pas bagi wanita karir yang energik dan berpandangan luas. Dan lagi-lagi, kacamata itu, menjadi titik fokus yang menyedot perhatian.
Dari kacamatanya itu, saya ingat akan kutipan dari novel anime Kyoukai no Kanata (Beyond the Boundary) karya Torii Nagomu, seorang penulis Jepang seri tersebut:
"Orang yang terlihat bagus memakai kacamata tidak boleh mati. Dan kau terlihat luar biasa dengan kacamata."
Kutipan itu bukan sekadar pujian kosong. Ia mengandung filosofi bahwa kacamata sering dianggap sebagai "batas", yakni pembatas antara mata dan dunia, antara si pemakai dan realitas. Tapi bagi yang memakainya dengan tepat, kacamata justru menjadi jembatan. Ia memperjelas pandangan, sekaligus menjadi bagian dari identitas yang memproyeksikan karakter ke luar.
![]() |
| Ngobrol dengan Sangeet Sharma di meja bundar Writing Workshop hari kedua di Renaissance Hall, The Golkonada Resortds & Spa, Hyderabad, India |
Sangeeta, dengan heart frame-nya, mengingatkan saya pada itu. Kacamatanya bukan topeng yang menyembunyikan, melainkan lensa yang mempertajam siapa dirinya. Ia adalah profesional di bidang kesehatan global, sebuah dunia yang penuh dengan data kompleks, sistem yang ruwet, dan batas-batas negara yang harus diterobos untuk menyelamatkan hidup. Kacamata itu, secara metaforis, adalah alat untuk melihat melampaui batas-batas itu, yaitu melihat akar masalah, melihat solusi, melihat manusia di balik statistik.
Dalam keriuhan simposium yang dihadiri puluhan peneliti dari berbagai negara, di mana setiap orang berusaha keras untuk terlihat dan didengar, Sangeeta memilih sebuah pernyataan yang halus namun pasti.
Ia tidak perlu bersuara keras. Kacamatanya yang cantik dan pas di wajahnya sudah bicara lebih dulu bahwa di sini ada seseorang yang paham akan proporsi, yang percaya bahwa kejelasan visi (baik secara harfiah maupun metaforis) adalah modal utama.
Seperti para karakter dalam Kyoukai no Kanata yang bertarung melawan batas antara dunia manusia dan youmu, Sangeeta, melalui kacamatanya, mengisyaratkan pertarungannya sendiri, seperti melawan batas-batas pengetahuan, batas-batas sistem kesehatan, dan batas-bias budaya dalam percakapan global.
Pertemuan kami singkat. Percakapan terbatas. Tapi satu hal yang saya bawa pulang, lebih dari sekadar catatan simposium maupun workshop, adalah sebuah kesadaran bahwa terkadang kita memang bisa mengenal seseorang melalui pilihan kacamatanya.
Sangeeta Sharma, dengan kacamata heart frame-nya yang pas banget, telah membuktikannya. Ia terlihat luar biasa dengannya. Dan dalam dunia yang sering kali mengaburkan visi, menjadi jelas dalam pandangan, seperti pesan dari Beyond the Boundary, adalah sebuah kekuatan. *** [231225]



Tidak ada komentar:
Posting Komentar