“The health of humans and the health of the environment are inextricably intertwined. If both are not healthy, neither can be.” - Dr. Kinari Webb
Menjadi seorang fasilitator memungkinkan adanya 'pandangan dari lapangan' – pemahaman yang komprehensif tentang seluk-beluk proyek dan bagaimana hal ini berhubungan dengan hasilnya, yang menurut L. Verwoerd et. al. (2020) [
1Verwoerd, L., Klaassen, P., van Veen, S.C.,Wildt-Liesveld, R. De., & Regeer, B.J. (2020). Combining the roles of evaluator and facilitator: Assessing societal impacts of transdisciplinary research while building capacities to improve its quality. Environmental Science & Policy. 103. 32-40. https://doi.org/10.1016/j.envsci.2019.10.011
] diperlukan untuk evaluasi dampak yang bermakna.Fasilitator lapangan memainkan peran kunci dalam memastikan bahwa proses riset dan pengembangan kapasitas berjalan lancar dan sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Fasilitator harus bisa menggunakan keahlian kolaborasi ilmiah dan keahlian interpersonal secara bersamaan dan saling bergantung untuk memfasilitasi tim penelitian (research team) saat mereka bergerak melalui proses kerja ilmiah kolaboratif yang rumit. Semua rangkaian keterampilan profesional dibangun di atas fondasi pengalaman dan pengetahuan; manusia sering belajar dengan menghubungkan informasi baru dengan apa yang sudah diketahui [
2Cravens, A.E., Jones, M.S., Ngai, C. et al. Science facilitation: navigating the intersection of intellectual and interpersonal expertise in scientific collaboration. Humanit Soc Sci Commun 9, 256 (2022). https://doi.org/10.1057/s41599-022-01217-1
].Namun pada kenyataannya, tidak semua peran fasilitator di lapangan kerap mendapatkan research capacity strengthening yang memadai. Meski demikian umumnya fasilitator tidak berkecil hati mengingat performa yang ditampilkan berada pada diri mereka masing-masing. Otodidak mungkin lebih baik ketimbang utopia!
Online Workshop: Meliput Isu Lingkungan dengan Pendekatan Kesehatan Planetari |
Nasib baik pun terkadang menghampiri kita. Seperti yang saya alami pada hari ini, Kamis (05/09), berkesempatan mengikuti Online Workshop: Meliput Isu Lingkungan dengan Pendekatan Kesehatan Planetari, yang diadakan oleh Yayasan Alam Sehat Lestari (ASRI), sebuah lembaga nirlaba yang yang bergerak di bidang kesehatan planetari yang bermarkas di Sukadana, Kabupaten Kayong Utara, Kalimantan Barat.
Mengikuti online workshop yang membahas isu lingkungan, tentunya memberikan tambahan wawasan dan pengalaman kepada saya dari kegiatan tersebut, dan akan terkompilasi dengan isu perubahan lingkungan (environmental change) dalam sebuah transdisciplinary research yang sedang saya jalani.
Ada dua narasumber yang berkompeten memberikan pemaparan yang jelas dan mudah dipahami. Narasumber pertama berasal dari Andi Fachrizal yang akrab disapa Rizal Daeng. Pria kelahiran Bulukumba, Sulawesi Selatan itu, dengan segudang pengalaman dalam liputan jurnalistiknya memberikan materi "Jurnalisme Lingkungan: Meliput Isu Lingkungan dengan Pendekatan Kesehatan Planetari."
Narasumber 1: Jurnalisme Lingkungan |
Menurutnya, jurnalisme lingkungan adalah proses pengumpulan, verifikasi, produksi, distribusi, dan pertunjukan informasi terbaru yang berkaitan dengan berbagai peristiwa, kecenderungan, permasalahan dan masyarakat, serta berhubungan dengan dunia nonmanusia di mana manusia berinteraksi di dalamnya.
“Alam dan manusia sulit dipisahkan,” jelas Andi Fachrizal. “Sehingga mengapa isu lingkungan itu senantiasa menarik untuk diliput.”
