“The house of God is always open and that is where he decided to walk to.” ― Soroosh Shahrivar, Tajrish
Writing Workshop hari kedua, Jumat (12/12), dalam rangkaian Third Annual Symposium NIHR Global Health Research Centre for Non-Communicable Diseases and Environmental Change (NIHR-GHRC NCDs & EC) berakhir tepat ketika waktu salat Jumat mulai mendekat.
Di antara peserta yang hadir, ada sebagian kecil yang beragama Islam - termasuk saya dan dua rekan dari Tim NIHR Universitas Brawijaya (UB). Salah satunya adalah Pak Tatang, sebutan akrab untuk Ismiarta Aknuranda, S.T., M.Sc., Ph.D. Seusai sesi terakhir, kami bertiga segera bergegas mencari masjid untuk menunaikan kewajiban Jumat di negeri yang bukan mayoritas Muslim ini.
![]() |
| Dua menara Masjid Jama dilihat dari halaman Benteng Golkonda, Hyderabad, Telangana, India |
Bermodal Google Maps, kami menemukan sebuah masjid yang jaraknya sekitar 700 meter dari The Golkonda Resorts & Spa, tempat para peserta simposium menginap. Lokasinya berada di sebelah timur Kuil Shri Shirdi Sai Baba Gandipet, Hyderabad, India.
Dengan langkah ringan dan harapan sederhana, kami menyusuri jalan menuju Masjid Azeema Begum. Namun setibanya di sana, jarum jam menunjukkan pukul 12.05 IST dan pagar masjid masih tergembok rapat.
Kami pun mencari informasi ke warung kecil di dekat masjid. Penjualnya menjelaskan bahwa salat Jumat di masjid tersebut biasanya baru dimulai sekitar pukul 13.30 IST. Waktu terasa masih panjang, sementara kami tak ingin mengambil risiko terlambat. Setelah berdiskusi singkat, kami memutuskan untuk mencari masjid lain. Pilihan pun jatuh pada kawasan Benteng Golkonda, sebuah nama besar dalam sejarah Hyderabad.
![]() |
| Ornamen luar Masjid Jama di sisi selatan |
Dengan menggunakan mobil daring, kami bergerak menuju benteng. Tak lama kemudian, tepat ketika mobil berhenti di depan pintu masuk Benteng Golkonda, suara azan berkumandang dari seberang jalan. Di sanalah berdiri Masjid Jama yang dahulu dikenal sebagai Masjid Safa, seolah menyambut langkah kami yang sempat ragu namun terus berjalan. Tanpa pikir panjang, kami menyeberang dan langsung masuk ke halaman masjid.
Salat Jumat berlangsung khusyuk. Imam yang menyampaikan khotbah tampak masih muda, berjanggut, dengan busana yang mengingatkan pada gaya Timur Tengah dengan sorban merah maron melingkar rapi di kepalanya. Di tengah suasana sederhana namun penuh kekhidmatan itu, terasa sekali bahwa masjid ini bukan sekadar tempat ibadah, melainkan ruang sejarah yang masih hidup.
Usai salat, saya menyempatkan diri berkeliling lingkungan masjid. Kekunaannya masih terlihat jelas, meski beberapa bangunan tambahan telah berdiri di sekitarnya. Masjid Jama di dekat Benteng Golkonda - atau Masjid Safa - adalah masjid bersejarah yang didirikan oleh Sultan Quli Qutub Shah, penguasa pertama Dinasti Qutub Shah. Masjid ini menandai awal berdirinya kota Muhammad Nagar, yang kini dikenal sebagai Golkonda. Saat pembangunan masjid, Sultan Quli masih menjabat sebagai gubernur di bawah Kesultanan Bahmani.
![]() |
| Ruang salat Masjid Jama di seberang Benteng Golkonda |
Prasasti kuno pada gapura pintu masuk mencatat bahwa masjid ini dibangun pada tahun 924 Hijriah atau 1518 Masehi. Terbuat dari batu pasir merah dengan detail marmer, Masjid Jama memiliki arsitektur yang khas dengan tiga gerbang, menara, dan kubah. Masjid ini juga dikenang sebagai tempat wafatnya Sultan Quli Qutub Shah yang terbunuh saat sedang menunaikan salat pada tahun 1543.
Bentuk bangunan masjid ini masih menawan dengan satu kubah utama dan lengkungan-lengkungan yang dicat. Sebanyak 15 bagian masjid dihiasi dekorasi plesteran di puncaknya, termasuk ornamen pada spandrel lengkungan mihrab.
Gaya bangunannya memadukan arsitektur Islam dengan pengaruh lokal - sederhana namun elegan - dengan satu ruang salat, atap terakota, dinding tebal, dan bukaan strategis yang berfungsi sebagai pendinginan pasif. Ia menjadi penanda fase awal arsitektur Kesultanan Golkonda, jauh sebelum kemegahan masjid-masjid besar seperti Masjid Mekah di Hyderabad.
![]() |
| Halaman Masjid Jama di sisi timur ruang salat, dengan latara belakang pintu gerbang berkubah |
Bagi saya pribadi, kesempatan menunaikan salat Jumat di masjid pertama yang dibangun di kawasan Golkonda adalah pengalaman yang sarat makna. Di tengah agenda Writing Workshop dan ritme perjalanan yang padat, Jumat itu mengajarkan bahwa jalan menuju Tuhan selalu menemukan caranya sendiri.
Seperti ujaran (quote) Soroosh Shahrivar, seorang penulis dan penyair Iran, dalam bukunya yang berjudul Tajrish (2023):
“Rumah Tuhan selalu terbuka dan ke sanalah dia memutuskan untuk berjalan.”
Dan pada siang itu, langkah kami - yang sempat tertunda dan berbelok - akhirnya sampai juga ke rumah-Nya, tepat pada waktunya. *** [261225]





Alhamdulillah dilancarkan dan diberi petunjuk jalan menuju Rumah Allah SWT.SEMANGAAAT PAK BUDI dalam perjuangan mencari rumah Allah SWT dan srlalu taat beribadah dan sholat jumat.
BalasHapus