Setiap langkah menuju Ruang Tirtagangga di Hotel Tugu Malang selalu membawa suasana yang khas - kental aroma sejarah dan sentuhan estetika budaya yang melekat di setiap sudutnya. Pada Jumat (16/05), suasana itu terasa semakin lengkap saat Focus Group Discussion (FGD) bertajuk Mengkaji Kelayakan dan Kesesuaian Multisektoral yang diselenggarakan oleh Tim CEI NIHR Universitas Brawijaya (UB) berlangsung di tempat tersebut.
Ruang Tirtagangga, yang menjadi lokasi pelaksanaan FGD, memperlihatkan nuansa etnik yang begitu kuat. Di sepanjang lorong, terlihat arca, lukisan lawas dengan berikut furnitur klasiknya. Di sisi timur, terpajang meja panjang bergaya lawas yang dijaga dua patung kayu mbok emban khas Jawa. Di atas meja itulah, tersaji kudapan dan minuman hangat bagi para tamu undangan dalam FGD tersebut.
![]() |
Meja bernuansa etnik untuk menempatkan minuman dan kudapan coffee break peserta FGD di Ruang Tirtagangga, Hotel Tugu Malang |
Di antara deretan round plate yang tertata rapi, tampak tiga jenis kudapan tradisional Indonesia: putu ayu bunga telang dengan warna kebiruan muda, ampara tatak pisang dengan motif lapisan kuning-cokelat susu halus, serta lumpia basah yang menggoda selera.
Ketiganya dibuat oleh para koki handal Hotel Tugu Malang, dan disajikan langsung oleh pramusaji hotel dengan penuh kesopanan saat FGD mulai berlangsung. Pramusaji tersebut akan menghampiri peserta FGD dengan membawakan kudapan maupun minuman hangatnya.
Salah satu momen paling nikmat adalah ketika tangan menggenggam cangkir teh panas, dan lidah mencicipi kelembutan kue putu ayu bunga telang. Bunga telang menjadi salah satu tanaman yang memiliki warna biru nan cantik dan mengandung banyak manfaat.
![]() |
Kudapan coffee break FGD Multisektoral dalm sebuah round plate |
Dikenal dengan istilah nama Latin Clitoria ternatea, bunga telang banyak dimanfaatkan masyarakat Indonesia, salah satunya menjadi campuran hidangan tradisional yang lezat, seperti pada kue putu ayu tersebut.
Dengan aroma pandan yang wangi, tekstur yang lembut, dan taburan kelapa parut di atasnya serta warna bunga telang yang soft, putu ayu bukan hanya memanjakan indra, tapi juga menyentuh sisi emosional budaya kita.
Di tengah diskusi serius mengenai integrasi multisektoral dalam pembangunan berkelanjutan, secangkir teh dan sepotong kue putu ayu seakan menjadi jembatan kecil yang mempertemukan logika dan rasa para peserta FGD dari kalangan aktivis lingkungan tersebut.
![]() |
Nama kudapan kue putu ayu bunga telang dalam selembar daun sintesis |
Kue putu ayu ini sudah dianggap sebagai khazanah kuliner Indonesia. Namun sebenarnya putu ayu tersebut diadopsi dan dimodifikasi dari kue-kue yang dibuat oleh orang Belanda ketika tinggal di Hindia Belanda.
Mungkin karena tampilan di atasnya ditaburi dengan parutan kelapa dan terkadang ada juga yang dikreasi dengan gula Jawa, kue putu ayu ini dianggap berakar dari kue putu seperti yang disebutkan dalam Serat Centhini Jilid VI Pupuh 360 Dhandhanggula bait 71-78.
Dalam serat tersebut dikisahkan kejadian di Wanamarta (diperkirakan daerah Mojokerto) ketika Ki Bayu Panurta ketika hendak menerima tamu. Alkisah, Ki Bayi Panutra berkata kepada santri Luci agar menyiapkan hidangan untuk makan pagi yang hangat, antara lain: nasi goreng, nasi rames, nasi tumpeng, dengan lauk ikan betutu serta menyembelih seekor kambing. Adapun minumannya adalah srebat dan kopi. Makanan nyamikannya adalah srabi dan puthu (putu).
![]() |
Sepotong kue putu ayu bunga telang dalam round plate |
Putu yang disebutkan dalam Serat Centhini tersebut adalah penganan yang dibuat dari tepung beras diberi gula Jawa dan dikukus dalam bambu dan sering mengeluarkan bunyi. Sementara, putu ayu yang disuguhkan dalam coffee break di Hotel Tugu Malang tersebut, prosesnya seperti membuat kue basah pada umumnnya, termasuk bahan dan tampilannya telah disesuaikan dengan penganan tradisional yang ada di Indonesia pada umumnya.
Begitulah, di sela-sela FGD antarsektor yang dinamis, hadirnya kudapan tradisional seperti putu ayu memberi warna lain - sebuah pengingat bahwa dalam setiap percakapan tentang masa depan, selalu ada ruang bagi warisan masa lalu yang perlu dirayakan dan dihargai. "Putu ayu, bukan hanya sekadar kue, melainkan juga simbol dari kelembutan dan keramahan budaya Indonesia." *** [250525]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar