Selasa, April 15, 2025

Hangatnya Rangin, Jajanan Tempo Dulu Di depan PAUD Muslimat NU 73 Peganden

  Budiarto Eko Kusumo       Selasa, April 15, 2025
Siang itu, di hari Sabtu (12/04), langit Gresik terbilang cerah, menyemangati keliling lapangan dalam penelitian NIHR Global Health Research Centre for Non-Communicable Diseases and Enviromentanl Change (NIHR-GHRC NCDs & EC).
Di pinggir jalan Raya Peganden, tepat di depan PAUD Muslimat NU 73 Al Fithriyah yang berada di pojokan perempatan RT 17 RW 04 Desa Peganden, Kecamatan Manyar, Kabupaten Gresik, aroma khas kelapa parut yang dipanggang menyeruak dari gerobak kecil.
Seorang bapak tua dengan topi lusuh dan berkaos kuning membolak-balik cetakan besi kecil (loyang) berisi adonan putih yang mulai mengering di tepinya. Bapak itu menjual kue rangin dengan berkeliling yang kebetulan siang itu sedang mangkal di depan PAUD tersebut.

Penjual rangin di depan PAUD Muslimat NU 73 Al Fithriyah di Jalan Raya Peganden RT 17 RW 04 Desa Peganden, Kecamatan Manyar, Kabupaten Gresik

Asap tipis mengepul dari loyang panas yang tengah memanggang adonan kelapa dan tepung beras. Di sanalah, rangin – jajanan lawas yang kini makin langka – masih setia hadir mengisi hari-hari dalam kehidupan warga.
Saat melintas di jalan tersebut, saya dan 2 teman dalam mobil HR-V warna putih berhenti. Saya mendekat pelan, terpancing oleh aroma dari kenangan masa kecil. Gerobaknya sederhana, hanya berisi tungku kecil, cetakan rangin, dan kotak plastik berisi adonan, campuran dari tepung beras, kelapa parut, gula pasir, dan garam.
Tumbas rangin sepuluh ribu, Pak?” ucapku sambil tersenyum.
"Iya, tunggu sebentar, masih dimasak ini,” jawabnya sambil membalik beberapa potong yang sudah kecokelatan di pinggir.

Penjual rangin sedang menuangkan adonan ke dalam cetakan besi (loyang) panas

Sambil berdiri seperti penjualnya, saya mengajak ngobrol. Penjual bercerita bahwa ia sudah berjualan rangin puluhan tahun lamanya, dan setia menjaga rasa jajanan tempo dulu, menghadirkan nostalgia bagi yang rindu masa kecil.
Pada waktu bocil, saya kerap dibelikan ibu maupun nenek Kartopuran membeli rangin. Kalau di Kota Solo, tempat saya dibesarkan, penganan tersebut dikenal dengan sebutan gandhos, atau lengkapnya gandhos rangin. Akan tetapi di Surabaya, umumnya dikenal sebagai kue rangin. Namun tutur penjualnya, kalau di Kecamatan Manyar, Gresik ini, lebih dikenal dengan nama hancio.
Rangin, atau gandhos rangin adalah salah satu penganan tradisional yang masih eksis hingga sekarang. Ada yang dijual berkeliling dengan gerobak seperti yang saya jumpai di Kabupaten Gresik ini, namun ada juga yang dijual di sekitar pasar tradsional, seperti yang umum dijumpai di Kota Solo.

Penjual membalikkan adonan. Bila sudah berwarna kecokelatan, menandakan rangin sudah matang.

Di dalam Serat Centhini atau Suluk Tambangraras yang disusun dari 1814  dan selesai pada 1823 ini, disebutkan gandhos rangin pada jilid II pupuh 157 Dhandhanggula bait 16-20. Pupuh itu mengisahkan bahwa pada saat perhelatan di Mataram (Kerajaan Mataram), dilengkapi dengan pertunjukkan wayang dan banyak penjual makanan di sana. Makanan yang dijual oleh para penjual pada saat pertunjukkan wayang sangat beraneka ragam. Ada 88 jenis yang disebutkan dan rangin wolak-walik di urutan 44 (Sunjata et. al., 2014).
Rasanya sederhana, tapi justru di situlah letak magisnya - renyah di luar, lembut di dalam, dengan rasa gurih dari kelapa yang berpadu sempurna dengan sentuhan manis dan sedikit asin – seolah menjadi penghubung diam antara masa lalu dan masa kini.
Hal ini mengingatkan saya pada masa kecil di kampung, saat jajanan seperti ini jadi primadona. Setiap gigitannya bukan sekadar rasa, tapi juga cerita – tentang masa kecil yang sederhana namun penuh makna. “Hangat dalam genggaman, hangat pula dalam kenangan.” *** [150425]


logoblog

Thanks for reading Hangatnya Rangin, Jajanan Tempo Dulu Di depan PAUD Muslimat NU 73 Peganden

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sahabat Blog