Lebih lanjut, Andi Fachrizal mengatakan bahwa jurnalisme lingkungan lebih dari sekadar jurnalisme biasa. Jurnalisme lingkungan tidak sebatas mengenali peristiwa atau nama-nama yang terkait dengan lingkungan, namun yang lebih penting dibalik peristiwa atau nama-nama yang terkait lingkungan itu sebenarnya apa?
Pada kesempatan itu, Andi Fachrizal juga menjelaskan tantangan dan peluang dalam jurnalisme lingkungan, seperti kompleksitas isu lingkungan, risiko keamanan, tekanan politik dan ekonomi, keterbatasn akses terhadap sumber informasi, isu lingkungan yang menguat, dan pendanaan liputan.
Narasumber 2: ASRI: Planetary Health in Action |
Prinsip jurnalisme lingkungan itu memberitakan dan mengawal proses penanganan masalah lingkungan sampai menemukan solusi, bersifat jangka panjang dengan kontinuitas peliputan yang terjaga, dan mengedepankan akurasi, bukan sebatas menyenangkan satu atau dua pihak yang berkepentingan.
Kemudian, narasumber yang kedua datang dari Etty Rahmawati dari ASRI, tepatnya Manajer Pendidikan Kesehatan, mengangkat judul "ASRI: Planetary Health in Action."
Kesehatan planetari adalah “pencapaian standar kesehatan, kesejahteraan, dan kesetaraan tertinggi yang dapat dicapai di seluruh dunia melalui perhatian yang cermat terhadap sistem manusia—politik, ekonomi, dan sosial—yang membentuk masa depan umat manusia dan sistem alam Bumi yang menentukan batas lingkungan yang aman di mana umat manusia dapat berkembang. Secara sederhana, kesehatan planet adalah kesehatan peradaban manusia dan keadaan sistem alam yang menjadi sandarannya” [
3Horton, Richard & Lo, Selina. (2015). Planetary health: a new science for exceptional action. The Lancet, Volume 386, Issue 10007, 1921 – 1922. https://www.thelancet.com/journals/lancet/article/PIIS0140-6736(15)61038-8/fulltext?rss%3Dyes=&code=lancet-site
].Menurut Etty Rahmawati, ASRI dikenal sebagai model aksi kesehatan planetari. ASRI mengintegrasikan pelayanan kesehatan dengan pelestarian hutan bernilai konservasi tinggi untuk mewujudkan masyarakat sehat, sejahtera, dan alam lestari. ASRI adalah salah satu solusi untuk krisis iklim, karena hutan hujan tropis sangat penting bagi planet ini.
Kurikulum lingkungan hidup |
Pendekatan ASRI, jelas Etty Rahmawati, adalah planetary health dan radical listening. Dalam planetary health, kesehatan masnusia tergantung pada alam di sekitarnya, begitu pun sebaliknya. Sementara itu, dalam radical listening, ASRI percaya bahwa masyarakat di sekitar hutan yang mengerti masalah dan solusi untuk mereka.
Upaya ASRI, yang dikenal sebagai Kesehatan Planetari dalam Aksi itu, melibatkan program konservasi hutan, layanan kesehatan, dan pemberdayaan masyarakat untuk memastikan bahwa keduanya dapat hidup berdampingan secara harmonis. Melalui program-program ini, kami berharap dapat melindungi keberadaan hutan dan ekosistemnya, sehingga masyarakat dapat hidup lebih sehat dan sejahtera di samping alam yang berkelanjutan.
Hal ini selaras dengan ujaran dari pendiri ASRI, Dr. Kinari Webb, yang telah merasakan tinggal di hutan Taman Nasional (TN) Gunung Palung selama setahun untuk mempelajari orang utan pada tahun 1993, “The health of humans and the health of the environment are inextricably intertwined. If both are not healthy, neither can be” (Kesehatan manusia dan kesehatan lingkungan saling terkait erat. Jika keduanya tidak sehat, keduanya tidak akan sehat). *** [050924]
Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarokatuh.
BalasHapusAlhamdulillaah .......
Mmmuuuaaannntttaaappp pisan euy ......
Ngangsu kawruh ... P. Mugi
Hapus