Selasa, Desember 06, 2022

Tungku Mertua Paman Yang Masih Eksis

  Budiarto Eko Kusumo       Selasa, Desember 06, 2022
Paman dengan sebatang rokoknya berada di dekat tungku mertua (Foto: Nining Yuningsih/01/12/2022)

Hari itu, Kamis (01/12/2022), paman bantu bibi menggoreng pisang dengan menggunakan tungku tradisional. Tungku ini memakai kayu sebagai bahan bakarnya. Tungku itu dijumpai paman ketika ia dan bibi sedang mengunjungi Umi, sebutan paman kepada mertuanya yang berada di Kampung Nangela, Desa Margaluyu, Kecamatan Campaka, Kabupaten Cianjur.
Umumnya topografi sekitar rumah mertua paman itu berelief sedang sampai kasar. Perbukitan yang terlihat, memiliki kemiringan lerengnya antara 40 - 60⁰ dengan ketinggian di atas permukaan laut ± 300 meter.
Kondisi geografis yang demikian menjadikan Kampung Nangela berhawa dingin di pagi maupun malam hari. Sambil menghangatkan badan nungguin goreng pisang bibi di tungku, paman tak lepas dari sebatang rokoknya. Dengan berkopiah dan mengenakan sarung, paman menjaga bara api di tungku.
Tungku merupakan salah satu peralatan dapur yang digunakan untuk memasak. Tungku, dalam bahasa Sunda disebut hawu. Hawu berasal dari kata awu (bahasa Jawa) yang berarti abu, sedangkan abu dalam bahasa Sunda disebut lebu. Jadi hawu adalah tempat berkumpulnya abu atau lebu. Masyarakat Sunda mengenal hawu sebagai tungku tempat kegiatan masak memasak (membuat makanan). [
1http://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpnbjabar/hawu-dalam-pandangan-masyarakat-sunda/
]
Hawu dibuat dengan cara cukup sederhana, diantaranya menggunakan adonan tanah liat dan batu; tumpukan bata merah; dan hawu yang terbuat dari gerabah dilapisi adonan tanah liat. Hawu dibuat sedemikian rupa sehingga api dari suluh ‘kayu bakar’ dapat keluar melalui satu atau dua lubang di bagian atas hawu. 
Lubang tersebut digunakan untuk meletakkan panci, cerek ‘teko’, langseng/seeng ‘dandang’, atau katel ‘wajan’, saat memasak. Pelengkap hawu adalah songsong, yaitu alat berbentuk pipa terbuat dari batang bambu, digunakan sebagai alat untuk meniupkan udara ke dalam hawu agar api menyala lebih besar.
Tak jarang areal sekitar tungku dijadikan sebagai tempat untuk penjamu tamu. Meski rumah tinggal itu memiliki ruang tamu, namun ruang tamu yang sesungguhnya adalah dapur Dalam hal demikian, dapur memiliki fungsi ganda, yakni tempat memasak dan sekaligus ruang tamu, di mana tungku sebagai inti dapur.
Enam tahun silam, saya pernah diajak silaturahmi dan menginap di rumah Umi, dari 6 Juni hingga 8 Juni 2016. Di sana saya menyaksikan dapur Umi tiap pagi dan sore hari selalu mengeluarkan asap (dapur ngepul).
Setiap pagi bibi memulai cethik geni. Sebutan cethik geni adalah perkataan di dalam bahasa Jawa untuk menyebut penyalaan api pada tungku perapian. Suatu tindakan terawal dari rangkaian kegiatan di dapur guna memenuhi kebutuhan keluarga akan makan dan minum.
Secara simbolik, dapur ngebul menjadi petunjuk bahwa kehidupan pada keluarga yang  bersangkutan berlangsung. Dapur ngebul menjadi pertanda ‘hidup’, sebaliknya dapur tak ngebul jadi pertanda ‘kematian’ hidup. Pada pagi hari, atau terkadang sore hari, dapur-dapur keluarga di pedesaan  mengebulkan asap, sebagai petunjuk bahwa desa-desa itu memiliki ketahanan hidup.
Dapur ngepul merupakan salah satu yang khas dari suasana rumah di pedesaan. Masih adanya tungku kayu bakar yang biasa digunakan untuk memasak atau sekadar menanak air. Dari 60 juta keluarga di Indonesia, sekitar 24 juta masih menggunakan tungku biomassa tradisional dengan bahan kayu bakar. [
2https://www.worldbank.org/in/news/feature/2014/11/03/cleaner-cook-stoves-for-a-healthier-indonesia
].
Manusia menggunakan kompor sebagai alat memasak, dimulai dengan adanya tungku api yang berkembang di China dan Jepang. Tungku api pertama ditemukan di China sekitar tahun 206 sebelum masehi. Tungku tersebut terbuat dari tanah liat, dan menggunakan kayu bakar sebagai bahan bakarnya. Di Jepang, tungku api disebut komando, berbentuk kotak persegi dengan bahan bakar kayu bakar atau batu bara. Komando berkembang dari tahun 3-6 masehi, hingga zaman kekaisaran Edo tahun 1603-1867 masehi. [
3https://osc.medcom.id/community/mengenal-anglo-si-kompor-tungku-1943
]
Keberadaan tungku kayu bakar sebagai salah satu cara untuk memasak memang masih dibutuhkan oleh banyak masyarakat yang tinggal di desa-desa. Hal ini disebabkan karena masih mudahnya memperoleh kayu bakar di desa dan murahnya tungku dari tanah liat.
Sambil ke kebun atau sawah, masyarakat di sana umumnya selain memetik sayuran yang ditanam maupun tumbuh liar, juga sekalian membawa potongan ranting kering pohon. Kala itu, sayuran yang dimasak meliputi kacang panjang, sejumlah mbayung (daun kacang panjang), kangkung, jlegor (daun ketela), daun singkong, daun mint dan tuntut (jantung pisang) dipetik dari kebun, sedangkan genjer diambil dari sawah, dan ayam yang siap dipotong ditangkap di pekarangan rumah. Kesemuanya itu menjadi lezat dan nikmat setelah dipadu dengan sambal terasi ditambahi tomat bakar di atas tungku.
Tungku mertua paman itu sampai sekarang masih eksis, bisa disaksikan hingga sekarang meski kompor gas sudah mulai merambah desa tersebut. Selain itu, juga terbersit kabar, Kampung Nangela akan tenggelam menjadi waduk yang akan digunakan oleh PLTA untuk pembangkit listrik dengan cara kerja Upper Pump Storage. PLTA Upper Pump Storage  merupakan yang pertama di Indonesia nantinya.*** [061222]


logoblog

Thanks for reading Tungku Mertua Paman Yang Masih Eksis

Previous
« Prev Post

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sahabat Blog