Senin, Desember 22, 2025

Foto Bersama dalam Keberagamaan Third Annual Symposium

  Budiarto Eko Kusumo       Senin, Desember 22, 2025
Peserta Third Annual Symposium berpose bersama di Mayflower Hall, The Golkonda Resorts & Spa, Gandipet, Hyderabad, Telangana, India

Perhelatan Third Annual Symposium dan Writing Workshop yang berlangsung selama lima hari, 9–13 Desember, di The Golkonda Resorts & Spa, Hyderabad, India, telah usai. Ruang-ruang diskusi yang sebelumnya dipenuhi pertukaran gagasan kini kembali sunyi, sementara para peserta dari berbagai institusi dan negara telah kembali ke daerahnya masing-masing.
Nama-nama besar seperti Imperial College London (ICL), University of Manchester, University College London (UCL) Energy Institute, The George Institute for Global Health (India dan Australia), Sri Ramachandra Institute of Higher Education and Research (SRIHER), hingga Universitas Brawijaya (UB) menjadi saksi dari perjumpaan intelektual lintas batas tersebut.
Mengusung tema Beyond the Halfway Mark: Scaling Impact at the Nexus of Environment and Health, simposium ini mempertemukan pikiran-pikiran yang berangkat dari disiplin, konteks, dan pengalaman yang beragam dalam satu tujuan bersama, yakni memperkuat dampak riset di bawah payung NIHR Global Health Research Centre for Non-Communicable Diseases and Environmental Change (NIHR-GHRC NCDs & EC). Keberagaman latar belakang tidak meleburkan identitas, justru memperkaya cara pandang dalam merespons tantangan kesehatan dan lingkungan yang saling berkelindan.
Pikiran-pikiran interdisipliner yang hadir tidak semata berbagi hasil penelitian, tetapi juga merajut visi kolektif tentang makna riset yang berdampak. Seperti disampaikan Chhavi Bandari dalam sesi “Reporting Impact of Research”, esensi dari penelitian seharusnya adalah making a positive difference - membuat perubahan positif. Kalimat sederhana itu bergema sepanjang rangkaian acara, menjadi benang merah antara diskusi metodologis, penulisan ilmiah, hingga refleksi etis.
Dalam kesempatan mengikuti perhelatan ini, saya berupaya mengumpulkan foto-foto selama kegiatan berlangsung. Bagi saya, dokumentasi visual bukan sekadar arsip, melainkan upaya merawat memori kolektif. 
Foto dapat dipandang sebagai bahasa visual. Ia menyampaikan informasi dan emosi tanpa memerlukan kata-kata. Sebuah foto mampu membangkitkan perasaan, mengisahkan sebuah cerita, dan menggugah pemikiran. Ia menangkap sesuatu yang sering kali luput dari catatan tertulis.
Meski demikian, saya percaya bahwa visual pun dapat diperkaya dengan narasi. Pengalaman belajar photovoice bersama kader-kader dan Percik Salatiga sedikit banyak memberi “roh” dalam proses storytelling. 
Foto tidak berhenti sebagai gambar. Ia menjadi medium refleksi dan dialog. Hal ini terasa kuat ketika memaknai foto bersama seluruh peserta Third Annual Symposium yang diambil pada hari pertama, Selasa (09/12).
Foto bersama tersebut bukan sekadar penanda kehadiran fisik. Ia berfungsi sebagai alat komunikasi non-verbal yang mendokumentasikan, memperkuat, dan merepresentasikan hubungan sosial dalam suatu komunitas - dalam hal ini para akademisi dan peneliti yang tergabung dalam jejaring NIHR-GHRC NCDs & EC. Dalam satu bingkai, tersirat relasi kolegial, kesetaraan, sekaligus komitmen bersama terhadap tujuan yang melampaui kepentingan individual atau institusional.
Seperti ungkapan yang mengatakan, “Sebuah foto mencegah momen itu hilang begitu saja.” Atau kata bijak anonim, “Mengambil gambar, membekukan sebuah momen, mengungkapkan betapa kayanya realitas sesungguhnya.” 
Dalam kajian sosiologi, foto bersama dapat dimaknai sebagai narasi visual yang memuat identitas sosial, dinamika kekuasaan, dan konstruksi realitas bersama. Ia bukan gambar mati, melainkan teks sosial yang dapat dibaca dan ditafsirkan.
Ungkapan “sebuah foto bernilai seribu kata” menemukan relevansinya di sini, terutama dalam semangat photovoice. Foto bersama menjadi ruang di mana keberagaman disiplin, budaya, dan perspektif tidak diseragamkan, tetapi dihadirkan secara berdampingan. 
Seperti yang pernah diungkapkan Peter Adams (1938-1999), seorang fotografer, aktor, akdemisi, diplomat kelahiran Selandia Baru yang bermigrasi ke Australia:
“Fotografi yang hebat adalah tentang kedalaman perasaan, bukan kedalaman bidang fokus.”
Kedalaman itulah yang terasa dalam foto bersama berupa perasaan kebersamaan, tujuan yang sama, dan harapan akan dampak nyata dari riset yang dilakukan.
Pada akhirnya, foto bersama dalam keberagamaan Third Annual Symposium ini menjadi simbol dari sebuah perjalanan kolektif: berpikir, belajar, dan bergerak bersama di tengah perbedaan. Ia mengingatkan bahwa kolaborasi sejati tidak meniadakan keunikan, melainkan merayakannya dalam satu visi bersama. Seperti kata Malcolm Forbes (1919-1990), “Keberagaman: seni berpikir mandiri bersama-sama.” *** [221225]


logoblog

Thanks for reading Foto Bersama dalam Keberagamaan Third Annual Symposium

Previous
« Prev Post

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sahabat Blog